Selasa, 22 Januari 2013

[Twoshoot] Larangan! : 2 of 2 – END

Ify POV

“Mungkin gue ngomong hal ini sama loe terlalu cepet, karena kita kenal nggak sampe ada satu bulan, kan? Tapi perasaan itu terus menggerogoti hati gue. Kayak ulat. Tapi terserah elo aja deh mau nangkepnya kayak gimana. Gue cuman mau jujur aja sama loe tentang perasaan gue. Gue terima apapun yang bakalan elo jawab nanti karena gue udah siap nerima jawaban elo…”

Aku mendengar Rio mulai berbicara, dadaku terus berdebar-debar dua kali lebih cepat. Mungkin sebentar lagi jantungku sudah copot atau bahkan meledak. Suasana malam ini memang terlihat indah dan romantis, tapi setiap melihat wajah lelaki tampan di depanku ini, aku merasa tegang. Sangat tegang. Makanya, mungkin saking tegangnya jantungku hampir saja meledak. Mataku kemudian menatap mata Rio, dia ternyata juga sedang menatapku. Tatapan itu… Aku merasa tidak asing dengan tatapan itu —lebih tepatnya mata Rio. Tatapannya menghangatkan, begitu terasa nyaman, dan dia menatapku sangat dalam. Aku benar-benar malu.
“Sejak pertama ketemu sama elo, gue udah naksir sama loe, setelah itu gue jadi suka, jadi sayang dan akhirnya jadi cinta. Mungkin elo nggak percaya sama apa yang gue omongin, tapi itulah yang terjadi sama gue saat itu. Oya, sebelum gue ketemu sama elo pas Gabriel nyebut0nyebut nama ‘Ify’ gue ngerasa nggak asing. Nggak tahu kenapa, padahal sebelumnya kita nggak pernah ketemu kan? Ya, tapi sih itu bukan masalah. Yang pasti sekarang gue mau nyatain perasaan gue sama loe. Hanya satu kalimat yang mau gue katakan sama loe. Gue sayang dan cinta sama loe. Bener-bener sayang dan bener-bener cinta. Asal loe tahu, gue nggak pernah bercanda kalo ada urusan kayak begini. Jadi, please, jangan bilang kalo gue cuman bercanda dan cuman mau buat loe GR, gue serius…”
Aku mendengar Rio berbicara lagi. Astaga, kali ini jantungku berdebar sepuluh kali lebih cepat sampai aku rasanya sulit bernapas. Benarkah yang Rio katakan tadi? Benarkah dia mencintaiku? Tapi aku merasa… Seperti mimpi! Kalau memang bukan mimpi aku yakin pasti Rio hanya bercanda. Eh, bukankah tadi dia bilang dia serius. Ya, dia bilang dia serius mengatakannya. Jadi bukan mimpi? Ini serius? Ya Tuhan, perasaanku… Aku benar-benar senang malam ini, sangat senang. Sampai-sampai dadaku sesak dan mulutku terkunci rapat. Tiba-tiba aku merasa tangan Rio memegang daguku, menyuruhku untuk menatapnya. Sudah pasti tak bisa ku tolak karena sejak tadi aku ingin sekali menatap Rio lebih lama dan aku melihat Rio tersenyum, manis sekali…
“Alyssa Saufika, Would you be my girlfriend?”
Apa? Apa katanya? Tidak! Pasti aku hanya mimpi, nggak mungkin. Aku hanya bisa membuang muka.
“Alyssa Saufika, Would you be my girlfriend?”
Aku mendengar Rio mengulangi perkataannya tadi. Berarti, aku sedang tidak bermimpi. Baiklah, mungkin aku terlalu senang. Sampai-sampai mengira aku sedang bermimpi. Aku kembali menatap Rio. Matanya indah, seperti yang kukatakan tadi. Tatapannya menghangatkan dan begitu terasa nyaman. Rasanya aku ingin sekali bisa terus menatapnya…
“Fy… Please, jawab…”
Aku mendengar Rio berkata lagi. Dia memintaku untuk menjawab perimintaannya tadi. Aku tersenyum misterius penuh rahasia, ingin membuat Rio penasaran. Ternyata berhasil, aku melihat alis sebelah Rio naik dan kulihat wajahnya ada sedikit perasaan kekesalan walaupun aku yakin rasa kesalnya itu dia tahan. Lucu sekali…
“Oke, oke…” kataku jeda sebentar. “Gue bakalan jawab…” kataku kemudian kembali diam.
“Langsung aja, jangan buat gue nunggu lama sama penasaran…” kata Rio geregetan.
“Emm…  Yes…” kataku pelan. “Yes, I Would…” lanjutku. Seusai aku berbicara seperti itu, Rio langsung berdiri dan memelukku sambil membisikkan ‘terima kasih’ tepat di telingaku. Ya Tuhan,, malam ini aku benar-benar sangat bahagia. Sangat.


Gabriel POV

“Alyssa Saufika, Would you be my girlfriend?”
Jantungku serasa berhenti berdetak. Hal yang tak ingin terjadi dan tak ingin kudengar harus terjadi pada malam ini, malam ini dimalam tahun baru ini adalah malam yang begitu menyesakkan hati. Dalam hati aku hanya bisa berharap Ify menolak meskipun harapanku sangat kecil.
“Alyssa Saufika, Would you be my girlfriend?”
Aku mendengar Rio mengulangi kata-katanya lagi. Sungguh. Aku sangat berharap Ify menolaknya. Tapi…
“Fy… Please, jawab…”
“Oke, oke…” kata Ify. “Gue bakalan jawab…” lanjut Ify.
Tepat pada saat itu, jantungku berdetak lebih cepat dari yang sebelumnya. Ify akan menjawab. Ini sangatlah tegang. Hatiku mulai terasa panas. Lebih panas dari pada yang sebelumnya. No, I would not. No, I would not. No, I would not. No, I would not. Aku berharap Ify menjawab seperti itu. Aku berharap. Sangat berharap Ify menolaknya.
“Langsung aja, jangan buat gue nunggu lama sama penasaran…”
Dag-dig-dug jantungku nyaris saja copot, ini saatnya. Aku memasang telinga baik-baik. Menghela napas dan menghembuskannya perlahan. Okey, Gabriel. Kau harus terima apapun jawaban Ify. Harus.
“Emm…  Yes…”
Aku merasa lemas. Ify, sepertinya telah menerima Rio. Harapanku untuk memiliki Ify sia-sia. Aku terlambat!
“Yes, I Would…”
Oke, ini adalah akhir kisah cintaku. Cintaku telah bertepuk sebelah tangan. Benar-benar sangat menyakitkan hati. Padahal, perasaan ini aku jaga selama delapan tahun. Tapi… Ya, aku percuma menjaga perasaan ini. PERCUMA. Kulirik Rio dan Ify ternyata mereka sedang berpelukan disana, hatiku benar-benar panas. Aku nggak betah lagi berada disana. Mungkin lebih baik aku langsung pulang.


Normal POV

Cintanya tidak bertahan lama…
Sesuatu hal seperti mimpi buruk itu terjadi…
Sangat menyakitkan hati…
Dan mereka harus bisa merima kenyataan…
Dan juga harus merelakan hubungan mereka…
Ya, akhirnya hubungan mereka berhenti…

Sebelas bulan kemudian…
“Fy, bentar lagi ulang tahun elo, kan?” tanya Rio yang sedang duduk bersama Ify di ruang keluarga rumah Ify, Rio juga ngerangkul Ify sambil menatap Ify yang sedang asik nonton..
Ify langsung menepuk jidatnya sendiri. “Ah, iya. Gue lupa, hahaha…” kata Ify sambil tertawa kecil.
Rio menoyor pelan kepala Ify. “Bego loe, ulang tahun sendiri lupa…” sahut Rio.
“Yee, biarin. Namanya orang lupa jangan disalahin…” kata Ify membela diri sambil menatap Rio sinis.
“Ya, ya, ya, terserah elo aja deh…” kata Rio.
Ify tak menyahut, keduanya pun diam. Matanya fokus kearah layar TV, menonton acara yang ada disana. Sampai akhirnya setelah berdiam cukup lama, Rio kembali membuka suara.
“Fy…” panggil Rio.
“Emm…” sahut Ify pelan tanpa menoleh kearah Rio.
Rio terlihat ragu ingin berbicara, tapi akhirnya ia pun berbicara juga. “Kalo misalnya gue pergi, elo bisa kan jaga diri loe sendiri tanpa gue?” kata Rio. Ragu.
Mendengar ucapan Rio seperti itu, spontan Ify menolehkan kepalanya dengan cepat kearah Rio dan menaikkan alis sebelahnya. “Loe ngomong apaan sih? Kalo ngomong yang beneran dikit kek…” marah Ify.


Rio POV

“Ya, ya, ya, terserah elo aja deh…” kataku merespon omongan Ify.
Untuk beberapa saat, aku dan Ify hanya diam. Sepertinya aku merasa ada yang aneh. Sesuatu hal akan terjadi padaku. Ya, aku merasa seperti itu. Tapi anehnya, aku tidak tahu apa sesuatu itu. Rasanya… Susah untuk dikatakan, yang pasti aneh. “Fy…” nggak tahu kenapa tiba-tiba aku menyebut nama Ify pelan.
“Emm…” responnya singkat.
Aku menghela napas dan menghembuskannya dengan cepat. Bingung. “Kalo misalnya gue pergi, elo bisa kan jaga diri loe sendiri tanpa gue?” Entah kenapa tiba-toba aku berbicara seperti itu. Kata-kata itu keluar begitu saja. Aneh.
Kulihat, Ify langsung menolehkan kepalanya kearahku. “Loe ngomong apaan sih? Kalo ngomong yang beneran dikit kek…” Ify marah-marah kepadaku gara-gara apa yang aku ucapkan tadi.
“Iya, deh. Gue kan cuman bercanda, Fy, jangan marah doong…” rayuku sambil menoel dagu Ify.
Namun apa reaksi yang Ify berikan? Ify malah menepis tanganku dengan kasar. Huh, sepertinya Ify benar-benar marah gara-gara ucapanku tadi. Tiba-tiba sebuah ide muncul dalam pikiranku. Sedikit konyol dan nekat. Tapi, yaudahlah. Aku lebih suka memandang Ify ketika gadis itu sedang kesal dari pada marah seperti ini.
CUPP… Aku mencium pipi kanannya langsung. Ya, nekat sekali, bukan? Ah, biarlah. Lumayan juga bisa nyium pipi Ify, hihihi… Apa salahnya? Dia kan
kekasihku…
”RIOOO!! Apaan sih loe tuh. Main nyium aja…” kata Ify sambil memukul-mukul pelan lenganku.
“Ya habisnya, elo marah gitu sih… Yaudah gue cium aja elo, hehehe…” kataku sambil mengedipkan sebelah mata dan tersenyum jahil. Aku benar-benar tidak bisa menahan diri untuk tersenyum, lucu sekali melihat ekspresi wajah Ify yang sudah memerah.
“Ihh, elo mah. Rese banget sih…” kata Ify sambil memajukan bibirnya beberapa centi.
“Halah, tapi elo suka kan? Ngaku aja, haha… Eh, Fy, nanggung tuh yang sebelahnya belum kena…” kataku lagi sambil tersenyum jahil kearah Ify.
“Ihh, ogah deh. Suka kata loe? Sorry yee…” kata Ify langsung berdiri dari duduknya hendak meninggalkan Rio.
“Halah…” kata Rio sambil menoyor pelan kepala Ify.


Normal POV

Keesokan paginya…
“Halo, Yo, ada apa?” tanya Ify yang baru saja mengangkat telepon dari Rio. Aneh sekali Rio pagi-pagi banget sudah menelponnya. Sambil menyisir rambut yang sedikit kusut dan menatap banyangan dirinya di cermin, Ify juga berpikir tumben-tumbennya Rio menelpon dirinya pagi-pagi banget seperti hari ini.
“Nggak ada apa-apa kok, Fy. Gue cuman mau bilang hari ini bonyok gue dateng ke Jakarta, gue kan sering tuh nyeritain tentang loe ke bonyok gue waktu bonyok gue masih di Jepang. Bonyok gue kan udah dateng sekarang dan dia pengen banget ketemu sama loe sekalian makan malam bareng gitu, gimana? Loe mau? Mau dong…” kata Rio cengengesan diujung sana.
“Hah? Gila loe, jadi elo sering cerita tentang gue ke bonyok loe. Sialan loe, Yo…” kata Ify kesal. Tapi dalam hatinya ia juga merasa senang karena Rio sering bercerita tentang dirinya ke orang tua Rio.
“Halah, udah langsung jawab. Mau atau nggak. Pokoknya mau nggak mau loe harus mau…” kata Rio.
“Ihh, kok maksa sih…” kata Ify.
“Pokoknya harus mau…” paksa Rio.
“Iya deh, iya… Gue mau, demi elo…” kata Ify.
Rio senyum-senyum gaje di ujung telepon sana. “Hehehe, makasih, sayangku… Jam tujuh malem nanti loe gue jemput. Dandan yang cantik ya? Hihihi…”

Malam harinya…
“Ya ampun, Fy, loe bener-bener cantik. Lebih cantik malem ini dari pada malem tahun baru tahun kemarin itu, inget kan? Ckckck, mirip bidadari deh… Loe keturunan bidadari yah, Fy?” kata Rio melebih-lebihkan saking kagumnya melihat Ify yang malam ini begitu sangat cantik.
“Yaelah, lebay banget sih loe…” kata Ify tersenyum malu. Pipinya sudah merah banget.
Rio cuman senyum-senyum nggak jelas. “Yaudah, ayo. Langsung aja kerumah gue… Bonyok gue udah nungguin loe dari tadi, dari jam setengah tujuh malah saking penasarannya sama elo, hahaha…” kata Rio.
“Ah, masak sih? Gue jadi malu, Yo, ketemu sama bonyok loe…” kata Ify.
“Halah, biasa aja. Anggep aja loe ketemu sama Gabriel atau temen-temen loe itu… Bonyok gue baik kok, kalo Bokap gue sih emang sedikit keras tapi dia baik banget, Nyokap gue lembut orangnya, jadi kagak usah takut…” kata Rio.
Ify hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.

Rio membuka pintu rumahnya ketika ia dan Ify sudah sampai dirumah. Kedua orang tua Rio sedang duduk di ruang tamu, tampaknya mereka —orang tua Rio— sedang menunggu kehadiran Rio dan Ify.
“Nah, itu Rio…” kata Mama Rio bernama Bu Amanda sambil menunjuk pintu. Pada saat itu, Bu Amanda dan Pak Zeth —Papa Rio— langsung menoleh kearah Pintu dan keduanya pun berdiri.
Ify membungkukkan badan, menunjukkan rasa hormat kepada orang yang lebih tua. “Selamat malam, Om, Tante…” kata Ify ramah, tak lupa memasang senyumnya yang super manis itu.
Bu Amanda tersenyum. Ia menatap Ify dengan pandangan suka. “Rio, gadis ini yang kamu ceritakan?” tanya Bu Amanda menatap kagum Rio yang ternyata pintar memilih gadis yang dijadikan kekasihnya.
“Iya, Mah, Pah. Dia yang sering aku ceritakan. Namanya Ify…” kata Rio sambil tersenyum.
“IFY?!” seru Pak Zeth dan Bu Amanda bersamaan. Kedua mata orang tua Rio terbelalak lebar. Kaget. Kemdian Pak Zeth dan Bu Amanda saling bertatapan penuh tanya.
“Kenapa, Tante? Om? Ada yang aneh?” tanya Ify heran.
“Eh, nggak kok, nggak. Yaudah, sekarang kita langsung ke ruang makan aja sambil nngobrol-ngobrol. Makanannya sudah siap dari tadi, nanti keburu dingin kan jadi nggak enak…” Pak Zeth membuka suara.
Ify dan Rio menganggukkan kepala mereka, Pak Zeth dan Bu Amanda sudah berjalan lebih dulu ke ruang makan, sedangkan Rio dan Ify mengikutinya dan berjalan di belakang.
Selama makan malam, Bu Amanda sering bertanya pada Ify tentang  sikap Rio selama di Jakarta, hubungan Ify dengan Rio, alamat rumah Ify dan semacamnya. Setelah itu, Bu Amanda mulai berani menanyakan hal yang bersifat pribadi. “Ify, kalau boleh tante tau… Kamu lahir dimana?” tanya tante.
“Di Surabaya tante…” jawab Ify.
“Dan besok adalah ulang tahun Ify, Mah, Pah. Tanggal enam desember…” tambah Rio.
Bu Amanda agak sedikit terkejut. Ini hanya sebuah kebetulan atau… “Ohh, boleh tante tanya lagi?” tanya Bu Amanda. Melihat Ify menganggukkan kepalanya, Bu Amanda tersenyum dan mulai berbicara lagi. “Tante boleh tau nggak, Fy, siapa nama orang tua kamu yang sekarang tinggal di Surabaya?” tanya Bu Amanda. Melihat Ify menaikkan alis sebelahnya, Bu Amanda cepat-cepat menambahkan. “Ya, biar Tante sama Om tau siapa nama orang tua kamu, kan kalau nanti kalian mau menyusun pernikahan kalian sama orang tua kamu kan biar nggak usah tanya-tanya dulu gitu…” lanjut Bu Amanda sedikit bercanda.
“Mamah, apaan sih… Belum apa pikiran sampai menikah ya…” kata Rio.
Ify tersenyum malu. “Nama Mama Saya Gina Sonia, Tante, kalo nama Papa saya Tubagus Hanafi Soeriaatmaja. Saya juga punya kakak dan adik, Tante, kakak saya namanya Eizel Mauldy Muhammad kalo adik saya namanya Khalif Ali Husain…” jelas Ify.
“Uhukk… Uhukk…” Pak Zeth dan Bu Amanda mendadak keselek makanan saat itu. Ketika Ify selesai menyebutkan nama kedua orang tuanya yang tinggal di surabaya.
“Hati-hati, Mah, Pah, kalo makan…” kata Rio kaget sambil nyodorin air putih ke Mama dan Papanya.
Ify merasa ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya, entahlah sesuatu apa itu yang pasti Ify tidak mengetahuinya.
“Ify, nama kamu Alyssa Saufika bukan?” tanya Pak Zeth.
Ify menolehkan kepalanya dengan cepat. “Kok Om bisa tahu? Bukannya tadi saya cuman nyebutin nama panggilan saya ya?” tanya Ify bingung, heran dan… Curiga. Apa keluarga Rio mengenal keluarga Ify? Tapi, aneh rasanya. Bukannya apa. Tapi Rio sendiri pernah bilang kepadanya kalau orang tua Rio berada di Jepang sudah lama. Bahkan sebelum Rio lahir. Rio juga lahirnya di Jepang tapi kenapa bisa mengenal keluarga Ify kalau memang pikiran Ify benar? Ini aneh. “Bentar, bentar… Om dan Tante kenal sama keluarga saya?” tanya Ify.
“Iya, kamu kenal dengan Ghina, Ghina itu sahabat saya, Fy…” kata Bu Amanda tak acuh.
“Ah, kebetulan, Tante, Om, besok Mama dan Papa saya dateng kesini merayakan ulang tahun saya…” kata Ify gembira. Ini kebetulan yang sangat menggembirakan bagi Ify. Ify nggak nyangka kalau ternyata orang tuanya mengenal orang tua Rio. Jadi pikiran Ify yang tadi beneran dong. Waah…
“Ah, itu bagus…” kata Bu Amanda.
“Gimana kalo besok kita rayain ulang tahun Ify sama keluarga Ify?” usul Rio yang sukses membuat Pak Zeth dan Bu Amanda lagi-lagi keselek makanan. “Hati-hati, Mah, Pah, kalo makan…” kata Rio kaget sambil nyodorin air putih.
“Om, Tante, maaf deh. Bukannya apa ya, tapi kok saya ngerasa Tante sama Om…”
“Ah, ide bagus… Besok kita rayain ulang tahun Ify bersama kan? Kebetulan Tante juga kangen banget sama Ghina,. Udah bertahun-tahun nggak ketemu…” kata Bu Amanda memotong omongan Ify.
Ify menghela napas pendek. Seperti dugaannya, Tante Amanda dan Om Zeth sepertinya menyembunyikan sesuatu darinya. Pasti. Tapi Ify tidak yakin. Ah, lupakan. Lebih baik loe nikmati makan malem sama keluarga Rio dulu deh, nggak usah mikirin yang aneh-aneh yang belum tentu bener… Pikir Ify dalam hati.

Selesai makan malam di rumah Rio, Rio pun mengantarkan Ify pulang kerumahnya. Tetapi sampai dirumah, Ify melihat ada taksi di depan rumahnya. Alis Ify terangkat keatas tanda heran. Siapa yang datang kerumahnya malam-malam seperti ini? Ify melirik ponselnya untuk melihat jam. 22.35. Sudah setengah sebelas.
“Fy, siapa tuh yang dateng malem-malem gini ke rumah elo?” tanya Rio heran.
Ify menoleh kearah Rio. “Nggak tahu, gue juga bingung nih…” kata Ify.
Rio langsung memberhentikan mobilnya dibelakang taksi itu. Ify dan Rio pun turun dari mobil dan masuk kedalam rumah Ify. Melihat lima orang sedang duduk di depan pintu rumah Ify, Ify heran. Tapi begitu jarak sudah dekat, dan Ify mengenali wajah-wajah orang itu, Ify langsung kaget dan menghampiri orang itu dengan perasaan gembira. “Mamah, Papah, Kak Eizel, Khalif…” seru Ify senang dengan wajah berseri-seri.
“IFY?! Kamu kemana aja sih? Kenapa jam segini baru pulang?” kata Bu Ghina.
“Ya maap deh, Mah, tadi habis di undang makam malem di rumahnya Rio…” jawab Ify.
“Rio? Siapa Rio?” tanya Papa Ify. “Fy, bayarin biayanya cepetan…” lanjut Papa Ify sambil menunjuk seorang supir taksi.
Ify menoleh dan mengasih beberapa lembar uang. “Ini pak…” kata Ify. Kemudian supir taksi itu pergi.
“Rio siapa?” tanya Papa Ify lagi.
“Itu… Rio… Rio… Rio… Itu, emm…” kata Ify bingung.
“Saya pacarnya Ify Tante, Om, nama saya Mario Stevano…” kata Rio sambil membungkukkan badannya, hal yang sama dilakukan seperti Ify ketika bertemu dengan orang tuanya. Tak lupa juga, Rio tersenyum ramah.
“Ohh, terus kalau makan malam kenapa sampai malam begini?” tanya Bu Ghina.
“Mama sendiri ngapain udah dateng kerumah Ify? Katanya jadwal pesawatnya berangkat besok tapi malah udah dateng…” kata Ify balik tanya dengan wajah bingung.
“Kita udah dateng seminggu yang lalu, nginep di rumah temen Papa, Dek…” kata Eizel, kakak Ify.
Ify memalingkan wajahnya dari Mamanya ke Kakaknya. “Ihh, kenapa nggak ngasih tau Ify sih?” tanya Ify.
“Sebenernya mau dibuat kejutan, tapi elonya gak ada di rumah. Gagal deh kejutannya…” sahut Eizel.
“Gagal apaan? Ini mah udah bisa dibilang kejutan tauk, tapi kenapa musti malem coba?” kata Ify.
“Emangnya gak boleh ya, Kak Ify, kalo malem?” tanya Khalif si adik yang imut-imut itu.
“Ya bukannya gitu, Khalif… Ah, tau ah…” kata Ify bingung jelasinnya.
“Yaudah, mana kuncinya? Nggak kasian apa kamu sama keluargamu sendiri nungguin diluar dari tadi…” kata papa Ify.
Ify nyengir, kemudian ngeluarin kunci rumah di dalam tas tangannya. “Ini, iya deh. Ify minta maaf…” kata Ify lagi.
Setelah membuka pintu, Khalif, Eizel dan Papa Ify langsung masuk ke dalam. Bu Ghina sendiri masih diluar bersama Ify dan Rio. Bu Ghina mengamati Rio
dari atas sampai bawah, sepertinya ia mengenal anak laki-laki ini. Tapi…
”Oh ya, Mah, kenal nggak sama Bu Amanda dan Pak Zeth?” tanya Ify tiba-tiba sambil menyenggol siku Rio pelan yang berdiri di sebelahnya ini.
“Ngapain kamu tanya-tanya soal itu?” bentak Bu Ghina. Raut wajahnya terlihat ketakutan.
“Mamah kenapa? Kok kayak ketakutan gitu? Ify kan cuman tanya Mamah kenal apa nggak sama Bu Amanda dan Pak Zeth. Mereka itu kan orang tuanya Rio, Mah…” jelas Ify.
“Apa? Manda sama Zeth orang tuanya… Dia?” tanya Bu Ghina kaget.
Ify menganggukkan kepalanya.
“Bukannya Manda dan Zeth di Jepang?” tanya Bu Ghina.
“Sudah kembali tante, tadi pagi…” kata Rio sambil tersenyum lagi.
“Ohh…” sahut Bu Ghina tak acuh. “Mamah, masuk dulu ya, Fy, udah malem…” kata Bu Ghina. Wajah Bu Ghina mendadak pucat saat itu juga. Juga terlihat ketakutan.
Aneh, Pikir Ify dalam hatinya. Kemudian ia berbalik menatap Rio. “Masuk, Yo, dingin luar…” kata Ify.
“Nggak usah, gue pulang langsung aja, udah malem banget…” kata Rio.
“Oh, yaudah…” kata Ify.
Rio meraih kedua tangan Ify dan mengangkatnya sampai ke dada. “Kalo gue pulang, mendingan loe langsung tidur… Ini udah malem soalnya. Jangan lupa mimpiin gue ya…” kata Rio.
Ify mengangguk-anggukkan kepalanya. “Oke, oke… Tenang aja…” kata Ify sambil mengedipkan sebelah matanya dan tersenyum manis pada Rio.
Rio ikut tersenyum. Senyum Ify memang selalu membuatnya ikut tersenyum. Dilepaskannya kedua tangan Ify kemudian Rio mendekati wajah Ify dan dikecupnya lembut kening Ify. “Yaudah, gue pulang dulu…” kata Rio.
“Rioooo! Udah gue bilang… Embhh, embhh…” kata Ify. Tak sempat menyelesaikan kata-katanya Rio langsung membekap mulut Ify dan membisikkan sesuatu pada Ify.
“Sttt, nggak usah banyak omong. Udah malem… Gue pulang dulu…” kata Rio.
CUPP… Rio menggunakan kesempatannya yang sedang membekap mulut Ify untuk mencium pipi kanan Ify. Lagi-lagi senyum itu membuat Ify kesal. Senyum jahil Rio. Rio melihat Ify cemberut dan Rio tersenyum jahil kearahnya. “Gue pulang dulu…” pamit Rio.
“Rese banget sih tuh orang. Main nyosor aja…” kata Ify kesal begitu Rio sudah pergi meninggalkan rumahnya. Ify pun memutuskan untuk masuk kedalam rumahnya. Ternyata keluarganya sudah berkumpul dan duduk manis di ruang tamu. Ify heran melihatnya, namun ikut bergabung.
“Kok belum tidur?” tanya Ify.
“Ify, Papa minta kamu segera mengakhiri hubunganmu dengan Rio…” kata Papa Ify datar.
Ify tersentak kaget. Menatap Papanya heran. “Lho, emangnya kenapa, Pah?”
“Pokoknya kalau papah bilang berhenti ya berhenti. Atau kamu akan menyesal kalau kamu sudah terlanjur cinta sama lelaki bernama Rio itu…” kata Papa Ify dengan nada tinggi.
“Tapi pah…”
“Sudah berapa lama kamu berpacaran dengan Rio?” tanya Bu Ghina.
“Emm, sudah hampir satu tahun, Pah, Mah…” jawab Ify.
Mendengar jawaban Ify, Bu Ghina dan Papa Ify spontan menolehkan kepalanya dengan cepat kearah Ify. Mata Bu Ghina terbelalak lebar, sama dengan Papanya. “APA?!” kaget kedua orang tua Ify.
“Pokoknya kamu harus mengakhiri hubungan kalian!” bentak Papa Ify.
Ify sampai tersentak kaget. “Pah, jelasin sama Ify kenapa Papah ngelarang Ify pacaran sama Rio? Kenapa Pah, Mah? Jelasin sama Ify!” pinta Ify, matanya sudah berkaca-kaca.
“Sekarang bukanlah saat yang tepat untuk kamu ketahui, Ify. Kamu akan mengetahui suatu saat nanti, tapi Papah minta kamu harus mengakhiri hubunganmu dengan Rio… Sebelum kamu menyesal dan terluka…” kata Papa Ify.
“Kenapa, Pah?” tanya Ify lagi. Air matanya sudah jatuh. Ia menatap Eizel, berharap kakaknya mau menjelaskan masalah yang sebenarnya. Tapi kakaknya hanya tersenyum masam.
“POKOKNYA PAPAH TEKANKAN! KAMU HARUS MENGAKHIRI HUBUNGANMU DENGAN RIO!! KALAU TIDAK KAMU AKAN MENYESAL, FY!! MENYESAL!! KAMU NGGAK BOLEH MENCINTAINYA!! TIDAK BOLEH!!” bentak Papa Ify lagi.
“IYA, TAPI KENAPA PAH?! TOLONG JELASIN SAMA IFY?!” kata Ify lagi. Ia menangis semakin keras.
“POKOKNYA PAPA BILANG BERHENTI YA BERHENTI!!” kata Papa Ify kemudian meninggalkan Ify yang menangis disana. Bu Ghina dan Khalif juga meninggalkan Ify.
Sekarang ruangan itu hening, hanya ada Eizel dan Ify disana. Eizel mendekati Ify dan memeluknya. “Fy, turuti permintaan Papa sebelum kamu menyesal…” kata Eizel.
Ify menatap kakaknya. “Kak, ceritain sama Ify, kenapa Papa nggak setuju sama hubungan Ify dan Rio? Jelasin sama Ify kak… Hiks…” kata Ify terisak.
“Kakak nggak bisa cerita sama kamu, Fy, kakak nggak berhak bercerita hal ini sama kamu…” jawab kakaknya sambil membelai lembut adik perempuannya itu.
“Kak… Tolong Ify… Bujuk Papa biar papah setuju sama hubungan Ify dan Rio…” pinta Ify.
“Kakak nggak bisa, Fy…” kata Eizel.
“Kakak…” kata Ify terisak.
Eizel tidak menyahut lahi, ia membiarkan Ify nangis sepuasnya di dalam pelukannya.

Keesokan paginya…
Mata Ify sembab gara-gara semalam ia nangis. Ia berjalan keluar kamar menuju dapur yang ada di lantai dasar. Saat ia melewati ruang keluarga ia bertemu dengan Mamanya.
“Matamu kenapa, Fy?” tanya Bu Ghina.
“Habis nangis semalaman…” jawab Ify cuek.
Bu Ghina diam. Tak respon.
“Oh iya, Tante Amanda dan Om Zeth hari ini dateng ke rumah kita. Dia mau ngerayain ulang tahun Ify bareng keluarga kita…” kata Ify lagi cuek dan tanpa menoleh kearah Mamanya.
“Oh, bagus…” kata Bu Ghina pelan.
Ify tak mengubris dan melanjutkan jalannya menuju dapur untuk mengambil minum.


Rio POV

Malam harinya…
Hari ulang tahun Ify. Ah, aku menyiapkan kdo untuknya. Boneka Teddy Bear kesukaan Ify yang ukurannya besar. Berwarna pink sesuai dengan warna kesukaan Ify. Malam ini, aku juga sudah dandan ganteng banget lah pokoknya, hahaha… Setelah yakin, aku sudah cakep aku pun langsung turun menemui orang tuaku yang sepertinya sudah menungguku dibawah sejak tadi.
“Ayo, Mah, Pah… Berangkat…” kataku.
Akhirnya, keluargaku pun berangkat menuju rumah Ify. Ah, pasti Ify malam ini sangat cantik.

Sesampainya di rumah Ify. Aku, Mamah dan Papah langsung turun dan masuk kedalam rumah Ify. Di dalam hanya ada Keluarga Ify dan Gabriel saja. Memang. Ulangtahun Ify tidak dirayakan besar-besaran. Dan benar dugaanku, malam ini Ify sangat cantik. Tapi tidak secantik kemarin saat Mama dan Papaku mengundang Ify makan malam kemarin. Ah, tidak apa-apa. Yang penting Ify cantik malam ini. Aku makin cinta deh padanya…
Aku berjalan menghampiri Ify, sebelumnya aku memberi ucapan selamat malam pada keluarga Ify. Kemudian aku menghampiri Ify yang sedang duduk dengan Gabriel. Aku memeilih duduk disebelah Ify.
Kuraih tangan Ify dan aku genggamnya dengan erat. Ify menoleh kearahku, aku merasa ada yang aneh dari wajahnya. Matanya sembab. Apa dia habis menangis? Aku kawatir sekali melihat wajahnya.
“Fy, loe kenapa? Habis nangis?” tanyaku kawatir.
Ify tersenyum —yang aku rasakan— terkesan di paksakan. “Nggak apa-apa, Yo…” jawabnya.
Sepetinya Ify nggak mau memberi tahu alasannya deh padaku. Ify kenapa sih? Apa yang terjadi padanya? “Fy, loe lupa janji loe ke gue yah?” kataku kecewa.
“Janji apa?” tanya Ify.
Tuh kan. Ify lupa. “Yang nggak nangis itu lho, masak lupa…” kataku.
“Maaf, kemarin emang aku gak bisa nahan air mata, jadi aku terpaksa nangis…” jawab Ify.
“Yaudah, nggak apa-apa. Lain kali jangan nangis lho, jelek tauk…” godaku sambil menoel dagu Ify.
“Ehmm… Kacang, kacang…” kata Gabriel berdehem pelan.
“Satu kilo berapa, Mas?” godaku.
“Sialan loe…” kata Gabriel.
Aku tertawa kecil menanggapi perkataan Gabriel.

Acara ulang tahun Ify berlangsung. Hingga berjam-jam dan akhirnya selesai juga. Ketika itu, aku menghampiri Ify yang sedang duduk bersama Mamanya. Aku pun memilih duduk di sebelah Ify. “Fy, tadi permohonan kamu apaan?” tanyaku.
“Aku minta semoga hubungan kita nggak berakhir gitu aja, Nggak putus ditengah jalan dan orang tua kita menyetujui hubungan kita…” jawab Ify lancar, suara datar.
Aneh. Sebenarnya Ify kenapa? Ia terlihat sangat tidak cerita. Seharusnya ia bahagia karena sekarang adalah ulang tahunnya. Apa yang terjadi pada Ify? Punya masalah?


Normal POV

“Fy, tadi permohonan kamu apaan?” tanya Rio.
Bu Ghina menoleh sekilas kearah Rio dan Ify. Kemudian menghela napas pendek dan menghembuskannya. Ia memasang telinga baik-baik, mendengarkan apa yang akan Ify jawab.
“Aku minta semoga hubungan kita nggak berakhir gitu aja, Nggak putus ditengah jalan dan orang tua kita menyetujui hubungan kita…” jawab Ify lancar, suaranya datar.
Bu Ghina tersentak kaget. Ia benar-benar bingung saat itu. Apa mungkin putrinya ini sudah benar-benar mencintai Rio? Benarakah? Itu tidak boleh terjadi. Ify maupun Rio tidak boleh saling mencintai. Tidak!
“Fy, Mama kesana dulu ya…” pamit Bu Ghina menghampiri Bu Amanda.
Ify tak menyahut, ia diam. Matanya lurus kedepan. Pandangannya kosong.

Di belakang rumah Ify, Bu Amanda dan Bu Ghina sedang duduk di belakang sana. Terlihat, Bu Ghina menghela napas berat. Sama hal nya dengan Bu Amanda. Bu Ghina dan Bu Amanda saling bertatapan dengan pandangan aneh.
“Rio sudah tau, Man, tentang masalah ini?” tanya Bu Ghina pada Bu Amanda.
Bu Ghina menggelengkan kepalanya. “Belum. Dia bahkan belum kami suruh untuk menghentikan hubungan mereka. Kalau Ify? Apa sudah kamu beritahu? Dia keliatan murung hari ini? Wajahnya kusut…” kata Bu Amanda.
“Belum. Ify cuman kami suruh menghentikan hubungannya dengan Rio. Namun, dia kayaknya nggak bisa nerima dan… Ya begitulah…” kata Bu Ghina.
Bu Amanda menghela napas. “Ify sangat cantik sekarang. Aku benar-benar merindukannya. Merindukan sosok mungil itu…” kata Bu Amanda. Matanya berkaca-kaca. “Aku menyesal…” lanjutnya lagi.
Bu Ghina diam. “Aku tahu bagaimana perasaanmu, Man, tapi kamu melakukan itu demi Ify juga kan?” sahut Bu Ghina.
“Iya, aku tahu. Tapi kenapa jadinya harus seperti ini? Mereka —Rio dan Ify— nggak boleh saling mencintai. Apalagi kalau mereka sampai… Menikah. Haram…” kata Bu Amanda.
Bu Ghina tersenyum samar. “Kalau kamu mau mengambil Ify lagi aku tidak keberatan, Man, walaupun sebenarnya Ify bukan anakku aku sudah menganggapnya seperti anak sendiri. Dia anak yang baik dan penurut. Aku sayang sekali sama Ify. Sama seperti aku sayang sama Eizel dan Khalif…” kata Bu Ghina. Air matanya metes saat itu.
“Aku membuang anakku sendiri, Ghin… Aku membuang anakku sendiri…” kata Bu Amanda.
“Kamu tidak membuang anakmu, kamu hanya menitipkan anakmu padaku. Jangan menyalahkan diri sendiri. Kalau saja bapakmu setuju kalau kamu punya anak perempuan kamu juga tidak akan menitipkannya padaku, kan?” kata Bu Ghina menenangkan.
“Tapi Ify dan Rio saling mencintai, Ghin… Mereka adik dan kakak… Mereka saudara kandung!” kata Bu Amanda terisak.
“Jadi Ify dan Rio…” tiba-tiba seseorang keluar dari tempat persembunyiannya dan menatap kedua wanita itu dengan tatapan tak percaya.
“RIO!” kata Bu Amanda dan Bu Ghina langsung berdiri.


Rio POV

“Aku membuang anakku sendiri, Ghin… Aku membuang anakku sendiri…”
Aku memberhentikan langkahku, aku mendengar suara seorang wanita yang suaranya tidak asing. Suara itu seperti suara Mama. Ya, tidak salah lagi. Pasti.
“Kamu tidak membuang anakmu, kamu hanya menitipkan anakmu padaku. Jangan menyalahkan diri sendiri. Kalau saja bapakmu setuju kalau kamu punya anak perempuan kamu juga tidak akan menitipkannya padaku, kan?” respon suara seorang wanita.
Suara itu, suara Bu Ghina. Mama Ify. Ya, aku yakin. Awalnya aku tidak meperdulikannya. Namun karena penasaran, aku mencari sumber suara tersebut dan menguping. Penasaran apa yang Mama dan Bu Ghina bicarakan.
“Tapi Ify dan Rio saling mencintai, Ghin… Mereka adik dan kakak… Mereka saudara kandung!”
JDERR… Seperti petir menyambar hatiku. Apa? Aku dan Ify kakak beradik? Saudara kandung? Maksudnya? Maksudnya apa? Kenapa? Kenapa… TIDAK! Tidak mungkin.
Aku melangkahkan kakiku keluar dari tempat persembunyianku. “Jadi Ify dan Rio…” kataku pelan. Terlalu shock mendengarnya. Aku sendiri juga bingung mau mengatakan apa lagi. Dadaku sesak. Jantungku serasa berhenti.
“RIO!” kata Mama dan Bu Ghina langsung berdiri dan menatapku dengan wajah yang kaget.
“Rio dan Ify kakak adik?” tanyaku shock.
“Rio… Biar Mama jelasin…” kata Mamaku terlihat bingung.
Air mataku jatuh. Oke, ini pertama kalinya aku nangis di depan Mama. “KENAPA MAMA NGGAK BILANG SAMA RIO SEJAK AWAL!!!” marahku dengan suara bentakan.
Tanganku mengepal keras. Tubuhku bergetar hebat. “BILANG SAMA RIO, MAH, YANG MAMA UCAPIN ITU BOHONG!! BILANG SAMA RIO!!!” kataku keras.
“Rio… Itu, itu…” kata Mamaku.
“ARGHHH!!!! JAWAB MAH PERTANYAAN RIO!! BILANG KALO ITU SEMUA BOHONG!!” kataku emosi.
“Maafin, Mama, Rio…” kata Mamaku.
“ARGGGHHHH!!!!  NGGAK!! NGGAK MUNGKIN!!!” bantahku.
“Rio…” kata Bu Ghina.
“AKU DAN IFY BUKAN SAUDARA!! BUKAAAAAN!!!!!” kataku histeris sambil menjambaki rambutku keras. Kemudian terduduk di lantai dengan air mataku yang terus mengalir.
“Mama menyesal Rio…” kata Mamaku.
“Mah… Bilang semuanya bohong! Jangan buat Rio takut…” kataku dengan suara serak.
Mama nggak jawab perkataanku. Aku melihat Mama, ternyata Mama menangis dan aku juga bisa mendengar isak tangisnya. Nggak hanya Mama, Bu Ghina juga menangis. Ya Tuhan. Kenapa hal ini harus terjadi padaku? Kenapa?  Bagaimana reaksi Ify ketika mendengarnya? Aku tidak mau melihatnya… Ify nggak boleh tau masalah ini… Ia terlalu lemah jika diberitahu masalah ini. Hatinya pasti terluka. Sangat terluka. Cukup hanya aku saja yang terluka. Aku tidak mau melihatnya terluka. Tidak.


Normal POV

“Rio, loe dari mana sih?” tanya Ify kesal ketika melihat Rio menghampirinya dengan dandanan amburadul. “Habis ngapain loe kok jadi acak-acakan gini penampilan loe?” tanya Ify lagi.
Rio menatap Ify sayu. Gadis itu adalah adiknya. Adik kandung yang dicintainya. Sangat dicintainya. Ia tersenyum masam. “Tadi dari toilet…” jawab Rio singkat.
“Ohh…” kata Ify menggangguk tak acuh.
“Loe tunggu disini bentar yah? Gue punya kado buat elo…” kata Rio.
Ify menganggukkan kepalanya dengan gembira. Sejenak ia melupakan masalah kemarin malam.
Rio pergi dari sana dan kembali dengan membawa Boneka Teddy Bear kesukaan Ify. Rio menyerahkan Boneka itu sebagai tanda hadiah ulang tahun Ify tanpa ekspresi. “Nih, selamat ulang tahun ya, Adikku sayang…” kata Rio datar. Ia menghela napas berat.
“Adikku sayang? Maksudnya?” tanya Ify nggak ngerti.
“Nggak ada maksud apa-apa. Loe kan bagi gue cuman anak kecil yang cengeng dan manja. Makanya gue anggep elo kayak adek gue, nggak apa-apa kan?” tanya Rio sambil mencoba menahan air matanya agar tidak tumpah. Rio inget! Loe cowok! Nggak malu apa nangis di depan cewek. Pikir Rio dalam hati.
“Gue kan pacar elo, Yo…” kata Ify.
“Ya, elo pacar gue dann adek gue…” kata Rio tersenyum kecil sambil menepuk-nepuk punggung Ify pelan.

Rio duduk dalam diam. Pandangan lurus ke depan. Kosong. Menerawang. Aneh. Pak Zeth sudah tahu kalau Rio sudah mengetahui semuanya karena Bu Amanda cerita pada Pak Zeth. Bu Amanda maupun Pak Zeth menatap prihatin anak laki-lakinya itu.
“Yo…” panggil Pak Zeth pelan.
Rio tak menyahut. Rio tak membuka mulutnya untuk membuka suara. Rio tak bergeming. Ia hanya diam. Seperti patung. Pandangan sama seperti tadi. Kosong. Menerawang. Aneh.
“Papa tahu gimana perasaanmu sekarang? Tapi Papa mohon kamu harus mengakhiri hubunganmu dengan Ify. Papa juga tahu, kamu terlambat mengetahui masalah ini. Papa juga nggak tahu kenapa kamu bisa bertemu dengan adik kandungmu sendiri, bahkan sampai berpacaran… Papah juga tahu kamu sepertinya sudah terlanjur cinta sama Ify, tapi…” kata-kata Pak Zeth tiba-tiba di potong oleh Rio.
“Rio tau, Pah. Rio juga nggak bakalan nyangka jadinya seperti ini…” kata Rio memotong omongan Pak Zeth. Rio mencoba tegar, tapi tak bisa. Hatinya terlanjur rapuh. Beberapa hal yang membuat Rio nggak asing ketika melihat Ify baru disadarinya. Ify, mirip dengan orang tuanya. Rio baru menyadari gaya bicara Ify sama seperti Ibunya. Ketika Ify tertawa, menangis…
“Maafkan Mama, Yo…” kata Bu Amanda.
“Mama nggak punya salah apapun sama Rio, jadi nggak usah minta maaf…” kata Rio.
Suasana menjadi hening. Tiba-tiba Rio berdiri dan menatap kedua orang tuanya. “Rio mau ke kamr dulu. Rio udah ngantuk…” pamitnya dengan suara serak.

Keesokan paginya…
Gabriel bingung melihat sahabatnya yang satu ini tampak murung. Tidak seperti biasanya yang selalu terlihat ceria dan paling semangat. Gabriel melihat Rio prihatin. Pasti Rio punya masalah. Ya, ia yakin. Tapi… Memangnya seberat itu masalah Rio sampai-sampai Rio terlihat murung seperti ini? Selama Gabriel mengenal Rio, Gabriel tidak pernah melihat Rio semurung ini. Kalaupun Rio ada masalah pasti Rio selalu tegar menghadapinya. Tapi ini?
“Yo, loe kenapa?” tanya Gabriel cemas sambil meminum Fanta yang dibelinya tadi.
Rio menatap Gabriel dengan matanya yang sayu. “Gue dan Ify ternyata saudara kandung, Yel…” jelas Rio.
“Uhukk… Uhuk…” Gabriel keselek mendengar penjelasan Rio. “Apa? Saudara kandung? Hahaha… Ngaco loe, Yo, emang gue percaya gitu…” kata Gabriel tertawa meremehkan karena tidak percaya dengan apa yang di ucapkan Rio.
“Gue serius, kalo gak percaya loe bisa tanya Mama gue atau nggak Tante Ghina…” kata Rio lagi, matanya sudah berkaca-kaca. Kemudian Rio menceritakan semua masalahnya, dari waktu dia nguping pembicaraan Mamanya dengan Bu Ghina sampai kejadian kemarin malam.
Gabriel menatap kasian sahabatnya ini. “Jadi, ini yang ngebuat loe murung? Loe dan Ify saudara kandung?” tanya Gabriel.
Rio menganggukkan kepalanya. Setetes air matanya jatuh dan dengan sigap Rio menghapusnya.
Gabriel menepuk-nepuk punggung Rio. “Loe nggak boleh sedih, Bro, loe harus kuat ngadepinnya. Gue tau kalo gue ada di posisi loe gue bakalan sama kayak loe atau bahkan gue udah bunuh diri malah. Loe yang kuat, Yo, anggep aja loe nggak pernah ketemu sama Ify. Loe nggak pernah pacaran sama dia… Dan baru kali ini gue ngeliat loe nangis. Jangan cengeng. Rio yang gue kenal bukan Rio yang cengeng…” kata Gabriel.


Ify POV

Dua minggu kemudian…
Aku duduk diatas ranjang tidurku sambil memeluk Boneka Teddy Bear pemberian Rio. Aku sangat merindukan sosok manis itu. Beberapa hari ini Rio sepertinya tampak menjauhiku. Aku bingung kenapa ia begitu. Jujur saja, aku sangat merindukan sosoknya. Merindukan suaranya, matanya, tangannya, pelukannya. Aku kangen sama Rio. Kangen banget. Aku heran kenapa Rio —sepertinya— mendadak menjauhiku. Apa Rio punya kekasih baru yang lebih cantik dariku? Mungkin saja. Tapi, masak Rio seperti itu. Sejak malam itu, malam saat dimana aku berulang tahun dia sudah berubah menjadi aneh. Padahal sebelumnya dia biasa aja. Apa yang terjadi padanya? Apa? Dia benar-benar menjauhiku. Aku ada salah apa sama dia? Salah apa? KATAKAN!
Tok… tok… tok… Pintu kamarku diketuk oleh seseorang. Aku menatap kearah pintu itu sekilas, kemudian langsung berseru pelan. “Masuk!” kataku singkat.
Pintu dibuka oleh seseorang dari arah luar. Ternyata Kak Eizel, dia masuk dan duduk di tepi ranjang tidurku sambil menatapku. “Ayo, Fy, keluar. Ada sesuatu yang mau Papa dan Mama jelasin sama kamu. Ini penting. Keluarga Rio juga dateng kesini. Ayo…” kata Kak Eizel.
Apa? Papa mau jelasin apa ke aku? Kenapa Keluarga Rio juga datang kemari? Bentar-bentar. Keluarga Rio datang kesini bukan? Berarti Rio juga ada. Ya, pasti. “Ada Rio, Kak?” tanyaku semangat dan menatap Kak Eizel dengan mata berbinar-binar.
“Oh? Rio…” kata Kak Eizel terlihat bingung. Kenapa sih? “Rio ada kok…” lanjutnya.
Senyumku langsung mengembang.

Aku tersenyum ketika mendapati Rio sedang duduk manis disana. Ternyata semuanya sudah ngumpul. Kira-kira Papa mau bicara apa ya? Penasaran sekali. Sungguh. Tapi rasa penasaran itu tak berklangsung lama karena aku langsung berlari mendekati Rio dan duduk di sebelahnya. Aku memberi Rio senyum, namun apa reaksinya? Rio malah membuang muka. Jujur, aku sakit hati dengan tingkah laku Rio saat itu.  Kenapa Rio jadi cuek seperti ini sama aku? SMS aku nggak pernah dia bales, telpon nggak diankat. Huh… Dia berbah 180° Aku kecewa.
“Ify, Papa mau bilang sesuatu sama kamu. Tapi kamu jangan kaget ya? Jangan shock?” kata Papa.
Aku menatap Papaku dengan bingung. “Yaudah, ngomong aja, Pah…” kataku.
Kulihat Papa sepertinya memberi kode-kode ke Bu Amanda dan aku hanya bisa menatapnya bingung. Namun, tak berapa lama, Bu Amanda membuka suara. “Ify, jadi sebenernya kamu anak tante…” kata Bu Amanda mnembuka suara.
“Hah? Aduh tante, bercandanya nggak lucu deh…” kataku sambil tertawa kecil.
“Kamu anak tante yang tante titipin ke tante Ghina. Dulu Kakek kamu atau Papa tante nggak setuju kalau tante punya anak perempuan. Tante juga nggak tahu alesannya apa, dan  Kakek kamu udah ngancem tante kalo tante punya anak perempuan Kakek kamu akan membuang kamu ke Panti Asuhan. Makanya tante titipin kamu ke tante Ghina. Rencananya kalau kamu sudah tepat berumur dua puluh tahun bakalan tante ambil kamu lagi. Dan tanggal enam desember  kemarin, ulang tahunmu yang ke dua puluh bukan? Makanya…”
“Cukup-cukup! Aduh, tante… Bercandanya nggak lucu tau nggak? Kalo emang tante nggak setuju aku punya hubungan sama Rio ngomong jujur aja langsung tante, nggak usah pake bikin cerita aneh kayak gini…” kataku membantah. “Satu lagi, aku dan Rio bukan adik kakak!” kataku.
“Ify, ini beneran. Ini nggak bohong atau cuman cerita aneh yang kamu kira… Ini fakta!” kata Rio.
Aku menoleh menatap Rio. “Nggak! Nggak! Gue nggak percaya. Eh, Yo, loe kalo mau hubungan kita berakhir bilang aja langsung. Nggak usah pake sekongkol sama orang tua loe itu yang ngarang cerita aneh dan buat fakta abal. Emang gue percaya? NGGAK! Loe kalo punya cewek lain yang lebih cantik dai gue ngomong aja, loe mau putus sama gue? Okey, gue nggak masalah… Gue…”
“JANGAN BILANG ORANG TUA GUE SUKA NGARANG CERITA DAN BUAT FAKTA ABAL!! DIA JUGA ORANG TUA KANDUNG ELO, FY!! DIA YANG NGELAHIRIN ELO!! PUNYA OTAK NGGAK SIH LOE!! LOE TUH YA NGGAK BERSYUKUR MAMA GUE UDAH MAU NITIPIN ELO KE TANTE GHINA!! COBA KALO NGGAK?? MUNGKIN LOE UDAH DI BUANG SAMA KAKEK!! MIKIR PAKE OTAK!! MAMA SAMA PAPA TUH SAYANG BANGET SAMA LOE!! BODOH!!” bentak Rio kebawa emosi.
Aku tersentak kaget karena baru kali ini Rio membentakku. Aku menggelengkan kepalaku. “Nggak! Nggak! Dia bukan orang tua gue, loe juga bukan saudara gue. Nggak! Nggak! Gue nggak percaya. Ini pasti cuman akal-akalan loe sama bonyok aja… Iya kan?” kataku membantah. Mataku sudah berkaca-kaca. “Lagian nggak ada bukti yang kuat kalau gue anaknya tante Amanda…” lanjutku.
“Ify…” tiba-tiba Kak Eizel memanggil namaku. Aku menunggunya untuk melanjutkan kata-katanya. “Loe masih inget waktu loe dulu kecelakaan dan kekurangan darah? Gue mau donorin darah gue ke elo tapi nggak cocok. Sama kayak Papah dan Mamah. Loe inget?” tanya Kak Eizel. “Itu sudah termasuk bukti kecil…”
Aku tertegun. Yap! Aku inget, waktu itu aku kecelakaan dan kekurangan darah. Keluargaku mau menyumbangkan darah kepadaku namun tak ada satu pun yang cocok. Jadi… Jadi… Tanpa kusadari air mataku metes. “Nggak! Nggak mungkin! Gue bukan anaknya Tante Amanda dan Pak Zeth! Gue anaknya Mama dan Papa! Nggakk…” teriakku.
“NGGAK!! NGAAK!!” teriakku lagi sambil menutup telingaku. Kali ini air mataku tumpah. Aku berteriak keras dan menolak kenyataan itu. Ketika kubuka mata untuk melihat rasanya sulit. Sangat sulit. Tiba-tiba aku merasa semuanya gelap. Aku bahkan tidak sadar apa yang terjadi padaku saat itu. Yang aku dengan terakhir kali adalah suara Rio yang memekik memanggil namaku.


Normal POV

Besok adalah Malam Tahun Baru. Pasti sangat ramai. Ify menyukai hal ini. Kembang api. Keramaian. Ify sangat menyukainya. Dan hari ini Ify memutuskan untuk mengunjungi Danau itu. Tempat dimana Rio sukses membuat Ify terkegum-kagum pada pemandangan itu sekaligus tempat Rio menyatakan cintanya pada Ify.
“Tempatnya nggak berubah. Masih indah sama seperti setahun yang lalu…” kata Ify kagum sambil memandang arah disekitarnya. Tiba-tiba matanya berhenti pada sosok orang yang tengah duduk di bangku yang menghadap danau, orang itu membelakanginya sehingga Ify tidak tahu siapa orang itu. Ify mendekati orang itu dan mencari tahu siapa orang itu.
“RIO!!” pekik Ify kaget ketika menyadari kalau orang itu adalah Rio.
Orang itu membalikkan badan. Sama seperti Ify, orang itu juga kaget. “IFY!” Yap! Orang itu adalah Rio.
Melihat Rio, Ify rasanya pengen nangis aja. Bahkan matanya sudah berkaca-kaca. Dengan suara beratnya ia bertanya. “Ngapain disini?” tanyanya pelan.
“Nggak apa-apa. Cuman pengen aja disini. Suasana indah, bisa membuat hati tenang…” jawab Rio sambil berusaha senyum.
Senyum itu. Membuat hati Ify semakin sakit. Senyum manis Rio… “Ohh…” sahut Ify singkat.
Tiba-tiba Rio mendekati Ify dan memeluk gadis itu. Memeluk Ify sangat erat seakan tak merelakan Ify melepaskan pelukannya. Ify juga menerima Rio memeluknya. Ify juga membalas pelukan Rio. Pelukan hangat. Ify merindukan itu. Sama dengan Rio. Sudah tidak bisa! Ify merasa air matanya sudah tidak bisa ia tahan. Air matanya jatuh, tumpah. Bahkan Rio bisa merasakan air mata Ify yang memasahi dadanya. Rio malah semakin mengeratkan pelukannya dan Ify semakin keras menangis.
“Jangan nangis…” kata Rio kepada Ify mengucapkannya dalam bisikan. Lembut.
Ify tak menjawab. Ia malah menangis semakin keras. Semakin keras. Pelukan Rio sangat menghangatkan. Pelukan ini. Ify rindu dengan pelukan Rio. Pelukan dari sang Mantan Pacar sekaligus… Kakaknya. Ify semakin keras menangis ketika mengingat bahwa dia adalah Adik Rio.
“Please, jangan nangis. Loe inget kan sama janji loe? Masih inget sama kata-kata gue dulu?” kata Rio lagi, suara lembut.  “Kalo loe senyum pasti juga bikin orang senyum, kalo loe nangis orang itu pasti bakalan ikut nangis, kayak gue. Gue nggak mau nangis sekarang… Gue bukan cowok cengeng! Dan loe, orang pertama yang bisa membguat gue nangis kayak gini…” kata Rio yang akhirnya ikutan nangis juga. Ia merasa ada sedikit kenyamanan ketika memeluk Ify. Kenyamanan yang hilang beberapa minggu ini.
“Ijinin gue nangis. Kali ini aja… Gue janji, kali ini terakhir kalinya gue nangis. Gue nggak akan nangis lagi demi elo. Tapi ijinin gue kali ini nangis… Nangis dalam pelukan elo, Kakak…” kata Ify terisak.
Rio tersenyum pahit. “Loe bisa nangis sesuka loe disini, selama gue masih disini. Karena besok gue udah nggak ada disini lagi…” kata Rio.
“Loe mau kemana?” tanya Ify semakin memperkeras tangisnya. “Jangan pergi…” pinta Ify dengan suara serak. “Jangan tinggalin gue…” lanjut Ify.
Rio tersenyum kecil. “Tapi gue harus pergi. Gue akan pindah ke Jepang sama Kakek. Mungkin dengan cara ini loe bisa ngelupain kenangan kita selama setahun ini…” gumam Rio pelan.
Jantung Ify terasa berhenti. “Apa? Loe pergi ke Jepang? Jangan tinggalin gue, Yo, loe tega banget sih ninggalin gue di malem tahun baru… Kenapa loe tega banget sama gue?” kata Ify.
“Maafin gue…” kata Rio pelan.
Ify kembali menangis. Kali ini dengan suara. “Jangan tinggalin gue…”
Rio membelai lembut rambut Ify. “Gue nggak akan tinggalin loe. Gue disini nemenin elo…” kata Rio.
Ify merasa sedikit tenang. Ia mengeratkan pelukannyake Rio. Benar-benar terasa damai walaupun hatinya terluka. Kalau saja waktu bisa berhenti. Ia ingin sekali memilih saat-saat yang seperti ini ketika waktu itu berhenti. Dunia terasa damai baginya. Sejenak, Ify melupakan semua masalahnya. Ia ingin menghabiskan waktunya hari ini bersama Rio sebelum lelaki itu benar-benar pergi meninggalkannya.

Keeokan paginya…
“Fy, keluar yuk…” ajak Gabriel lewat telepon. “Masak cuman diem di rumah aja sih? Nggak asik ah, Malam Tahun Baru dirumah apa enaknya… Keluar yuk bareng sama gue…” lanjut Gabriel lagi.
“Gue males keluar, Yel…” kata Ify.
“Pasti gara-gara Rio sudah berangkat ke Jepang elonya males gini jadi. Hello, Fy, Rio juga nggak bakalan bisa tenang disana kalo loe kayak gini terus…” kata Gabriel.
“Emang loe pikir Rio udah meninggal pake tenang disana segala?” protes Ify.
“Maksud gue bukan gitu. Aduh, Fy…” kata Gabriel.
“Oke, oke. Gue mau, asalkan elo mau jemput gue…” kata Ify akhirnya.
“Oke, setengah jam lagi gue yakinkan udah sampe…” kata Gabriel.
“Siip, gue tunggu…” sahut Ify kemudian mematikan ponselnya. “Oke, Ify, loe harus bisa ngelupain Rio. Belajarlah menganggap Rio sebagai kakak loe dan jangan inget masa lalu. Oke, Ify, Fighting! Loe pasti bisa! Pasti. Aja-aja Fighting. Yeaah…” kata Ify mencoba bersemangat.

Gabriel dan Ify sedang berada di atas bukit, ia memandang kota Jakarta dari atas bukit itu. Indah sekali. Dan Ify benar-benar sangat kagum. Lampu-lampu kota Jakarta, kembang api. Indah sekali. Namun, Ify merasa ada yang kurang. Tanpa Rio, Ify merasa semuanya kurang lengkap.
“Loe suka, Fy?” tanya Gabriel.
“Ya, lumayan…” sahut Ify.
“Syukur deh kalo loe suka…” kata Gabriel sambil tersenyum. Tiba-tiba ponsel Gabriel berdering, menandakan adanya telepon masuk. Membaca nama yang btertera disana Gabriel kaget karena itu panggilan dari Rio. “Fy, gue kesana bentar ya…” pamit Gabriel kemudian pergi dan menjawab telepon dari Rio.
Ketika Gabriel berdiri, sehelai kertas jatuh dari saku celananya. Ify sebenarnya ingin memanggil Gabriel dan menyerahkan kertas itu. Tapi Gabriel sudah pergi duluan jadi Ify mengurungkan niatnya. Karena penasaran Ify membuka kertas itu. Ia kaget. Bukankah itu tulisan Rio? Ya, pasti. Ify tau betul tulisan Rio. Mendadak saat itu dadanya sesak, kemudian ia membaca tulisan yang ada disana.

Gabriel sahabat gue yang baik…
Titip adikku ya…
Tolong, tuntutlah dia ke jalan yang benar…
Cubit dia kalau dia nakal, hihihi…
Dan aku mohon, jangan sampai hatinya terluka…
Terluka seperti aku yang telah melukai hatinya…

Gabriel, tolong buat dia agar dia selalu tersenyum…
Jangan hapus senyum manis dari wajahnya…
Aku mohon tolong jaga adikku…

Jaga dia semampumu…
Jangan sampai dia membasahi pipinya dengan air mata…
Walaupun aku dengannya sudah berpisah…
Berikanlah dia pengganti yang lebih baik dariku…
Yang bisa menjaga dirinya agar dia tidak terluka untuk kedua kalinya…

Ify merasa dadanya semakin sesak membaca kata-kata yang ada dikertas itu. Jantungnya seakan berhenti. Air matanya kembali jatuh. Surat dari Rio. Rio menitipkan Ify pada Gabriel. Berarti Rio juga masih sayang padanya. Ify menangis. Sakit. Ia memegang dadanya. Srasa sakit itu masih belum hilang. Ify menggelengkan kepalanya. “Gue harus lupain perasaan ini, loe bisa gila kalo kepikiran Rio terus… Inget, Fy, Rio kakak loe… Buang perasaan elo…” kata Ify mencoba menenangkan hatinya.
Ify berdiri, kemudian pergi dari tempat itu. Menuju tempat yang mungkin bisa membuatnya tenang dan perasaannya akan mati. Tidak membekas lagi di hatinya. Dan perasaan itu akan mati. Tak bisa Ify rasakan lagi.

Gabriel mendesah pelan dan mengangkat telepon. “Hallo… Ada apa, Yo?” tanya Gabriel.
“Kenapa lama banget sih loe ngangkatnya?” tanya Rio balik di ujung sana.
“Maaf deh, tadi gue lagi sama Ify dan gue musti ijin bentar sama dia buat ngangkat telepon dari elo atau nggak dia bakalan nangis lagi disana…” jelas Gabriel.
“Ohh, Ify…” kata Rio tak acuh.
“Eh, gue cuman mau ngelaksanain permintaan loe yang di surat itu…” kata Gabriel cepat-cepat.
“Tenang aja, lagian kenapa loe ketakutan gitu? Biasa aja kali? Nggak usah ngungkit-ngungkit masa lalu… Gue udah ngelupain masalah itu…” sahut Rio. Suaranya datar. “Oh iya, gimana keadaan Ify? Dia baik-baik aja kan? Dia pernah nangis?” tanya Rio lagi.
“Gue nggak pernah ngeliat dia nangis. Dia juga udah bisa senyum dan ceria lagi kok… Meskipun nggak seceria dulu…” jelas Gabriel.
“Ohh, syukurlah…” kata Rio.
“Cuman itu?” tanya Gabriel.
“Ya, hehehe… Yaudah lanjutin aja ngedate-nya bareng Ify…” goda Rio sambil tertawa.
“Gue nggak lagi ngedate!” bantah Gabriel. “Gue cuman nurutin isi surat elo…” lanjut Gabriel.
“Ya, Ya, terserah deh. Yaudah. Gue matiin ya. Inget pesan gue, jagain Ify…” kata Rio.
“Iya, iya, loe tenang aja…” kata Gabriel. Kemudian ia memutuskan sambungan telepon. Bibirnya tertarik kesamping membentuk seulas senyum. Ia senang Rio sudah tidak menjadi pendiam lagi, sama dengan Ify. Dulu ia melupakan perasaan cintanya pada Ify pada saat ia dibuat patah hati karena gadis yang dicintainya berpacaran dengan sahabatnya sendiri. Tapi Cinta itu muncul lagi saat ini.
Gabriel memutuskan untuk kembali dan menemui Ify. Namun ketika kembali kesana. “Lho, Ify kemana?” tanya Gabriel bingung dan kaget karena Ify sudah tidak ada lagi disana. Gabriel menemukan sehelai kertas dan matanya terbelalak. Itu kan surat Rio. Jangan-jangan Ify membacanya. Sial. Pasti Ify nangis lagi…
Gabriel mencari ke sekeliling bukit namun tak menemukan Ify. Sampai akhirnya ia menemukan sosok seorang gadis yang sedang merentangkan tangannya di pembatas bukit dengan jalanan besar (?) Mata Gabriel semakin terbelalak. Jangan-jangan Ify mau bunuh diri. Tidak! Itu tidak mungkin.
“IFY?!” teriak Gabriel.
Terlambat. Gabriel terlambat. Ify sudah melompat.


END

0 komentar:

Posting Komentar

 
~ 신혜린 ~ Blogger Template by Ipietoon Blogger Template