Ify POV
“Mungkin gue ngomong hal ini sama loe terlalu cepet, karena kita
kenal nggak sampe ada satu bulan, kan? Tapi perasaan itu terus
menggerogoti hati gue. Kayak ulat. Tapi terserah elo aja deh mau
nangkepnya kayak gimana. Gue cuman mau jujur aja sama loe tentang
perasaan gue. Gue terima apapun yang bakalan elo jawab nanti karena gue
udah siap nerima jawaban elo…”
Aku mendengar Rio mulai berbicara, dadaku terus berdebar-debar dua
kali lebih cepat. Mungkin sebentar lagi jantungku sudah copot atau
bahkan meledak. Suasana malam ini memang terlihat indah dan romantis,
tapi setiap melihat wajah lelaki tampan di depanku ini, aku merasa
tegang. Sangat tegang. Makanya, mungkin saking tegangnya jantungku
hampir saja meledak. Mataku kemudian menatap mata Rio, dia ternyata juga
sedang menatapku. Tatapan itu… Aku merasa tidak asing dengan tatapan
itu —lebih tepatnya mata Rio. Tatapannya menghangatkan, begitu terasa
nyaman, dan dia menatapku sangat dalam. Aku benar-benar malu.
“Sejak pertama ketemu sama elo, gue udah naksir sama loe, setelah itu
gue jadi suka, jadi sayang dan akhirnya jadi cinta. Mungkin elo nggak
percaya sama apa yang gue omongin, tapi itulah yang terjadi sama gue
saat itu. Oya, sebelum gue ketemu sama elo pas Gabriel nyebut0nyebut
nama ‘Ify’ gue ngerasa nggak asing. Nggak tahu kenapa, padahal
sebelumnya kita nggak pernah ketemu kan? Ya, tapi sih itu bukan masalah.
Yang pasti sekarang gue mau nyatain perasaan gue sama loe. Hanya satu
kalimat yang mau gue katakan sama loe. Gue sayang dan cinta sama loe.
Bener-bener sayang dan bener-bener cinta. Asal loe tahu, gue nggak
pernah bercanda kalo ada urusan kayak begini. Jadi, please, jangan
bilang kalo gue cuman bercanda dan cuman mau buat loe GR, gue serius…”
Aku mendengar Rio berbicara lagi. Astaga, kali ini jantungku berdebar
sepuluh kali lebih cepat sampai aku rasanya sulit bernapas. Benarkah
yang Rio katakan tadi? Benarkah dia mencintaiku? Tapi aku merasa…
Seperti mimpi! Kalau memang bukan mimpi aku yakin pasti Rio hanya
bercanda. Eh, bukankah tadi dia bilang dia serius. Ya, dia bilang dia
serius mengatakannya. Jadi bukan mimpi? Ini serius? Ya Tuhan,
perasaanku… Aku benar-benar senang malam ini, sangat senang.
Sampai-sampai dadaku sesak dan mulutku terkunci rapat. Tiba-tiba aku
merasa tangan Rio memegang daguku, menyuruhku untuk menatapnya. Sudah
pasti tak bisa ku tolak karena sejak tadi aku ingin sekali menatap Rio
lebih lama dan aku melihat Rio tersenyum, manis sekali…
“Alyssa Saufika, Would you be my girlfriend?”
Apa? Apa katanya? Tidak! Pasti aku hanya mimpi, nggak mungkin. Aku hanya bisa membuang muka.
“Alyssa Saufika, Would you be my girlfriend?”
Aku mendengar Rio mengulangi perkataannya tadi. Berarti, aku sedang
tidak bermimpi. Baiklah, mungkin aku terlalu senang. Sampai-sampai
mengira aku sedang bermimpi. Aku kembali menatap Rio. Matanya indah,
seperti yang kukatakan tadi. Tatapannya menghangatkan dan begitu terasa
nyaman. Rasanya aku ingin sekali bisa terus menatapnya…
“Fy… Please, jawab…”
Aku mendengar Rio berkata lagi. Dia memintaku untuk menjawab
perimintaannya tadi. Aku tersenyum misterius penuh rahasia, ingin
membuat Rio penasaran. Ternyata berhasil, aku melihat alis sebelah Rio
naik dan kulihat wajahnya ada sedikit perasaan kekesalan walaupun aku
yakin rasa kesalnya itu dia tahan. Lucu sekali…
“Oke, oke…” kataku jeda sebentar. “Gue bakalan jawab…” kataku kemudian kembali diam.
“Langsung aja, jangan buat gue nunggu lama sama penasaran…” kata Rio geregetan.
“Emm… Yes…” kataku pelan. “Yes, I Would…” lanjutku. Seusai aku
berbicara seperti itu, Rio langsung berdiri dan memelukku sambil
membisikkan ‘terima kasih’ tepat di telingaku. Ya Tuhan,, malam ini aku
benar-benar sangat bahagia. Sangat.
Gabriel POV
“Alyssa Saufika, Would you be my girlfriend?”
Jantungku serasa berhenti berdetak. Hal yang tak ingin terjadi dan
tak ingin kudengar harus terjadi pada malam ini, malam ini dimalam tahun
baru ini adalah malam yang begitu menyesakkan hati. Dalam hati aku
hanya bisa berharap Ify menolak meskipun harapanku sangat kecil.
“Alyssa Saufika, Would you be my girlfriend?”
Aku mendengar Rio mengulangi kata-katanya lagi. Sungguh. Aku sangat berharap Ify menolaknya. Tapi…
“Fy… Please, jawab…”
“Oke, oke…” kata Ify. “Gue bakalan jawab…” lanjut Ify.
Tepat pada saat itu, jantungku berdetak lebih cepat dari yang
sebelumnya. Ify akan menjawab. Ini sangatlah tegang. Hatiku mulai terasa
panas. Lebih panas dari pada yang sebelumnya. No, I would not. No, I
would not. No, I would not. No, I would not. Aku berharap Ify menjawab
seperti itu. Aku berharap. Sangat berharap Ify menolaknya.
“Langsung aja, jangan buat gue nunggu lama sama penasaran…”
Dag-dig-dug jantungku nyaris saja copot, ini saatnya. Aku memasang
telinga baik-baik. Menghela napas dan menghembuskannya perlahan. Okey,
Gabriel. Kau harus terima apapun jawaban Ify. Harus.
“Emm… Yes…”
Aku merasa lemas. Ify, sepertinya telah menerima Rio. Harapanku untuk memiliki Ify sia-sia. Aku terlambat!
“Yes, I Would…”
Oke, ini adalah akhir kisah cintaku. Cintaku telah bertepuk sebelah
tangan. Benar-benar sangat menyakitkan hati. Padahal, perasaan ini aku
jaga selama delapan tahun. Tapi… Ya, aku percuma menjaga perasaan ini.
PERCUMA. Kulirik Rio dan Ify ternyata mereka sedang berpelukan disana,
hatiku benar-benar panas. Aku nggak betah lagi berada disana. Mungkin
lebih baik aku langsung pulang.
Normal POV
Cintanya tidak bertahan lama…
Sesuatu hal seperti mimpi buruk itu terjadi…
Sangat menyakitkan hati…
Dan mereka harus bisa merima kenyataan…
Dan juga harus merelakan hubungan mereka…
Ya, akhirnya hubungan mereka berhenti…
Sebelas bulan kemudian…
“Fy, bentar lagi ulang tahun elo, kan?” tanya Rio yang sedang duduk
bersama Ify di ruang keluarga rumah Ify, Rio juga ngerangkul Ify sambil
menatap Ify yang sedang asik nonton..
Ify langsung menepuk jidatnya sendiri. “Ah, iya. Gue lupa, hahaha…” kata Ify sambil tertawa kecil.
Rio menoyor pelan kepala Ify. “Bego loe, ulang tahun sendiri lupa…” sahut Rio.
“Yee, biarin. Namanya orang lupa jangan disalahin…” kata Ify membela diri sambil menatap Rio sinis.
“Ya, ya, ya, terserah elo aja deh…” kata Rio.
Ify tak menyahut, keduanya pun diam. Matanya fokus kearah layar TV,
menonton acara yang ada disana. Sampai akhirnya setelah berdiam cukup
lama, Rio kembali membuka suara.
“Fy…” panggil Rio.
“Emm…” sahut Ify pelan tanpa menoleh kearah Rio.
Rio terlihat ragu ingin berbicara, tapi akhirnya ia pun berbicara
juga. “Kalo misalnya gue pergi, elo bisa kan jaga diri loe sendiri tanpa
gue?” kata Rio. Ragu.
Mendengar ucapan Rio seperti itu, spontan Ify menolehkan kepalanya
dengan cepat kearah Rio dan menaikkan alis sebelahnya. “Loe ngomong
apaan sih? Kalo ngomong yang beneran dikit kek…” marah Ify.
Rio POV
“Ya, ya, ya, terserah elo aja deh…” kataku merespon omongan Ify.
Untuk beberapa saat, aku dan Ify hanya diam. Sepertinya aku merasa
ada yang aneh. Sesuatu hal akan terjadi padaku. Ya, aku merasa seperti
itu. Tapi anehnya, aku tidak tahu apa sesuatu itu. Rasanya… Susah untuk
dikatakan, yang pasti aneh. “Fy…” nggak tahu kenapa tiba-tiba aku
menyebut nama Ify pelan.
“Emm…” responnya singkat.
Aku menghela napas dan menghembuskannya dengan cepat. Bingung. “Kalo
misalnya gue pergi, elo bisa kan jaga diri loe sendiri tanpa gue?” Entah
kenapa tiba-toba aku berbicara seperti itu. Kata-kata itu keluar begitu
saja. Aneh.
Kulihat, Ify langsung menolehkan kepalanya kearahku. “Loe ngomong
apaan sih? Kalo ngomong yang beneran dikit kek…” Ify marah-marah
kepadaku gara-gara apa yang aku ucapkan tadi.
“Iya, deh. Gue kan cuman bercanda, Fy, jangan marah doong…” rayuku sambil menoel dagu Ify.
Namun apa reaksi yang Ify berikan? Ify malah menepis tanganku dengan
kasar. Huh, sepertinya Ify benar-benar marah gara-gara ucapanku tadi.
Tiba-tiba sebuah ide muncul dalam pikiranku. Sedikit konyol dan nekat.
Tapi, yaudahlah. Aku lebih suka memandang Ify ketika gadis itu sedang
kesal dari pada marah seperti ini.
CUPP… Aku mencium pipi kanannya langsung. Ya, nekat sekali, bukan?
Ah, biarlah. Lumayan juga bisa nyium pipi Ify, hihihi… Apa salahnya? Dia
kan
kekasihku…
”RIOOO!! Apaan sih loe tuh. Main nyium aja…” kata Ify sambil memukul-mukul pelan lenganku.
“Ya habisnya, elo marah gitu sih… Yaudah gue cium aja elo, hehehe…”
kataku sambil mengedipkan sebelah mata dan tersenyum jahil. Aku
benar-benar tidak bisa menahan diri untuk tersenyum, lucu sekali melihat
ekspresi wajah Ify yang sudah memerah.
“Ihh, elo mah. Rese banget sih…” kata Ify sambil memajukan bibirnya beberapa centi.
“Halah, tapi elo suka kan? Ngaku aja, haha… Eh, Fy, nanggung tuh yang
sebelahnya belum kena…” kataku lagi sambil tersenyum jahil kearah Ify.
“Ihh, ogah deh. Suka kata loe? Sorry yee…” kata Ify langsung berdiri dari duduknya hendak meninggalkan Rio.
“Halah…” kata Rio sambil menoyor pelan kepala Ify.
Normal POV
Keesokan paginya…
“Halo, Yo, ada apa?” tanya Ify yang baru saja mengangkat telepon dari
Rio. Aneh sekali Rio pagi-pagi banget sudah menelponnya. Sambil
menyisir rambut yang sedikit kusut dan menatap banyangan dirinya di
cermin, Ify juga berpikir tumben-tumbennya Rio menelpon dirinya
pagi-pagi banget seperti hari ini.
“Nggak ada apa-apa kok, Fy. Gue cuman mau bilang hari ini bonyok gue
dateng ke Jakarta, gue kan sering tuh nyeritain tentang loe ke bonyok
gue waktu bonyok gue masih di Jepang. Bonyok gue kan udah dateng
sekarang dan dia pengen banget ketemu sama loe sekalian makan malam
bareng gitu, gimana? Loe mau? Mau dong…” kata Rio cengengesan diujung
sana.
“Hah? Gila loe, jadi elo sering cerita tentang gue ke bonyok loe.
Sialan loe, Yo…” kata Ify kesal. Tapi dalam hatinya ia juga merasa
senang karena Rio sering bercerita tentang dirinya ke orang tua Rio.
“Halah, udah langsung jawab. Mau atau nggak. Pokoknya mau nggak mau loe harus mau…” kata Rio.
“Ihh, kok maksa sih…” kata Ify.
“Pokoknya harus mau…” paksa Rio.
“Iya deh, iya… Gue mau, demi elo…” kata Ify.
Rio senyum-senyum gaje di ujung telepon sana. “Hehehe, makasih,
sayangku… Jam tujuh malem nanti loe gue jemput. Dandan yang cantik ya?
Hihihi…”
Malam harinya…
“Ya ampun, Fy, loe bener-bener cantik. Lebih cantik malem ini dari
pada malem tahun baru tahun kemarin itu, inget kan? Ckckck, mirip
bidadari deh… Loe keturunan bidadari yah, Fy?” kata Rio melebih-lebihkan
saking kagumnya melihat Ify yang malam ini begitu sangat cantik.
“Yaelah, lebay banget sih loe…” kata Ify tersenyum malu. Pipinya sudah merah banget.
Rio cuman senyum-senyum nggak jelas. “Yaudah, ayo. Langsung aja
kerumah gue… Bonyok gue udah nungguin loe dari tadi, dari jam setengah
tujuh malah saking penasarannya sama elo, hahaha…” kata Rio.
“Ah, masak sih? Gue jadi malu, Yo, ketemu sama bonyok loe…” kata Ify.
“Halah, biasa aja. Anggep aja loe ketemu sama Gabriel atau
temen-temen loe itu… Bonyok gue baik kok, kalo Bokap gue sih emang
sedikit keras tapi dia baik banget, Nyokap gue lembut orangnya, jadi
kagak usah takut…” kata Rio.
Ify hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Rio membuka pintu rumahnya ketika ia dan Ify sudah sampai dirumah.
Kedua orang tua Rio sedang duduk di ruang tamu, tampaknya mereka —orang
tua Rio— sedang menunggu kehadiran Rio dan Ify.
“Nah, itu Rio…” kata Mama Rio bernama Bu Amanda sambil menunjuk
pintu. Pada saat itu, Bu Amanda dan Pak Zeth —Papa Rio— langsung menoleh
kearah Pintu dan keduanya pun berdiri.
Ify membungkukkan badan, menunjukkan rasa hormat kepada orang yang
lebih tua. “Selamat malam, Om, Tante…” kata Ify ramah, tak lupa memasang
senyumnya yang super manis itu.
Bu Amanda tersenyum. Ia menatap Ify dengan pandangan suka. “Rio,
gadis ini yang kamu ceritakan?” tanya Bu Amanda menatap kagum Rio yang
ternyata pintar memilih gadis yang dijadikan kekasihnya.
“Iya, Mah, Pah. Dia yang sering aku ceritakan. Namanya Ify…” kata Rio sambil tersenyum.
“IFY?!” seru Pak Zeth dan Bu Amanda bersamaan. Kedua mata orang tua
Rio terbelalak lebar. Kaget. Kemdian Pak Zeth dan Bu Amanda saling
bertatapan penuh tanya.
“Kenapa, Tante? Om? Ada yang aneh?” tanya Ify heran.
“Eh, nggak kok, nggak. Yaudah, sekarang kita langsung ke ruang makan
aja sambil nngobrol-ngobrol. Makanannya sudah siap dari tadi, nanti
keburu dingin kan jadi nggak enak…” Pak Zeth membuka suara.
Ify dan Rio menganggukkan kepala mereka, Pak Zeth dan Bu Amanda sudah
berjalan lebih dulu ke ruang makan, sedangkan Rio dan Ify mengikutinya
dan berjalan di belakang.
Selama makan malam, Bu Amanda sering bertanya pada Ify tentang sikap
Rio selama di Jakarta, hubungan Ify dengan Rio, alamat rumah Ify dan
semacamnya. Setelah itu, Bu Amanda mulai berani menanyakan hal yang
bersifat pribadi. “Ify, kalau boleh tante tau… Kamu lahir dimana?” tanya
tante.
“Di Surabaya tante…” jawab Ify.
“Dan besok adalah ulang tahun Ify, Mah, Pah. Tanggal enam desember…” tambah Rio.
Bu Amanda agak sedikit terkejut. Ini hanya sebuah kebetulan atau…
“Ohh, boleh tante tanya lagi?” tanya Bu Amanda. Melihat Ify
menganggukkan kepalanya, Bu Amanda tersenyum dan mulai berbicara lagi.
“Tante boleh tau nggak, Fy, siapa nama orang tua kamu yang sekarang
tinggal di Surabaya?” tanya Bu Amanda. Melihat Ify menaikkan alis
sebelahnya, Bu Amanda cepat-cepat menambahkan. “Ya, biar Tante sama Om
tau siapa nama orang tua kamu, kan kalau nanti kalian mau menyusun
pernikahan kalian sama orang tua kamu kan biar nggak usah tanya-tanya
dulu gitu…” lanjut Bu Amanda sedikit bercanda.
“Mamah, apaan sih… Belum apa pikiran sampai menikah ya…” kata Rio.
Ify tersenyum malu. “Nama Mama Saya Gina Sonia, Tante, kalo nama Papa
saya Tubagus Hanafi Soeriaatmaja. Saya juga punya kakak dan adik,
Tante, kakak saya namanya Eizel Mauldy Muhammad kalo adik saya namanya
Khalif Ali Husain…” jelas Ify.
“Uhukk… Uhukk…” Pak Zeth dan Bu Amanda mendadak keselek makanan saat
itu. Ketika Ify selesai menyebutkan nama kedua orang tuanya yang tinggal
di surabaya.
“Hati-hati, Mah, Pah, kalo makan…” kata Rio kaget sambil nyodorin air putih ke Mama dan Papanya.
Ify merasa ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya, entahlah sesuatu apa itu yang pasti Ify tidak mengetahuinya.
“Ify, nama kamu Alyssa Saufika bukan?” tanya Pak Zeth.
Ify menolehkan kepalanya dengan cepat. “Kok Om bisa tahu? Bukannya
tadi saya cuman nyebutin nama panggilan saya ya?” tanya Ify bingung,
heran dan… Curiga. Apa keluarga Rio mengenal keluarga Ify? Tapi, aneh
rasanya. Bukannya apa. Tapi Rio sendiri pernah bilang kepadanya kalau
orang tua Rio berada di Jepang sudah lama. Bahkan sebelum Rio lahir. Rio
juga lahirnya di Jepang tapi kenapa bisa mengenal keluarga Ify kalau
memang pikiran Ify benar? Ini aneh. “Bentar, bentar… Om dan Tante kenal
sama keluarga saya?” tanya Ify.
“Iya, kamu kenal dengan Ghina, Ghina itu sahabat saya, Fy…” kata Bu Amanda tak acuh.
“Ah, kebetulan, Tante, Om, besok Mama dan Papa saya dateng kesini
merayakan ulang tahun saya…” kata Ify gembira. Ini kebetulan yang sangat
menggembirakan bagi Ify. Ify nggak nyangka kalau ternyata orang tuanya
mengenal orang tua Rio. Jadi pikiran Ify yang tadi beneran dong. Waah…
“Ah, itu bagus…” kata Bu Amanda.
“Gimana kalo besok kita rayain ulang tahun Ify sama keluarga Ify?”
usul Rio yang sukses membuat Pak Zeth dan Bu Amanda lagi-lagi keselek
makanan. “Hati-hati, Mah, Pah, kalo makan…” kata Rio kaget sambil
nyodorin air putih.
“Om, Tante, maaf deh. Bukannya apa ya, tapi kok saya ngerasa Tante sama Om…”
“Ah, ide bagus… Besok kita rayain ulang tahun Ify bersama kan?
Kebetulan Tante juga kangen banget sama Ghina,. Udah bertahun-tahun
nggak ketemu…” kata Bu Amanda memotong omongan Ify.
Ify menghela napas pendek. Seperti dugaannya, Tante Amanda dan Om
Zeth sepertinya menyembunyikan sesuatu darinya. Pasti. Tapi Ify tidak
yakin. Ah, lupakan. Lebih baik loe nikmati makan malem sama keluarga Rio
dulu deh, nggak usah mikirin yang aneh-aneh yang belum tentu bener…
Pikir Ify dalam hati.
Selesai makan malam di rumah Rio, Rio pun mengantarkan Ify pulang
kerumahnya. Tetapi sampai dirumah, Ify melihat ada taksi di depan
rumahnya. Alis Ify terangkat keatas tanda heran. Siapa yang datang
kerumahnya malam-malam seperti ini? Ify melirik ponselnya untuk melihat
jam. 22.35. Sudah setengah sebelas.
“Fy, siapa tuh yang dateng malem-malem gini ke rumah elo?” tanya Rio heran.
Ify menoleh kearah Rio. “Nggak tahu, gue juga bingung nih…” kata Ify.
Rio langsung memberhentikan mobilnya dibelakang taksi itu. Ify dan
Rio pun turun dari mobil dan masuk kedalam rumah Ify. Melihat lima orang
sedang duduk di depan pintu rumah Ify, Ify heran. Tapi begitu jarak
sudah dekat, dan Ify mengenali wajah-wajah orang itu, Ify langsung kaget
dan menghampiri orang itu dengan perasaan gembira. “Mamah, Papah, Kak
Eizel, Khalif…” seru Ify senang dengan wajah berseri-seri.
“IFY?! Kamu kemana aja sih? Kenapa jam segini baru pulang?” kata Bu Ghina.
“Ya maap deh, Mah, tadi habis di undang makam malem di rumahnya Rio…” jawab Ify.
“Rio? Siapa Rio?” tanya Papa Ify. “Fy, bayarin biayanya cepetan…” lanjut Papa Ify sambil menunjuk seorang supir taksi.
Ify menoleh dan mengasih beberapa lembar uang. “Ini pak…” kata Ify. Kemudian supir taksi itu pergi.
“Rio siapa?” tanya Papa Ify lagi.
“Itu… Rio… Rio… Rio… Itu, emm…” kata Ify bingung.
“Saya pacarnya Ify Tante, Om, nama saya Mario Stevano…” kata Rio
sambil membungkukkan badannya, hal yang sama dilakukan seperti Ify
ketika bertemu dengan orang tuanya. Tak lupa juga, Rio tersenyum ramah.
“Ohh, terus kalau makan malam kenapa sampai malam begini?” tanya Bu Ghina.
“Mama sendiri ngapain udah dateng kerumah Ify? Katanya jadwal
pesawatnya berangkat besok tapi malah udah dateng…” kata Ify balik tanya
dengan wajah bingung.
“Kita udah dateng seminggu yang lalu, nginep di rumah temen Papa, Dek…” kata Eizel, kakak Ify.
Ify memalingkan wajahnya dari Mamanya ke Kakaknya. “Ihh, kenapa nggak ngasih tau Ify sih?” tanya Ify.
“Sebenernya mau dibuat kejutan, tapi elonya gak ada di rumah. Gagal deh kejutannya…” sahut Eizel.
“Gagal apaan? Ini mah udah bisa dibilang kejutan tauk, tapi kenapa musti malem coba?” kata Ify.
“Emangnya gak boleh ya, Kak Ify, kalo malem?” tanya Khalif si adik yang imut-imut itu.
“Ya bukannya gitu, Khalif… Ah, tau ah…” kata Ify bingung jelasinnya.
“Yaudah, mana kuncinya? Nggak kasian apa kamu sama keluargamu sendiri nungguin diluar dari tadi…” kata papa Ify.
Ify nyengir, kemudian ngeluarin kunci rumah di dalam tas tangannya. “Ini, iya deh. Ify minta maaf…” kata Ify lagi.
Setelah membuka pintu, Khalif, Eizel dan Papa Ify langsung masuk ke
dalam. Bu Ghina sendiri masih diluar bersama Ify dan Rio. Bu Ghina
mengamati Rio
dari atas sampai bawah, sepertinya ia mengenal anak laki-laki ini. Tapi…
”Oh ya, Mah, kenal nggak sama Bu Amanda dan Pak Zeth?” tanya Ify
tiba-tiba sambil menyenggol siku Rio pelan yang berdiri di sebelahnya
ini.
“Ngapain kamu tanya-tanya soal itu?” bentak Bu Ghina. Raut wajahnya terlihat ketakutan.
“Mamah kenapa? Kok kayak ketakutan gitu? Ify kan cuman tanya Mamah
kenal apa nggak sama Bu Amanda dan Pak Zeth. Mereka itu kan orang tuanya
Rio, Mah…” jelas Ify.
“Apa? Manda sama Zeth orang tuanya… Dia?” tanya Bu Ghina kaget.
Ify menganggukkan kepalanya.
“Bukannya Manda dan Zeth di Jepang?” tanya Bu Ghina.
“Sudah kembali tante, tadi pagi…” kata Rio sambil tersenyum lagi.
“Ohh…” sahut Bu Ghina tak acuh. “Mamah, masuk dulu ya, Fy, udah
malem…” kata Bu Ghina. Wajah Bu Ghina mendadak pucat saat itu juga. Juga
terlihat ketakutan.
Aneh, Pikir Ify dalam hatinya. Kemudian ia berbalik menatap Rio. “Masuk, Yo, dingin luar…” kata Ify.
“Nggak usah, gue pulang langsung aja, udah malem banget…” kata Rio.
“Oh, yaudah…” kata Ify.
Rio meraih kedua tangan Ify dan mengangkatnya sampai ke dada. “Kalo
gue pulang, mendingan loe langsung tidur… Ini udah malem soalnya. Jangan
lupa mimpiin gue ya…” kata Rio.
Ify mengangguk-anggukkan kepalanya. “Oke, oke… Tenang aja…” kata Ify
sambil mengedipkan sebelah matanya dan tersenyum manis pada Rio.
Rio ikut tersenyum. Senyum Ify memang selalu membuatnya ikut
tersenyum. Dilepaskannya kedua tangan Ify kemudian Rio mendekati wajah
Ify dan dikecupnya lembut kening Ify. “Yaudah, gue pulang dulu…” kata
Rio.
“Rioooo! Udah gue bilang… Embhh, embhh…” kata Ify. Tak sempat
menyelesaikan kata-katanya Rio langsung membekap mulut Ify dan
membisikkan sesuatu pada Ify.
“Sttt, nggak usah banyak omong. Udah malem… Gue pulang dulu…” kata Rio.
CUPP… Rio menggunakan kesempatannya yang sedang membekap mulut Ify
untuk mencium pipi kanan Ify. Lagi-lagi senyum itu membuat Ify kesal.
Senyum jahil Rio. Rio melihat Ify cemberut dan Rio tersenyum jahil
kearahnya. “Gue pulang dulu…” pamit Rio.
“Rese banget sih tuh orang. Main nyosor aja…” kata Ify kesal begitu
Rio sudah pergi meninggalkan rumahnya. Ify pun memutuskan untuk masuk
kedalam rumahnya. Ternyata keluarganya sudah berkumpul dan duduk manis
di ruang tamu. Ify heran melihatnya, namun ikut bergabung.
“Kok belum tidur?” tanya Ify.
“Ify, Papa minta kamu segera mengakhiri hubunganmu dengan Rio…” kata Papa Ify datar.
Ify tersentak kaget. Menatap Papanya heran. “Lho, emangnya kenapa, Pah?”
“Pokoknya kalau papah bilang berhenti ya berhenti. Atau kamu akan
menyesal kalau kamu sudah terlanjur cinta sama lelaki bernama Rio itu…”
kata Papa Ify dengan nada tinggi.
“Tapi pah…”
“Sudah berapa lama kamu berpacaran dengan Rio?” tanya Bu Ghina.
“Emm, sudah hampir satu tahun, Pah, Mah…” jawab Ify.
Mendengar jawaban Ify, Bu Ghina dan Papa Ify spontan menolehkan
kepalanya dengan cepat kearah Ify. Mata Bu Ghina terbelalak lebar, sama
dengan Papanya. “APA?!” kaget kedua orang tua Ify.
“Pokoknya kamu harus mengakhiri hubungan kalian!” bentak Papa Ify.
Ify sampai tersentak kaget. “Pah, jelasin sama Ify kenapa Papah
ngelarang Ify pacaran sama Rio? Kenapa Pah, Mah? Jelasin sama Ify!”
pinta Ify, matanya sudah berkaca-kaca.
“Sekarang bukanlah saat yang tepat untuk kamu ketahui, Ify. Kamu akan
mengetahui suatu saat nanti, tapi Papah minta kamu harus mengakhiri
hubunganmu dengan Rio… Sebelum kamu menyesal dan terluka…” kata Papa
Ify.
“Kenapa, Pah?” tanya Ify lagi. Air matanya sudah jatuh. Ia menatap
Eizel, berharap kakaknya mau menjelaskan masalah yang sebenarnya. Tapi
kakaknya hanya tersenyum masam.
“POKOKNYA PAPAH TEKANKAN! KAMU HARUS MENGAKHIRI HUBUNGANMU DENGAN
RIO!! KALAU TIDAK KAMU AKAN MENYESAL, FY!! MENYESAL!! KAMU NGGAK BOLEH
MENCINTAINYA!! TIDAK BOLEH!!” bentak Papa Ify lagi.
“IYA, TAPI KENAPA PAH?! TOLONG JELASIN SAMA IFY?!” kata Ify lagi. Ia menangis semakin keras.
“POKOKNYA PAPA BILANG BERHENTI YA BERHENTI!!” kata Papa Ify kemudian
meninggalkan Ify yang menangis disana. Bu Ghina dan Khalif juga
meninggalkan Ify.
Sekarang ruangan itu hening, hanya ada Eizel dan Ify disana. Eizel
mendekati Ify dan memeluknya. “Fy, turuti permintaan Papa sebelum kamu
menyesal…” kata Eizel.
Ify menatap kakaknya. “Kak, ceritain sama Ify, kenapa Papa nggak
setuju sama hubungan Ify dan Rio? Jelasin sama Ify kak… Hiks…” kata Ify
terisak.
“Kakak nggak bisa cerita sama kamu, Fy, kakak nggak berhak bercerita
hal ini sama kamu…” jawab kakaknya sambil membelai lembut adik
perempuannya itu.
“Kak… Tolong Ify… Bujuk Papa biar papah setuju sama hubungan Ify dan Rio…” pinta Ify.
“Kakak nggak bisa, Fy…” kata Eizel.
“Kakak…” kata Ify terisak.
Eizel tidak menyahut lahi, ia membiarkan Ify nangis sepuasnya di dalam pelukannya.
Keesokan paginya…
Mata Ify sembab gara-gara semalam ia nangis. Ia berjalan keluar kamar
menuju dapur yang ada di lantai dasar. Saat ia melewati ruang keluarga
ia bertemu dengan Mamanya.
“Matamu kenapa, Fy?” tanya Bu Ghina.
“Habis nangis semalaman…” jawab Ify cuek.
Bu Ghina diam. Tak respon.
“Oh iya, Tante Amanda dan Om Zeth hari ini dateng ke rumah kita. Dia
mau ngerayain ulang tahun Ify bareng keluarga kita…” kata Ify lagi cuek
dan tanpa menoleh kearah Mamanya.
“Oh, bagus…” kata Bu Ghina pelan.
Ify tak mengubris dan melanjutkan jalannya menuju dapur untuk mengambil minum.
Rio POV
Malam harinya…
Hari ulang tahun Ify. Ah, aku menyiapkan kdo untuknya. Boneka Teddy
Bear kesukaan Ify yang ukurannya besar. Berwarna pink sesuai dengan
warna kesukaan Ify. Malam ini, aku juga sudah dandan ganteng banget lah
pokoknya, hahaha… Setelah yakin, aku sudah cakep aku pun langsung turun
menemui orang tuaku yang sepertinya sudah menungguku dibawah sejak tadi.
“Ayo, Mah, Pah… Berangkat…” kataku.
Akhirnya, keluargaku pun berangkat menuju rumah Ify. Ah, pasti Ify malam ini sangat cantik.
Sesampainya di rumah Ify. Aku, Mamah dan Papah langsung turun dan
masuk kedalam rumah Ify. Di dalam hanya ada Keluarga Ify dan Gabriel
saja. Memang. Ulangtahun Ify tidak dirayakan besar-besaran. Dan benar
dugaanku, malam ini Ify sangat cantik. Tapi tidak secantik kemarin saat
Mama dan Papaku mengundang Ify makan malam kemarin. Ah, tidak apa-apa.
Yang penting Ify cantik malam ini. Aku makin cinta deh padanya…
Aku berjalan menghampiri Ify, sebelumnya aku memberi ucapan selamat
malam pada keluarga Ify. Kemudian aku menghampiri Ify yang sedang duduk
dengan Gabriel. Aku memeilih duduk disebelah Ify.
Kuraih tangan Ify dan aku genggamnya dengan erat. Ify menoleh
kearahku, aku merasa ada yang aneh dari wajahnya. Matanya sembab. Apa
dia habis menangis? Aku kawatir sekali melihat wajahnya.
“Fy, loe kenapa? Habis nangis?” tanyaku kawatir.
Ify tersenyum —yang aku rasakan— terkesan di paksakan. “Nggak apa-apa, Yo…” jawabnya.
Sepetinya Ify nggak mau memberi tahu alasannya deh padaku. Ify kenapa
sih? Apa yang terjadi padanya? “Fy, loe lupa janji loe ke gue yah?”
kataku kecewa.
“Janji apa?” tanya Ify.
Tuh kan. Ify lupa. “Yang nggak nangis itu lho, masak lupa…” kataku.
“Maaf, kemarin emang aku gak bisa nahan air mata, jadi aku terpaksa nangis…” jawab Ify.
“Yaudah, nggak apa-apa. Lain kali jangan nangis lho, jelek tauk…” godaku sambil menoel dagu Ify.
“Ehmm… Kacang, kacang…” kata Gabriel berdehem pelan.
“Satu kilo berapa, Mas?” godaku.
“Sialan loe…” kata Gabriel.
Aku tertawa kecil menanggapi perkataan Gabriel.
Acara ulang tahun Ify berlangsung. Hingga berjam-jam dan akhirnya
selesai juga. Ketika itu, aku menghampiri Ify yang sedang duduk bersama
Mamanya. Aku pun memilih duduk di sebelah Ify. “Fy, tadi permohonan kamu
apaan?” tanyaku.
“Aku minta semoga hubungan kita nggak berakhir gitu aja, Nggak putus
ditengah jalan dan orang tua kita menyetujui hubungan kita…” jawab Ify
lancar, suara datar.
Aneh. Sebenarnya Ify kenapa? Ia terlihat sangat tidak cerita.
Seharusnya ia bahagia karena sekarang adalah ulang tahunnya. Apa yang
terjadi pada Ify? Punya masalah?
Normal POV
“Fy, tadi permohonan kamu apaan?” tanya Rio.
Bu Ghina menoleh sekilas kearah Rio dan Ify. Kemudian menghela napas
pendek dan menghembuskannya. Ia memasang telinga baik-baik, mendengarkan
apa yang akan Ify jawab.
“Aku minta semoga hubungan kita nggak berakhir gitu aja, Nggak putus
ditengah jalan dan orang tua kita menyetujui hubungan kita…” jawab Ify
lancar, suaranya datar.
Bu Ghina tersentak kaget. Ia benar-benar bingung saat itu. Apa
mungkin putrinya ini sudah benar-benar mencintai Rio? Benarakah? Itu
tidak boleh terjadi. Ify maupun Rio tidak boleh saling mencintai. Tidak!
“Fy, Mama kesana dulu ya…” pamit Bu Ghina menghampiri Bu Amanda.
Ify tak menyahut, ia diam. Matanya lurus kedepan. Pandangannya kosong.
Di belakang rumah Ify, Bu Amanda dan Bu Ghina sedang duduk di
belakang sana. Terlihat, Bu Ghina menghela napas berat. Sama hal nya
dengan Bu Amanda. Bu Ghina dan Bu Amanda saling bertatapan dengan
pandangan aneh.
“Rio sudah tau, Man, tentang masalah ini?” tanya Bu Ghina pada Bu Amanda.
Bu Ghina menggelengkan kepalanya. “Belum. Dia bahkan belum kami suruh
untuk menghentikan hubungan mereka. Kalau Ify? Apa sudah kamu beritahu?
Dia keliatan murung hari ini? Wajahnya kusut…” kata Bu Amanda.
“Belum. Ify cuman kami suruh menghentikan hubungannya dengan Rio.
Namun, dia kayaknya nggak bisa nerima dan… Ya begitulah…” kata Bu Ghina.
Bu Amanda menghela napas. “Ify sangat cantik sekarang. Aku
benar-benar merindukannya. Merindukan sosok mungil itu…” kata Bu Amanda.
Matanya berkaca-kaca. “Aku menyesal…” lanjutnya lagi.
Bu Ghina diam. “Aku tahu bagaimana perasaanmu, Man, tapi kamu melakukan itu demi Ify juga kan?” sahut Bu Ghina.
“Iya, aku tahu. Tapi kenapa jadinya harus seperti ini? Mereka —Rio
dan Ify— nggak boleh saling mencintai. Apalagi kalau mereka sampai…
Menikah. Haram…” kata Bu Amanda.
Bu Ghina tersenyum samar. “Kalau kamu mau mengambil Ify lagi aku
tidak keberatan, Man, walaupun sebenarnya Ify bukan anakku aku sudah
menganggapnya seperti anak sendiri. Dia anak yang baik dan penurut. Aku
sayang sekali sama Ify. Sama seperti aku sayang sama Eizel dan Khalif…”
kata Bu Ghina. Air matanya metes saat itu.
“Aku membuang anakku sendiri, Ghin… Aku membuang anakku sendiri…” kata Bu Amanda.
“Kamu tidak membuang anakmu, kamu hanya menitipkan anakmu padaku.
Jangan menyalahkan diri sendiri. Kalau saja bapakmu setuju kalau kamu
punya anak perempuan kamu juga tidak akan menitipkannya padaku, kan?”
kata Bu Ghina menenangkan.
“Tapi Ify dan Rio saling mencintai, Ghin… Mereka adik dan kakak… Mereka saudara kandung!” kata Bu Amanda terisak.
“Jadi Ify dan Rio…” tiba-tiba seseorang keluar dari tempat
persembunyiannya dan menatap kedua wanita itu dengan tatapan tak
percaya.
“RIO!” kata Bu Amanda dan Bu Ghina langsung berdiri.
Rio POV
“Aku membuang anakku sendiri, Ghin… Aku membuang anakku sendiri…”
Aku memberhentikan langkahku, aku mendengar suara seorang wanita yang
suaranya tidak asing. Suara itu seperti suara Mama. Ya, tidak salah
lagi. Pasti.
“Kamu tidak membuang anakmu, kamu hanya menitipkan anakmu padaku.
Jangan menyalahkan diri sendiri. Kalau saja bapakmu setuju kalau kamu
punya anak perempuan kamu juga tidak akan menitipkannya padaku, kan?”
respon suara seorang wanita.
Suara itu, suara Bu Ghina. Mama Ify. Ya, aku yakin. Awalnya aku tidak
meperdulikannya. Namun karena penasaran, aku mencari sumber suara
tersebut dan menguping. Penasaran apa yang Mama dan Bu Ghina bicarakan.
“Tapi Ify dan Rio saling mencintai, Ghin… Mereka adik dan kakak… Mereka saudara kandung!”
JDERR… Seperti petir menyambar hatiku. Apa? Aku dan Ify kakak
beradik? Saudara kandung? Maksudnya? Maksudnya apa? Kenapa? Kenapa…
TIDAK! Tidak mungkin.
Aku melangkahkan kakiku keluar dari tempat persembunyianku. “Jadi Ify
dan Rio…” kataku pelan. Terlalu shock mendengarnya. Aku sendiri juga
bingung mau mengatakan apa lagi. Dadaku sesak. Jantungku serasa
berhenti.
“RIO!” kata Mama dan Bu Ghina langsung berdiri dan menatapku dengan wajah yang kaget.
“Rio dan Ify kakak adik?” tanyaku shock.
“Rio… Biar Mama jelasin…” kata Mamaku terlihat bingung.
Air mataku jatuh. Oke, ini pertama kalinya aku nangis di depan Mama.
“KENAPA MAMA NGGAK BILANG SAMA RIO SEJAK AWAL!!!” marahku dengan suara
bentakan.
Tanganku mengepal keras. Tubuhku bergetar hebat. “BILANG SAMA RIO,
MAH, YANG MAMA UCAPIN ITU BOHONG!! BILANG SAMA RIO!!!” kataku keras.
“Rio… Itu, itu…” kata Mamaku.
“ARGHHH!!!! JAWAB MAH PERTANYAAN RIO!! BILANG KALO ITU SEMUA BOHONG!!” kataku emosi.
“Maafin, Mama, Rio…” kata Mamaku.
“ARGGGHHHH!!!! NGGAK!! NGGAK MUNGKIN!!!” bantahku.
“Rio…” kata Bu Ghina.
“AKU DAN IFY BUKAN SAUDARA!! BUKAAAAAN!!!!!” kataku histeris sambil
menjambaki rambutku keras. Kemudian terduduk di lantai dengan air mataku
yang terus mengalir.
“Mama menyesal Rio…” kata Mamaku.
“Mah… Bilang semuanya bohong! Jangan buat Rio takut…” kataku dengan suara serak.
Mama nggak jawab perkataanku. Aku melihat Mama, ternyata Mama
menangis dan aku juga bisa mendengar isak tangisnya. Nggak hanya Mama,
Bu Ghina juga menangis. Ya Tuhan. Kenapa hal ini harus terjadi padaku?
Kenapa? Bagaimana reaksi Ify ketika mendengarnya? Aku tidak mau
melihatnya… Ify nggak boleh tau masalah ini… Ia terlalu lemah jika
diberitahu masalah ini. Hatinya pasti terluka. Sangat terluka. Cukup
hanya aku saja yang terluka. Aku tidak mau melihatnya terluka. Tidak.
Normal POV
“Rio, loe dari mana sih?” tanya Ify kesal ketika melihat Rio
menghampirinya dengan dandanan amburadul. “Habis ngapain loe kok jadi
acak-acakan gini penampilan loe?” tanya Ify lagi.
Rio menatap Ify sayu. Gadis itu adalah adiknya. Adik kandung yang
dicintainya. Sangat dicintainya. Ia tersenyum masam. “Tadi dari toilet…”
jawab Rio singkat.
“Ohh…” kata Ify menggangguk tak acuh.
“Loe tunggu disini bentar yah? Gue punya kado buat elo…” kata Rio.
Ify menganggukkan kepalanya dengan gembira. Sejenak ia melupakan masalah kemarin malam.
Rio pergi dari sana dan kembali dengan membawa Boneka Teddy Bear
kesukaan Ify. Rio menyerahkan Boneka itu sebagai tanda hadiah ulang
tahun Ify tanpa ekspresi. “Nih, selamat ulang tahun ya, Adikku sayang…”
kata Rio datar. Ia menghela napas berat.
“Adikku sayang? Maksudnya?” tanya Ify nggak ngerti.
“Nggak ada maksud apa-apa. Loe kan bagi gue cuman anak kecil yang
cengeng dan manja. Makanya gue anggep elo kayak adek gue, nggak apa-apa
kan?” tanya Rio sambil mencoba menahan air matanya agar tidak tumpah.
Rio inget! Loe cowok! Nggak malu apa nangis di depan cewek. Pikir Rio
dalam hati.
“Gue kan pacar elo, Yo…” kata Ify.
“Ya, elo pacar gue dann adek gue…” kata Rio tersenyum kecil sambil menepuk-nepuk punggung Ify pelan.
Rio duduk dalam diam. Pandangan lurus ke depan. Kosong. Menerawang.
Aneh. Pak Zeth sudah tahu kalau Rio sudah mengetahui semuanya karena Bu
Amanda cerita pada Pak Zeth. Bu Amanda maupun Pak Zeth menatap prihatin
anak laki-lakinya itu.
“Yo…” panggil Pak Zeth pelan.
Rio tak menyahut. Rio tak membuka mulutnya untuk membuka suara. Rio
tak bergeming. Ia hanya diam. Seperti patung. Pandangan sama seperti
tadi. Kosong. Menerawang. Aneh.
“Papa tahu gimana perasaanmu sekarang? Tapi Papa mohon kamu harus
mengakhiri hubunganmu dengan Ify. Papa juga tahu, kamu terlambat
mengetahui masalah ini. Papa juga nggak tahu kenapa kamu bisa bertemu
dengan adik kandungmu sendiri, bahkan sampai berpacaran… Papah juga tahu
kamu sepertinya sudah terlanjur cinta sama Ify, tapi…” kata-kata Pak
Zeth tiba-tiba di potong oleh Rio.
“Rio tau, Pah. Rio juga nggak bakalan nyangka jadinya seperti ini…”
kata Rio memotong omongan Pak Zeth. Rio mencoba tegar, tapi tak bisa.
Hatinya terlanjur rapuh. Beberapa hal yang membuat Rio nggak asing
ketika melihat Ify baru disadarinya. Ify, mirip dengan orang tuanya. Rio
baru menyadari gaya bicara Ify sama seperti Ibunya. Ketika Ify tertawa,
menangis…
“Maafkan Mama, Yo…” kata Bu Amanda.
“Mama nggak punya salah apapun sama Rio, jadi nggak usah minta maaf…” kata Rio.
Suasana menjadi hening. Tiba-tiba Rio berdiri dan menatap kedua orang
tuanya. “Rio mau ke kamr dulu. Rio udah ngantuk…” pamitnya dengan suara
serak.
Keesokan paginya…
Gabriel bingung melihat sahabatnya yang satu ini tampak murung. Tidak
seperti biasanya yang selalu terlihat ceria dan paling semangat.
Gabriel melihat Rio prihatin. Pasti Rio punya masalah. Ya, ia yakin.
Tapi… Memangnya seberat itu masalah Rio sampai-sampai Rio terlihat
murung seperti ini? Selama Gabriel mengenal Rio, Gabriel tidak pernah
melihat Rio semurung ini. Kalaupun Rio ada masalah pasti Rio selalu
tegar menghadapinya. Tapi ini?
“Yo, loe kenapa?” tanya Gabriel cemas sambil meminum Fanta yang dibelinya tadi.
Rio menatap Gabriel dengan matanya yang sayu. “Gue dan Ify ternyata saudara kandung, Yel…” jelas Rio.
“Uhukk… Uhuk…” Gabriel keselek mendengar penjelasan Rio. “Apa?
Saudara kandung? Hahaha… Ngaco loe, Yo, emang gue percaya gitu…” kata
Gabriel tertawa meremehkan karena tidak percaya dengan apa yang di
ucapkan Rio.
“Gue serius, kalo gak percaya loe bisa tanya Mama gue atau nggak
Tante Ghina…” kata Rio lagi, matanya sudah berkaca-kaca. Kemudian Rio
menceritakan semua masalahnya, dari waktu dia nguping pembicaraan
Mamanya dengan Bu Ghina sampai kejadian kemarin malam.
Gabriel menatap kasian sahabatnya ini. “Jadi, ini yang ngebuat loe murung? Loe dan Ify saudara kandung?” tanya Gabriel.
Rio menganggukkan kepalanya. Setetes air matanya jatuh dan dengan sigap Rio menghapusnya.
Gabriel menepuk-nepuk punggung Rio. “Loe nggak boleh sedih, Bro, loe
harus kuat ngadepinnya. Gue tau kalo gue ada di posisi loe gue bakalan
sama kayak loe atau bahkan gue udah bunuh diri malah. Loe yang kuat, Yo,
anggep aja loe nggak pernah ketemu sama Ify. Loe nggak pernah pacaran
sama dia… Dan baru kali ini gue ngeliat loe nangis. Jangan cengeng. Rio
yang gue kenal bukan Rio yang cengeng…” kata Gabriel.
Ify POV
Dua minggu kemudian…
Aku duduk diatas ranjang tidurku sambil memeluk Boneka Teddy Bear
pemberian Rio. Aku sangat merindukan sosok manis itu. Beberapa hari ini
Rio sepertinya tampak menjauhiku. Aku bingung kenapa ia begitu. Jujur
saja, aku sangat merindukan sosoknya. Merindukan suaranya, matanya,
tangannya, pelukannya. Aku kangen sama Rio. Kangen banget. Aku heran
kenapa Rio —sepertinya— mendadak menjauhiku. Apa Rio punya kekasih baru
yang lebih cantik dariku? Mungkin saja. Tapi, masak Rio seperti itu.
Sejak malam itu, malam saat dimana aku berulang tahun dia sudah berubah
menjadi aneh. Padahal sebelumnya dia biasa aja. Apa yang terjadi
padanya? Apa? Dia benar-benar menjauhiku. Aku ada salah apa sama dia?
Salah apa? KATAKAN!
Tok… tok… tok… Pintu kamarku diketuk oleh seseorang. Aku menatap
kearah pintu itu sekilas, kemudian langsung berseru pelan. “Masuk!”
kataku singkat.
Pintu dibuka oleh seseorang dari arah luar. Ternyata Kak Eizel, dia
masuk dan duduk di tepi ranjang tidurku sambil menatapku. “Ayo, Fy,
keluar. Ada sesuatu yang mau Papa dan Mama jelasin sama kamu. Ini
penting. Keluarga Rio juga dateng kesini. Ayo…” kata Kak Eizel.
Apa? Papa mau jelasin apa ke aku? Kenapa Keluarga Rio juga datang
kemari? Bentar-bentar. Keluarga Rio datang kesini bukan? Berarti Rio
juga ada. Ya, pasti. “Ada Rio, Kak?” tanyaku semangat dan menatap Kak
Eizel dengan mata berbinar-binar.
“Oh? Rio…” kata Kak Eizel terlihat bingung. Kenapa sih? “Rio ada kok…” lanjutnya.
Senyumku langsung mengembang.
Aku tersenyum ketika mendapati Rio sedang duduk manis disana.
Ternyata semuanya sudah ngumpul. Kira-kira Papa mau bicara apa ya?
Penasaran sekali. Sungguh. Tapi rasa penasaran itu tak berklangsung lama
karena aku langsung berlari mendekati Rio dan duduk di sebelahnya. Aku
memberi Rio senyum, namun apa reaksinya? Rio malah membuang muka. Jujur,
aku sakit hati dengan tingkah laku Rio saat itu. Kenapa Rio jadi cuek
seperti ini sama aku? SMS aku nggak pernah dia bales, telpon nggak
diankat. Huh… Dia berbah 180° Aku kecewa.
“Ify, Papa mau bilang sesuatu sama kamu. Tapi kamu jangan kaget ya? Jangan shock?” kata Papa.
Aku menatap Papaku dengan bingung. “Yaudah, ngomong aja, Pah…” kataku.
Kulihat Papa sepertinya memberi kode-kode ke Bu Amanda dan aku hanya
bisa menatapnya bingung. Namun, tak berapa lama, Bu Amanda membuka
suara. “Ify, jadi sebenernya kamu anak tante…” kata Bu Amanda mnembuka
suara.
“Hah? Aduh tante, bercandanya nggak lucu deh…” kataku sambil tertawa kecil.
“Kamu anak tante yang tante titipin ke tante Ghina. Dulu Kakek kamu
atau Papa tante nggak setuju kalau tante punya anak perempuan. Tante
juga nggak tahu alesannya apa, dan Kakek kamu udah ngancem tante kalo
tante punya anak perempuan Kakek kamu akan membuang kamu ke Panti
Asuhan. Makanya tante titipin kamu ke tante Ghina. Rencananya kalau kamu
sudah tepat berumur dua puluh tahun bakalan tante ambil kamu lagi. Dan
tanggal enam desember kemarin, ulang tahunmu yang ke dua puluh bukan?
Makanya…”
“Cukup-cukup! Aduh, tante… Bercandanya nggak lucu tau nggak? Kalo
emang tante nggak setuju aku punya hubungan sama Rio ngomong jujur aja
langsung tante, nggak usah pake bikin cerita aneh kayak gini…” kataku
membantah. “Satu lagi, aku dan Rio bukan adik kakak!” kataku.
“Ify, ini beneran. Ini nggak bohong atau cuman cerita aneh yang kamu kira… Ini fakta!” kata Rio.
Aku menoleh menatap Rio. “Nggak! Nggak! Gue nggak percaya. Eh, Yo,
loe kalo mau hubungan kita berakhir bilang aja langsung. Nggak usah pake
sekongkol sama orang tua loe itu yang ngarang cerita aneh dan buat
fakta abal. Emang gue percaya? NGGAK! Loe kalo punya cewek lain yang
lebih cantik dai gue ngomong aja, loe mau putus sama gue? Okey, gue
nggak masalah… Gue…”
“JANGAN BILANG ORANG TUA GUE SUKA NGARANG CERITA DAN BUAT FAKTA
ABAL!! DIA JUGA ORANG TUA KANDUNG ELO, FY!! DIA YANG NGELAHIRIN ELO!!
PUNYA OTAK NGGAK SIH LOE!! LOE TUH YA NGGAK BERSYUKUR MAMA GUE UDAH MAU
NITIPIN ELO KE TANTE GHINA!! COBA KALO NGGAK?? MUNGKIN LOE UDAH DI BUANG
SAMA KAKEK!! MIKIR PAKE OTAK!! MAMA SAMA PAPA TUH SAYANG BANGET SAMA
LOE!! BODOH!!” bentak Rio kebawa emosi.
Aku tersentak kaget karena baru kali ini Rio membentakku. Aku
menggelengkan kepalaku. “Nggak! Nggak! Dia bukan orang tua gue, loe juga
bukan saudara gue. Nggak! Nggak! Gue nggak percaya. Ini pasti cuman
akal-akalan loe sama bonyok aja… Iya kan?” kataku membantah. Mataku
sudah berkaca-kaca. “Lagian nggak ada bukti yang kuat kalau gue anaknya
tante Amanda…” lanjutku.
“Ify…” tiba-tiba Kak Eizel memanggil namaku. Aku menunggunya untuk
melanjutkan kata-katanya. “Loe masih inget waktu loe dulu kecelakaan dan
kekurangan darah? Gue mau donorin darah gue ke elo tapi nggak cocok.
Sama kayak Papah dan Mamah. Loe inget?” tanya Kak Eizel. “Itu sudah
termasuk bukti kecil…”
Aku tertegun. Yap! Aku inget, waktu itu aku kecelakaan dan kekurangan
darah. Keluargaku mau menyumbangkan darah kepadaku namun tak ada satu
pun yang cocok. Jadi… Jadi… Tanpa kusadari air mataku metes. “Nggak!
Nggak mungkin! Gue bukan anaknya Tante Amanda dan Pak Zeth! Gue anaknya
Mama dan Papa! Nggakk…” teriakku.
“NGGAK!! NGAAK!!” teriakku lagi sambil menutup telingaku. Kali ini
air mataku tumpah. Aku berteriak keras dan menolak kenyataan itu. Ketika
kubuka mata untuk melihat rasanya sulit. Sangat sulit. Tiba-tiba aku
merasa semuanya gelap. Aku bahkan tidak sadar apa yang terjadi padaku
saat itu. Yang aku dengan terakhir kali adalah suara Rio yang memekik
memanggil namaku.
Normal POV
Besok adalah Malam Tahun Baru. Pasti sangat ramai. Ify menyukai hal
ini. Kembang api. Keramaian. Ify sangat menyukainya. Dan hari ini Ify
memutuskan untuk mengunjungi Danau itu. Tempat dimana Rio sukses membuat
Ify terkegum-kagum pada pemandangan itu sekaligus tempat Rio menyatakan
cintanya pada Ify.
“Tempatnya nggak berubah. Masih indah sama seperti setahun yang
lalu…” kata Ify kagum sambil memandang arah disekitarnya. Tiba-tiba
matanya berhenti pada sosok orang yang tengah duduk di bangku yang
menghadap danau, orang itu membelakanginya sehingga Ify tidak tahu siapa
orang itu. Ify mendekati orang itu dan mencari tahu siapa orang itu.
“RIO!!” pekik Ify kaget ketika menyadari kalau orang itu adalah Rio.
Orang itu membalikkan badan. Sama seperti Ify, orang itu juga kaget. “IFY!” Yap! Orang itu adalah Rio.
Melihat Rio, Ify rasanya pengen nangis aja. Bahkan matanya sudah
berkaca-kaca. Dengan suara beratnya ia bertanya. “Ngapain disini?”
tanyanya pelan.
“Nggak apa-apa. Cuman pengen aja disini. Suasana indah, bisa membuat hati tenang…” jawab Rio sambil berusaha senyum.
Senyum itu. Membuat hati Ify semakin sakit. Senyum manis Rio… “Ohh…” sahut Ify singkat.
Tiba-tiba Rio mendekati Ify dan memeluk gadis itu. Memeluk Ify sangat
erat seakan tak merelakan Ify melepaskan pelukannya. Ify juga menerima
Rio memeluknya. Ify juga membalas pelukan Rio. Pelukan hangat. Ify
merindukan itu. Sama dengan Rio. Sudah tidak bisa! Ify merasa air
matanya sudah tidak bisa ia tahan. Air matanya jatuh, tumpah. Bahkan Rio
bisa merasakan air mata Ify yang memasahi dadanya. Rio malah semakin
mengeratkan pelukannya dan Ify semakin keras menangis.
“Jangan nangis…” kata Rio kepada Ify mengucapkannya dalam bisikan. Lembut.
Ify tak menjawab. Ia malah menangis semakin keras. Semakin keras.
Pelukan Rio sangat menghangatkan. Pelukan ini. Ify rindu dengan pelukan
Rio. Pelukan dari sang Mantan Pacar sekaligus… Kakaknya. Ify semakin
keras menangis ketika mengingat bahwa dia adalah Adik Rio.
“Please, jangan nangis. Loe inget kan sama janji loe? Masih inget
sama kata-kata gue dulu?” kata Rio lagi, suara lembut. “Kalo loe senyum
pasti juga bikin orang senyum, kalo loe nangis orang itu pasti bakalan
ikut nangis, kayak gue. Gue nggak mau nangis sekarang… Gue bukan cowok
cengeng! Dan loe, orang pertama yang bisa membguat gue nangis kayak
gini…” kata Rio yang akhirnya ikutan nangis juga. Ia merasa ada sedikit
kenyamanan ketika memeluk Ify. Kenyamanan yang hilang beberapa minggu
ini.
“Ijinin gue nangis. Kali ini aja… Gue janji, kali ini terakhir
kalinya gue nangis. Gue nggak akan nangis lagi demi elo. Tapi ijinin gue
kali ini nangis… Nangis dalam pelukan elo, Kakak…” kata Ify terisak.
Rio tersenyum pahit. “Loe bisa nangis sesuka loe disini, selama gue
masih disini. Karena besok gue udah nggak ada disini lagi…” kata Rio.
“Loe mau kemana?” tanya Ify semakin memperkeras tangisnya. “Jangan
pergi…” pinta Ify dengan suara serak. “Jangan tinggalin gue…” lanjut
Ify.
Rio tersenyum kecil. “Tapi gue harus pergi. Gue akan pindah ke Jepang
sama Kakek. Mungkin dengan cara ini loe bisa ngelupain kenangan kita
selama setahun ini…” gumam Rio pelan.
Jantung Ify terasa berhenti. “Apa? Loe pergi ke Jepang? Jangan
tinggalin gue, Yo, loe tega banget sih ninggalin gue di malem tahun
baru… Kenapa loe tega banget sama gue?” kata Ify.
“Maafin gue…” kata Rio pelan.
Ify kembali menangis. Kali ini dengan suara. “Jangan tinggalin gue…”
Rio membelai lembut rambut Ify. “Gue nggak akan tinggalin loe. Gue disini nemenin elo…” kata Rio.
Ify merasa sedikit tenang. Ia mengeratkan pelukannyake Rio.
Benar-benar terasa damai walaupun hatinya terluka. Kalau saja waktu bisa
berhenti. Ia ingin sekali memilih saat-saat yang seperti ini ketika
waktu itu berhenti. Dunia terasa damai baginya. Sejenak, Ify melupakan
semua masalahnya. Ia ingin menghabiskan waktunya hari ini bersama Rio
sebelum lelaki itu benar-benar pergi meninggalkannya.
Keeokan paginya…
“Fy, keluar yuk…” ajak Gabriel lewat telepon. “Masak cuman diem di
rumah aja sih? Nggak asik ah, Malam Tahun Baru dirumah apa enaknya…
Keluar yuk bareng sama gue…” lanjut Gabriel lagi.
“Gue males keluar, Yel…” kata Ify.
“Pasti gara-gara Rio sudah berangkat ke Jepang elonya males gini
jadi. Hello, Fy, Rio juga nggak bakalan bisa tenang disana kalo loe
kayak gini terus…” kata Gabriel.
“Emang loe pikir Rio udah meninggal pake tenang disana segala?” protes Ify.
“Maksud gue bukan gitu. Aduh, Fy…” kata Gabriel.
“Oke, oke. Gue mau, asalkan elo mau jemput gue…” kata Ify akhirnya.
“Oke, setengah jam lagi gue yakinkan udah sampe…” kata Gabriel.
“Siip, gue tunggu…” sahut Ify kemudian mematikan ponselnya. “Oke,
Ify, loe harus bisa ngelupain Rio. Belajarlah menganggap Rio sebagai
kakak loe dan jangan inget masa lalu. Oke, Ify, Fighting! Loe pasti
bisa! Pasti. Aja-aja Fighting. Yeaah…” kata Ify mencoba bersemangat.
Gabriel dan Ify sedang berada di atas bukit, ia memandang kota
Jakarta dari atas bukit itu. Indah sekali. Dan Ify benar-benar sangat
kagum. Lampu-lampu kota Jakarta, kembang api. Indah sekali. Namun, Ify
merasa ada yang kurang. Tanpa Rio, Ify merasa semuanya kurang lengkap.
“Loe suka, Fy?” tanya Gabriel.
“Ya, lumayan…” sahut Ify.
“Syukur deh kalo loe suka…” kata Gabriel sambil tersenyum. Tiba-tiba
ponsel Gabriel berdering, menandakan adanya telepon masuk. Membaca nama
yang btertera disana Gabriel kaget karena itu panggilan dari Rio. “Fy,
gue kesana bentar ya…” pamit Gabriel kemudian pergi dan menjawab telepon
dari Rio.
Ketika Gabriel berdiri, sehelai kertas jatuh dari saku celananya. Ify
sebenarnya ingin memanggil Gabriel dan menyerahkan kertas itu. Tapi
Gabriel sudah pergi duluan jadi Ify mengurungkan niatnya. Karena
penasaran Ify membuka kertas itu. Ia kaget. Bukankah itu tulisan Rio?
Ya, pasti. Ify tau betul tulisan Rio. Mendadak saat itu dadanya sesak,
kemudian ia membaca tulisan yang ada disana.
Gabriel sahabat gue yang baik…
Titip adikku ya…
Tolong, tuntutlah dia ke jalan yang benar…
Cubit dia kalau dia nakal, hihihi…
Dan aku mohon, jangan sampai hatinya terluka…
Terluka seperti aku yang telah melukai hatinya…
Gabriel, tolong buat dia agar dia selalu tersenyum…
Jangan hapus senyum manis dari wajahnya…
Aku mohon tolong jaga adikku…
Jaga dia semampumu…
Jangan sampai dia membasahi pipinya dengan air mata…
Walaupun aku dengannya sudah berpisah…
Berikanlah dia pengganti yang lebih baik dariku…
Yang bisa menjaga dirinya agar dia tidak terluka untuk kedua kalinya…
Ify merasa dadanya semakin sesak membaca kata-kata yang ada dikertas
itu. Jantungnya seakan berhenti. Air matanya kembali jatuh. Surat dari
Rio. Rio menitipkan Ify pada Gabriel. Berarti Rio juga masih sayang
padanya. Ify menangis. Sakit. Ia memegang dadanya. Srasa sakit itu masih
belum hilang. Ify menggelengkan kepalanya. “Gue harus lupain perasaan
ini, loe bisa gila kalo kepikiran Rio terus… Inget, Fy, Rio kakak loe…
Buang perasaan elo…” kata Ify mencoba menenangkan hatinya.
Ify berdiri, kemudian pergi dari tempat itu. Menuju tempat yang
mungkin bisa membuatnya tenang dan perasaannya akan mati. Tidak membekas
lagi di hatinya. Dan perasaan itu akan mati. Tak bisa Ify rasakan lagi.
Gabriel mendesah pelan dan mengangkat telepon. “Hallo… Ada apa, Yo?” tanya Gabriel.
“Kenapa lama banget sih loe ngangkatnya?” tanya Rio balik di ujung sana.
“Maaf deh, tadi gue lagi sama Ify dan gue musti ijin bentar sama dia
buat ngangkat telepon dari elo atau nggak dia bakalan nangis lagi
disana…” jelas Gabriel.
“Ohh, Ify…” kata Rio tak acuh.
“Eh, gue cuman mau ngelaksanain permintaan loe yang di surat itu…” kata Gabriel cepat-cepat.
“Tenang aja, lagian kenapa loe ketakutan gitu? Biasa aja kali? Nggak
usah ngungkit-ngungkit masa lalu… Gue udah ngelupain masalah itu…” sahut
Rio. Suaranya datar. “Oh iya, gimana keadaan Ify? Dia baik-baik aja
kan? Dia pernah nangis?” tanya Rio lagi.
“Gue nggak pernah ngeliat dia nangis. Dia juga udah bisa senyum dan ceria lagi kok… Meskipun nggak seceria dulu…” jelas Gabriel.
“Ohh, syukurlah…” kata Rio.
“Cuman itu?” tanya Gabriel.
“Ya, hehehe… Yaudah lanjutin aja ngedate-nya bareng Ify…” goda Rio sambil tertawa.
“Gue nggak lagi ngedate!” bantah Gabriel. “Gue cuman nurutin isi surat elo…” lanjut Gabriel.
“Ya, Ya, terserah deh. Yaudah. Gue matiin ya. Inget pesan gue, jagain Ify…” kata Rio.
“Iya, iya, loe tenang aja…” kata Gabriel. Kemudian ia memutuskan
sambungan telepon. Bibirnya tertarik kesamping membentuk seulas senyum.
Ia senang Rio sudah tidak menjadi pendiam lagi, sama dengan Ify. Dulu ia
melupakan perasaan cintanya pada Ify pada saat ia dibuat patah hati
karena gadis yang dicintainya berpacaran dengan sahabatnya sendiri. Tapi
Cinta itu muncul lagi saat ini.
Gabriel memutuskan untuk kembali dan menemui Ify. Namun ketika
kembali kesana. “Lho, Ify kemana?” tanya Gabriel bingung dan kaget
karena Ify sudah tidak ada lagi disana. Gabriel menemukan sehelai kertas
dan matanya terbelalak. Itu kan surat Rio. Jangan-jangan Ify
membacanya. Sial. Pasti Ify nangis lagi…
Gabriel mencari ke sekeliling bukit namun tak menemukan Ify. Sampai
akhirnya ia menemukan sosok seorang gadis yang sedang merentangkan
tangannya di pembatas bukit dengan jalanan besar (?) Mata Gabriel
semakin terbelalak. Jangan-jangan Ify mau bunuh diri. Tidak! Itu tidak
mungkin.
“IFY?!” teriak Gabriel.
Terlambat. Gabriel terlambat. Ify sudah melompat.
END
0 komentar:
Posting Komentar