Cinta itu datang memberikan kedamaian dan kebahagiaan.
Bukankah begitu?
Pertama kali aku melihatnya, hatiku terasa damai. Sangat damai.
Apalagi ketika kami mempunyai hubungan.
Ya, ketika kami sudah menjadi sepasang kekasih.
Aku sangat sangat sangat merasa bahagia.
Tapi sayang, kebahagiaan itu tidak bertahan lebih lama.
Sebuah kenyataan pahit yang tak pernah kuduga terjadi.
Tak bisa kubayangkan sebelumnya dan aku sempat membantah kenyataan itu.
Bagaimana perasaanmu jika mencintai seseorang?
Bahagia sekali bukan? Apalagi kalau bisa memilikinya.
Tapi, bagaimana perasaanmu jika mencintai orang yang dilarang untuk dicintai?
Terasa sakit sekali bukan?
Itulah yang kurasakan.
Dan hubungan kami pun, terpaksa harus berakhir.
Rio POV
Jatuh Cinta itu sangat mudah.
Sama saat pertama kali aku melihatnya, aku langsung jatuh cinta padanya.
Haaaah, yang kurasa ini cinta pada pandangan pertama, bukan?
Bahagia sekali rasanya…
Aku terburu-buru berjalan menuju lantai dasar dan menuju ke garasi
karena aku sebentar lagi akan menuju ke café yang sudah aku janjikan
dengan teman baikku. Gabriel Stevent Damanik namanya, akrab disapa
Gabriel atau Iyel. Hari ini aku dengannya akan merayakan kedatangan
seseorang di café itu —sesuai kesepakatan yang kami buat kemarin sore,
aneh sekali memang, merayakan kedatangan seseorang di café. Lucu sekali.
Dan… Oh, aku sudah terlambat lima belas menit. Pasti Gabriel sudah
kesal menungguku. Oya, Katanya —Gabriel— sih dia sekalian mau
memperkenalkan aku dengan gadis teman kecilnya dulu —gadis ini lah yang
kedatangannya mau kami rayakan dan kebetulan sekali aku belum mengenal
gadis itu— kebetulan juga gadis itu juga baru datang ke Jakarta —tempat
aku dan Gabriel tinggal saat ini— dan karena ingin merayakan kedatangan
teman semasa kecilnya, Gabriel pun langsung mengajakku karena aku tahu
betul Gabriel sangat tidak suka merayakan sesuatu hal hanya berdua (?)
atau sendirian, karena tidak ada pilihan lain aku sih mau-mau saja. Aku
tahu bagimana Gabriel. Gabriel sangat benci jika keinginannya di tolak.
Setelah pertemuan itu, aku dan Gabriel serta dengan seorang gadis teman
Gabriel akan bermain basket di lapangan komplek perumahan kami. Tapi
yang main hanya aku dengan Gabriel, gadis itu hanya melihat.
Kulirik jam di tanganku kiriku dan mendesah pelan. Jam tiga lewat dua
puluh menit. Argh, sial. Aku sudah terlambat dua puluh menit. Padahal
dalam kesepakatan yang kami buat, aku akan menuju kerumah Gabriel jam
tiga sore. Aku pun mempercepat langkah.
“Sorry, telat. Hehehe…”
Gabriel menoleh kearahku, ia mendecakkan lidahnya dan mentapku kesal.
“Lama sekali sih? Setengah jam tau nggak gue nunggu elo…” ucap Gabriel
sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Raut wajahnya masih
terlihat kesal.
“Ya, Sorry deh. Tadi gue tidur kelewat dikit, hehehe….” ucapku cengengesan.
“Halah, alesan loe…” desis Gabriel. Belu sempat aku merespon
perkataannya, Gabriel melanjutkan kata-katanya. “Yaudah duduk dulu deh.
Ify masih di toilet, bentar lagi juga balik kok…” lanjut Gabriel.
Ify? Nama asing. Siapa Ify? Atau jangan-jangan gadis itu? Gadis teman
Gabriel? Ya, mungkin saja. Tapi… Kenapa? Kenapa hatiku ini… Entahlah.
Ah, lupakan saja. Hmm, Karena tubuhku yang sangat kurus ini sedikit agak
lelah, aku langsung duduk di sebrang tempat duduk Gabriel. Kemudian aku
langsung memanggil pelayan dan menyebutkan pesananku. Setelah pelayan
itu pergi, aku mendesah pelan dan mengua kecil. “Hoaam, capek gue…”
Gabriel melirikku. Menatapku dengan pandangan aneh. “Kenapa loe?
Masih ngantuk? Dasar kebo… Berapa jam sih elo tirdur?” ledeknya.
Aku tak menggubris perkataan Gabriel dan balik bertanya. “Yel, cewek
yang loe maksud itu namanya Ify?” Entah kenapa, pertanyaan itu tiba-tiba
aku lontarkan tanpa di proses terlebih dahulu dari pikiranku.
“Kok loe bisa tau sih?”
“Tadi kan loe nyebut-nyebut nama Ify. Loe bilang katanya Ify lagi di toilet gitu, namanya Ify bukan?” jelas dan tanyaku.
Gabriel mengangguk-anggukkan kepalanya. “Oh iya, gue lupa, hehe…
Emang kenapa elo tanya-tanya soal Ify? Emang loe pernah ketemu sama
dia?” tanya Gabriel.
Aku mengangkat kepalaku dan menggoyang-goyangkan tangan ke kanan dan
ke kiri. “Eh, Nggak! Gue sebelumnya belum pernah ketemu sama dia,
malahan gue aja baru denger nama ‘Ify’ itu…” jelasku bingung.
“Terus?”
“Ya, namanya kayak yang nggak asing gitu deh buat gue… Kayak… Emm, Ya
gue…” jawabku aneh. Namun belum selesai aku berbicara, Gabriel dengan
seenaknya memotong perkataanku.
“Ada-ada aja elo, Yo…” Potongnya.
Aku tersenyum kecil. Baru saja aku mau kembali berbicara, sebuah
suara dengan datangnya seseorang mengurungkan niatku yang tadinya ingin
bicara.
“Yel, Sorry lama, hehe…”
Suara indah milik seorang gadis itu terdengar jelas di telingaku. Ku
angkat kepalaku —menoleh kesamping— dan melihat seorang gadis yang
berdiri di sebelahku. Tepat pada saat itu, mataku dengan gadis itu
bertemu. Tapi tidak lama, karena gadis itu langsung mengalihkan
pandangan. Gadis yang cantik. Matanya indah dan bening, rambutnya hitam,
panjang dan bergelombang, dagunya tirus, bibirnya mungil, hidungnya
mancung, kulitnya bersih, senyumnya manis. Astaga, gadis ini benar-benar
terlihat sempurna. Dari segi luarnya, aku menyukai gadis ini. Semoga
saja, gadis ini tidak hanya cantik dari luarnya, tapi dalamnya juga.
Tanpa kusadari, bibirku tertarik kesamping membentuk seulas senyum.
Sebersit perasaan aneh muncul dalam hati ini. Mataku juga tidak bisa
lepas memandangi gadis yang sangat cantik ini. Bibirku juga tak ada
hentinya tersenyum melihat gadis itu. Sepertinya… Sepertinya aku… Ah,
perasaan apa ini? Aku buru-buru menghentikan mataku untuk tidak terus
menatap gadis itu tapi mataku ini rasanya susah untuk mengalihkan
pandangan juga dengan bibirku agak tidak terus tersenyum tapi bibirku
juga susah untuk bertenti tersenyum. Sungguh, ini sangatlah memalukan.
Ingat! Memalukan. Untung saja Gabriel dan gadis itu tidak melihatku
tadi. Bagaimana kalau mereka melihatku? Huh, tapi untung saja tidak.
Syukurlah…
“Oh iya, nggak apa-apa. Yaudah duduk gih…” respon Gabriel.
Aku baru bisa mengalihkan pandangan dari gadis itu kearah Gabriel.
Jantungku juga rasanya bertetak dua kali lebih cepat. Astaga, apa yang
terjadi padaku? Apa mungkin aku… TIDAK! Mana mungkin aku jatuh cinta
pada gadis itu, mungkin saja aku hanya kagum. Tapi kenapa? Ah, entahlah.
Pusing sekali aku memikirkannya.
Ify POV
Aku sudah sampai di Jakarta sejak kemarin.
Namun, aku baru akan bertemu dengan seseorang hari ini.
Tak apa, yang penting aku bisa bertemu kembali dengannya.
Aku senang, karena dia baik-baik saja.
Dia semakin terlihat dewasa dan juga semakin tampan.
Aku menyukainya. Sejak dulu, sejak aku masih bersamanya.
Tapi kenapa perasaanku mendadak berubah dan aneh.
Aku memang senang bertemu dengan Sahabat kecilku dulu.
Tapi kenapa aku lebih senang bertemu dengan temannya?
Aneh sekali, bukan? Padahal aku sama sekali tidak mengenalnya.
Aku menghampiri meja Gabriel dimana lelaki itu kini sedang tidak
sendirian. Gabriel sedang bersama seorang lelaki. Aku bisa melihat
Gabriel sedang bercakap-cakap dengan lelaki itu. Aku tidak bisa melihat
jelas si lelaki karena lelaki itu membelakangiku. Ya, mungkin saja
lelaki itu adalah teman baik Gabriel yang sering Gabriel ceritakan
padamu. Ya, mungkin saja.
“Yel, Sorry lama, hehe…” ucapku cengengesan begitu sudah berada di
meja tempat Gabriel dan temannya itu berada. Kulihat Gabriel dan
temannya langsung menoleh kearahku begitu aku berbicara seperti tadi.
Barulah aku bisa melihat jelas siapa lelaki yang berbicara dengan
Gabriel itu. Sekarang mata kami bertemu, aku menatapnya dan dia
menatapku. Tiba-tiba jantungku berdebar dua kali lebih kencang. Astaga,
kenapa ini? Aku buru-buru mengalihkan pandangan dari lelaki itu kearah
Gabriel.
“Oh iya, nggak apa-apa. Yaudah duduk gih…” ujar Gabriel.
Aku tersenyum, kemudian memilih duduk di kursi sebelah lelaki itu.
Aku meliriknya sekilas. Astaga, apa yang sebenarnya terjadi padaku?
Kenapa jantungku terus berdebar lebih cepat dari yang sebelumnya. Ify,
jangan katakan kalau kamu menyukai lelaki itu. Lelaki yang duduk
disebelahku memang tampan dan manis. Tapi, mana mungkin aku menyukainya.
Aku hanya menyukai Gabriel. Hanya Gabriel yang aku suka, bukan lelaki
ini. Ya Tuhan…
“Ehm…” aku berdehem pelan. Ada sesuatu yang mengganjal dalam hatiku.
Aneh. Kenapa sih ini sebenarnya? Jujur saja, aku dibuat sangat bingung
hari ini. Bukankah seharusnya aku bahagia sekali karena aku bisa bertemu
dengan Gabriel?
“Oya, Fy kenalin itu yang duduk di samping loe namanya Rio. Yo, itu
Ify yang gue ceritain kemaren, hehehe…” kata Gabriel sambil
senyum-senyum nggak jelas.
Aku menoleh ke samping, dimana lelaki itu duduk disampingku. Ternyata
ia sudah lebih dulu menoleh kearahku. Ternyata lelaki itu jauh lebih
tampan dan manis dari pada yang kulihat sebelumnya. Sungguh. Ah, pikiran
apa ini? Eh, memangnya kenapa kalau aku berpikiran seperti itu? Tidak
ada salahkan, bukan? Lagian aku hanya mengutarakan apa yang kulihat, aku
kan tidak menyukainya. Kenapa harus salah.
Kulihat, lelaki itu mengulurkan tangannya kearahku sambil tersenyum
manis. Ya ampun, senyum itu. Manis sekali. Sungguh. Tanpa ragu, aku
langsung menyambut tangannya. Tangannya agak kasar, dingin dan nyaman
untuk di genggam. Lagi-lagi mata aku dengan si lelaki itu bertemu
kembali. Kami bertatapan, aku seakan melupakan Gabriel disana. Setelah
beberapa detik ia bergumam pelan menyebutkan namanya. Suaranya sedikit
agar serak.
“Gue, Mario Stevano Aditya Haling. Elo bisa manggil gue Rio. Gue
sahabatnya Gabriel sekaligus temen sekelasnya Gabriel, hehe…” katanya
memperkenalkan diri sambil memperlihatkan senyumnya. Senyum itu
mematikan. Senyum itu sangat menawan. Mungkin orang yang sudah meninggal
bisa hidup kembali ketika melihat senyumnya. Ah, kenapa aku jadi lebay
dan melebih-lebihkan seperti ini? Ini bukan Ify. Aduuuh, lelaki itu
memabuatku pusing setengah mati.
“Gue Alyssa Saufika, loe bisa manggil gue Ify. Gue temen kecilnya Gabriel…” jawabku kaku.
“Ya, Gabriel sering cerita soal loe sama gue…” respon Rio sambil
kembali tersenyum. Lagi-lagi senyum itu… STOP, IFY! Hahh, aku ini kenapa
sih? Ya ampun…
“Oh ya?” tanyaku mencoba agar suaraku terdengar sebiasa mungkin.
“Iya. Bener deh yang di omongin Gabriel, elo tuh emang cantik kayak putri di khayangan. Bener-bener cantik…” pujinya.
Hah? Apa? Apa katanya? Dia bilang aku cantik? Cantik seperti putri di
khayangan? Yang benar saja? Apa maksudnya coba dia berbicara seperti
itu? Atau jangan-jangan… Ah, Ify. Kamu ini terlalu berlebihan, lelaki
jaman sekarang! Cowok buaya, Aku saja yang ke-GR-an di puji-puji oleh
Rio. Aduh, Ify… Please deh…
“Loe berlebihan banget kalo ngomong, biasa aja deh…” ucapku.
“Ehem, Kacang, Kacang… Kacang panjang, Kacang tanah, Murah murah
seribu dapet satu biji…” seru Gabriel kesal. Aku dan Rio langsung
menoleh kearah Gabriel. Rio cengengesan nggak jelas sedangkan aku hanya
diam saja. Karena tak ada yang menyahut, Gabriel melanjutkan
kata-katanya. “Ehem, Ehem…” Gabriel berdehem lagi. “Gue kira, kayaknya
itu tangan boleh di lepas deh. Lengket mulu perasaan dari tadi kayak
perangko aja…” kata Gabriel sambil melirik tanganku yang masih menjabat
tangan Rio.
Mendengar itu, aku spontan langsung menarik tanganku, sama halnya dengan Rio.
“Maaf…” ucapku dengan Rio bersamaan.
Ya ampun, wajahku terasa panas sekali. Mungkin sekarang pipiku sudah memarah.
Normal POV
Benih-benih cinta itu mulai tumbuh dalam kedua hati mereka.
Membuat keduanya semakin menjadi lebih dekat. Sangat dekat.
Tak heran jika akhirnya mereka berdua memupunyai hubungan.
Namun, disisi lain. Ternyata ada orang lain yang justru menyukai si gadis.
Si lelaki yang adalah sahabatnya sendiri justru tidak tahu perasaan orang ini.
Orang ini terlambat, terlambat menyatakan cintanya.
Yang akhirnya ia harus pasrah menerima kenyataan bahwa si gadis dan si lelaki berpacaran.
Dua minggu kemudian…
“Rio, loe tuh ya usil banget sih jadi orang? Sini loe, awas ya loe…”
kesal Ify mengejar-ngejar Rio yang sedang membawa Ponsel Ify ditangan
kirinya dan memegang Diary kecil milik Ify di tangan kanannya.
Rio berlari disekitar kamar Ify, sesekali ia menjulurkan lidahnya
mengejek Ify dan membaca tulisan-tulisan Ify yang ditulis didalam Diary
Ify, juga melihat photo-photo narsis Ify yang di simpan pada Ponselnya.
Hari ini Rio bermain ke rumah Ify bersama Gabriel, tetapi Gabriel
keluar lagi karena ia membeli makanan ringan untuk cemilan di toko
terdekat. Rio sendiri nggak ikut bersama Gabriel dan memilih diam di
rumah Ify bersama Ify. Rumah Ify hanya dihuni oleh Ify seorang, orang
tua dan kakaknya serta adiknya tinggal di Surabaya. Pada saat Ify
kedapur mengambil menuman untuk Rio, Rio langsung mengambil HP Ify dan
mengutak-atik. Ia mulai melihat dari pesan, kontak sampai ke photo-photo
Ify. Ia juga melihat buku kecil yang terselip antara tumpukan lemari
kecil dimana Ify menyimpan buku-bukunya yang ada di ruang keluarga —
kebetulan sekali Rio sedang berada di ruang keluarga rumah Ify. Begitu
Ify balik, ia kaget melihat Rio membaca Diary nya dan juga memegang
ponselnya. Setelah menaruh minuman di meja, Ify mengejar Rio. Nggak
tahunya Rio malah masuk kamar Ify dan terjadilan adegan kejar-kejaran di
dalam kamar Ify.
“Fy, photo elo yang ini sumpah. Ngeri banget, hahaha…” kata Rio mengejek sambil memperlihatkan photo Ify di dalam ponselnya.
“Rio, rese banget sih elo, balikin HP gue sama Diary gue…” kesal Ify.
Rio menggeleng tak mau. “Oo tidak bisa, kalo mau ngambil ini Ponsel
sama Diary, kejar gue dulu sampe dapet, hahaha…” ledek Rio lagi, senyum
usilnya terukir di wajahnya yang tampan, justru malah membuat Ify
semakin kesal.
“Rioooo, brengsek loe…” kesal Ify.
“…Aku bingung, sebenarnya aku suka sama siapa? Gabriel atau… Ya,
gabriel atau dia. Jujur aja, aku bingung sama perasaan aku ini. Diary,
menurut kamu aku sukanya sama siapa? Nggak mungkin dong aku suka sama
dua cowok sekaligus… Tapi hatiku ini berkata aku tidak mencintai
Gabriel, justru malah mencintai Mar…” ucapan Rio yang sedang membaca Diary Ify dengan keras-keras itu mendadak terpotong karena mendengar jeritan Ify.
“Arghhhhh…” pekik Ify keras. Ia terjatuh gara-gara menabrak kursi
yang menghalangi jalannya dan ia harus menerima resikonya yaitu
terjatuh. Kepalanya —lebih tepatnya Jidat— juga terbentur tembok cukup
keras. Ia merasa sangat sakit diseluruh tubuhnya.
“IFY!” seru Rio kaget dan buru-buru menghampiri Ify. “Loe nggak
apa-apa, Fy?” Rio belum selesai berbicara tiba-tiba Ify memotongnya
dengan suara yang masih terlihat kesal.
“Nggak apa-apa apanya? Jelas-jelas gue jatuh gini loe bilang nggak apa-apa. Sakit tau nggak. Gara-gara elo sih ini…” potong Ify.
“Ya deh, maaf…” ucap Rio. Ia melihat Ify yang hampir nangis. “Mana
yang sakit?” tanya Rio perhatian. Suaranya mungkin terlihat biasa, namun
dalam hatinya ia begitu sangat khawatir. Ia memarahi dirinya sendiri
dalam hati.
“Kakiku sakit, Yo? Jidatku sakit, aduh…” ringis Ify menahan sakit.
Tanpa banyak bicara, Rio langsung menggendong Ify yang terduduk di
lantai dan membawa Ify ke ranjang tidur. Mendudukkan Ify diatas ranjang
tidur. Rasa kekhawatiran yang dia simpan dlam hati sudah tidak bisa ia
sembunyikan. “Loe tiduran aja gih, kaki loe biar gue pijitin…” kata Rio.
Ia melihat Ify mau mengucapkan sesuatu tapi sudah Rio dahului. “Jangan
banyak bicara, loe diem aja. kaki loe biar gue pijitin…” kata Rio. Dalam
hatinya ia merasa menyesal karena bersikap usil pada Ify. Awalnya, Rio
cuman iseng-iseng aja, eh malah jadinya kayak gini. Setelah melihat Ify
menundukkan kepalanya, Rio langsung mijitin kaki Ify yang sakit.
Disentuhnya betis kaki Ify dengan sangat hati-hati seolah takut kalau
membuat gadis itu kesakitan dan terluka. Ia memijat kaki Ify.
“Aduh, Rio, sakit… Hikss…” rintih Ify, tangisnya pecah. Ia menangis. Gadis itu menangis.
Hati Rio bagai di tusuk oleh panah melihat Ify menangis. Ia marah
pada dirinya sendiri telah membuat gadis itu nangis. Sangat marah.
Tangannya sudah mengepal. Tiba-tiba Rio langsung memeluk gadis itu,
berharap dengan cara itu bisa menenangkan Ify. Ia sudah tahu, Ify pasti
bakalan menamparnya atau semacamnya karena tidak suka dengan perlakuan
Rio kepadanya. Namun tidak seperti yang Rio pikirkan. Gadis itu cuman
diam saja, membalas pelukan Rio. “Maafin gue…” bisik Rio tepat ditelinga
Ify.
Rio mendengar Ify juga membisikinya sesuatu. “Yoo, kaki gue…” bisiknya pelan. Nyaris tidak terdengar.
Rio langsung melepaskan pelukannya dari Ify dan menatap Ify khawatir.
“Kenapa? Kaki loe kenapa?” panik Rio. “Jangan nangis, loe tahan
sakitnya. Bentar aja, pasti nanti nggak sakit lagi…” kata Rio.
Ify mengangguk pelan. Ia menghapus air matanya. Jujur aja, sebenarnya
Ify sangat senang dan agak kaget ketika Rio memeluknya, ia merasa
nyaman dan damai dalam pelukan Rio. Tapi Ify juga agak kecewa karena Rio
melepaskan pelukannya tadi.
Rio tersenyum yang terkesan dipaksakan. Ia kembali memijat kaki Ify sambil bergumam. “Maafin gue, Fy… Maafin gue…”
“Gue nggak nyalahin elo.”
“Tadi elo nyalahin gue.”
“Kapan gue ngomong gitu?”
“Tadi itu.”
“Itu kan gara-gara gue kesel sama elo…”
“Sekarang masih kesel? Marah?”
“Kalo marah nggak, tapi kalo kesel nggak terlalu…”
“Beneran?”
“Iya, soalnya…”
“Soalnya kenapa?”
Ify nggak menjawab. Ia hampir saja keplosan bilang kalau ia tidak
bisa marah pada Rio. Ya, Ify sudah menetapkan hatinya. Ia yakin seyakin
yakinnya ia hanya cinta pada Rio. Bukan pada Gabriel, dan masalah Diary
yang Rio baca tadi… Untunglah Rio belum sempat menyelesaikan membacanya
dan untung saja Rio tidak membaca Diary nya dibagian Ify terakhir
menulis.
“Soalnya kenapa?” Rio kembali mengulang pertanyaannya kepada Ify setelah beberapa saat Ify tidak menyahut apapun.
“Oh, nggak. Nggak apa-apa. Lupain aja…” jawab Ify sambil tersenyum. “Ponsel sama Diary gue mana?” tanya Ify.
“Itu, gue taruh di atas meja belajar elo…” kata Rio sambil menunjuk
meja belajar Ify. Rio melihat Ify mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Sekarang gimana? Masih sakit?” tanya Rio.
Ify menggelengkan kepalanya. “Nggak kok, udah nggak sakit lagi. Tapi
tadi itu, sakitnya beneran deh. Sakiiiitt banget, elo sih nyari
gara-gara…” kata Ify.
Rio menatap Ify heran. “Katanya elo nggak kesel sama gue… Kok sekarang?”
“Iya, maaf deh…” kata Ify.
“Harusnya gue yang minta maaf…” kata Rio.
“Loe nggak ada salah, ngapain harus minta maaf?” kata Ify.
“Yakin? Tapi yang soal… Gue meluk elo tadi, elo nggak marah? Nggak
kesel? Nggak nganggep gue cowok brengsek? Atau…” ucapan Rio di potong
oleh Ify.
“Nggak…” jawab Ify singkat. Mau jelasin tapi bingung apa yang mau
dijelasin, kalo ia berkata jujur mana mungkin? Ify malu banget kalo
sampe jujur sama Rio. Nggak, nggak, nggak.
“Gue minta satu hal sama elo, jangan pernah nangis lagi ya? Elo tuh
lebih cantik kalo elo tersenyum dari pada nangis kayak tadi? Tau nggak?
Kalo loe senyum gitu orang lain juga pasti bakalan senyum sama kayak
elo.Contohnya kayak gue, gue suka ngeliat senyum elo, Fy, beneran deh.
Tapi kalo elo nangis? Loe bisa ngebuat orang lain nangis. Loe keliatan
lebih kekanak-kanakan kalo nangis gitu, gue tadi hampir nangis tau nggak
ngeliat elo nangis kayak tadi. Gue ngerasa bersalah banget. Jadi, gue
mohon deh, ini yang terakhir kalinya ya elo nangis? Gue juga bakalan
janji nggak bakalan buat elo nangis kayak tadi. Loe jangan nangis lagi
ya? Mau kan janji sama gue?” kata Rio mengangkat jari kelingkingnya.
Ify tersenyum. Ia mengangguk dan mengaitkan jari kelingkingnya dengan
jari kelingking Rio. “Janji, gue nggak bakalan nangis lagi demi elo…
Janji deh…” kata Ify meyakinkan.
Rio tersenyum. Ia dan Ify melepaskan tangan mereka masing-masing (?)
Kedua tangan Rio terangkat keatas —lebih tepatnya kearah wajah Ify—
untuk menghapus air mata Ify. “Nah, kalo nggak ada air matanya gini kan
elo keliatan lebih cantik…” kata Rio.
Ify tersenyum. “Halah, basi…” kata Ify malu.
“Yee, dibilangin nggak percaya. Yaudah deh, huft…” kata Rio gemas.
Tiba-tiba Rio kembali menarik Ify kedalam pelukannya, ia memeluk gadis
itu erat. Tangan kirinya melingkar di pinggang Ify dan tangan kanannya
membelai rambut Ify lembut. Rio nerasakan kedua tangan Ify melingkar di
punggungnya.
Rio memeluk Ify. Ify memang awalnya sedikit kaget —sama seperti
sebelumnya— namun perasaan kaget itu berubah menjadi perasaan senang.
Rio memeluknya kembali, ya ampun. Ify nggak bisa menahan rasa bahagianya
langsung membalas pelukan Rio.
Rio memeluk Ify semakin erat. Ia bergumam pelan “Gue sayang elo, Fy. Sayang banget…” aku Rio.
Ify agak kaget. Sayang? Rio bilang sayang padanya? Sayang dalam
artian apa? Sayang dalam artian teman atau… Lebih sekedar teman?
Sahabat? Atau… ?
BRAAK…
“RIO? IFY?” pekik seseorang. “KALIAN HABIS NGAPAIN?” lanjut orang itu bener-bener terlihat snagat kaget.
Rio dan Ify langsung melepaskan pelukan mereka dan menoleh ke arah
sumber suara. Kedua mata mereka —Rio dan Ify— langsung terbelalak saking
kagetnya.
“GABRIEL?” seru Ify dan Rio bersamaan.
Gabriel POV
Setelah selesai membeli makanan ringan seperti Chitato, Bika, Qtela
dan semacamnya, aku langsung menjalankan motor Ninja warna hitam milikku
ini ke rumah Ify. Pasti mereka sudah menungguku cukup lama. Ya,
sepertinya begitu, karena tadi sewaktu di toko aku bertemu dengan teman
satu perguruan bela diri dan karena hal itulah rasanya aku terlalu lama
dan agak telat datang —sewaktu di toko aku banyak mengobrol dengan
temanku— yakin banget deh pasti Rio sama Ify ngomel-ngomel nggak jelas
ketika aku datang.
Akhirnya sampai juga di rumah Ify, mereka lagi ngapain yah? Hahaha,
pasti sedang menonton TV bersama atau sedang bermain-main di dapur atau
sedang duduk santai di halaman belakang? Ya, bisa saja. Setelah
memarkirkan motor di depan teras rumah Ify, aku masuk kedalam. Namun,
suasana rumah itu terlihat sepi. Kemana mereka? Atau jangan-jangan
mereka sengaja mengerjaiku? Ah, memangnya kalian kira aku sebodoh itu
bisa kalian kerjain? Haha…
Tapi aku sudah berkeliling rumah Ify, aku sama sekali tajk menemukan
mereka. Sebenarnya dimana sih mereka sekarang? Aku memutuskan untuk naik
kelantai dua dan mencarinya disana. Tapi ketika aku melewati kamar Ify
aku mendengar suara. Suara lelaki dan aku tahu betul pemilik suara itu.
Suara itu suara Rio. dan aku mendengar Rio mengucapkan sesuatu.
“Gue sayang elo, Fy. Sayang banget…”
Yap, aku yakin banget suara itu pasti suara Rio. Yakin seratus
persen. Tapi, ngapain Rio ada di dalam kamar Ify? Masak sih mereka…
Hush, Ify bukan cewek gampangan dan Rio bukan cowok yang suka ngajakin
cewek begituan (?) mana mungkin mereka melakukan hal itu.
Mungkin karena sudah sangat penasaran, aku membuka pintu kamar Ify
dengan keras. Dan… Apa yang kulihat? MEREKA BERPELUKAN! Ya, mereka
berpelukan, membuat hatiku cukup panas melihatnya. Seketika itu aku
langsung memekik saking kagwtnya.
“RIO? IFY?”
“KALIAN HABIS NGAPAIN?”
Aku memekik saking kagetnya. Astaga, apa yang aku katakan tadi?
Perkataan itu bertanya tentang sisi negatif. Bodoh, bodoh sekali aku
ini. Eh, tapi aku juga tidak salah bertanya kok. Aku kan tidak tahu apa
yang sedang mereka lakukan. Benar kan?
“GABRIEL?” aku mendengar Rio dan Ify berseru menyebut namaku secara bersamaan.
“Kalian habis ngapain?” tanyaku was was.
“Nggak habis ngapa-ngapain kok, emang kamu pikir habis ngapain?” tanya Rio.
“Terus kalo nggak ngapa-ngapain kenapa kalian peluk-pelukan gitu? Nggak usah ngelak… Jujur!” kataku mendesak.
“Bener kata Rio, kita nggak habis ngapa-ngapain, Yel, beneran…”
“Bohong! Nggak usah ngelak kenapa sih? Jujur!” desakku.
“Kalo gue ceritain juga loe kayaknya nggak bakalan percaya…” sahut
Rio. Mendengar ucapan Rio, aku langsung menatap Rio penuh harapan agar
Rio mau menceritakannya. “Oke, oke… Gue ceritain…” kata Rio yang
sepertinya tahu arti tatapanku. “Jadi gini, bla bla bla…” Rio
menceritakannya padaku dari awal sampai akhir. Aku lega karena mereka
tidak melakukan apa yang seperti aku pikirkan.
“Terus, loe sekarang gimana, Fy? Masih ada yang sakit? Kita ke dokter aja kalo masih ada yang sakit…” kataku bener-bener panik.
“Nggak usah, kakiku sudah baikan kok…” jawab Ify.
Aku tersenyum senang, untunglah Ify tidak apa-apa. Aku melirik
sekilas kearah Rio yang sedang memperhatikan Ify. Entah kenapa hatiku
terasa memanas. Mungkinkah Rio suka dengan Ify? Tapi… Ah, tapi kenapa
harus Ify? Hatiku lagi-lagi terasa panas.
Normal POV
Rio menjemput Ify dirumahnya, hari ini Rio mengajak Ify jalan-jalan.
Tentu saja Ify tidak menolak. Rio terlihat menggunakan kaos hitam dan
jaket merah dengan celana jeans hitam panjang. Sedangkan Ify memakai
baju putih yang sedikit ketat dan celana jeans hitam.
“Mau kemana sih, Yo?” tanya Ify penasaran sambil memakai helm.
“Ada deh…” kata Rio sok misterius.
“Gak asik ah loe, Yo, maen rahasia-rahasiaan…” kata Ify sambil naik keatas motor Rio.
“Hahaha, nanti juga loe pasti bakalan tau…” kata Rio sambil
menjalankan motornya dengan kecepatan standar. “Pegangan dong, Fy…”
lanjut Rio ngarep.
“Ngarep loe…” kata Ify.
“Gue mau ngebut nih…” kata Rio.
“Terserah elo…” kata Ify sok nggak peduli.
Nguengg… Rio mempercepat laju motor yang dikendarainya. Ify refleks langsung maju kedepan dan memeluk Rio.
“Riooooo, rese banget sih loe. Iya deh iya, ini gue pegangan…” kata
Ify setengah nggak iklas, padahal dalam hati Ify dar tadi pengen.
Pelan-pelan dan agak gugup, Ify melingkarkan tangannya di perut Rio.
Rio POV
Aku membawa Ify keluar dari Jakarta, aku membawanya ke Bandung. Cukup
jauh memang dan aku hanya membawa motor dalam perjalanan. Tidak apa-apa
deh, lagian sepertinya Ify tidak keberatan. Kayaknya…
“Kemana sih, Yo?” tanya Ify padaku untuk kesekian kalinya.
“Ke Bandung…” jawabku singkat sambil menstandarkan kecepatan laju motor yang kukendarai.
“Hah? Ngapain ke sana?” tanya Ify. Suaranya bisa kudengar ada sedikit kekagetan.
“Mau ngajakin elo ke suatu tempat…” jawabku.
“Ya ampun, kenapa harus sampe ke Bandung segala? Jauh tuh, nggabis-ngabisin bensin aja…” gumam Ify.
“Nggak apa-apa, demi elo apa sih yang nggak…” kataku.
Aku tak mendengar sahutan suara Ify lagi, kulirik kaca spion motorku
yang hanya terpasang disebelah kanan saja. Wajahnya memarah. Astaga,
lucu sekali Ify. Bibirku tertarik kesamping untuk membentuk seulas
senyum. Tanganku sebelah kiri aku tarik (?) dan hanya membiarkan tangan
kananku saja yang menyetir motor Cagiva Merah milikku ini. Tanganku
sebelah kiri aku sengajakan untuk memegang kedua tangan Ify yang masih
melingkar memelukku dari belakang. Kedua tangan Ify aku genggam dengan
erat.
Satu jam berlalu, aku dan Ify masih diam. Sampai akhirnya Ify bergumam sesuatu. “Yo, gue haus… Laper…” katanya.
“Haus? Laper? Iya, tunggu bentar. Gue liat-liat dulu warung yang
bersih dan pentes untuk kita kunjungi, bentar…” kataku sambil melirik
kearah sekitar. Tangan kiriku yang masih menggenggam kedua tangan Ify
aku lepaskan dan kembali menyetetir dua tangan. Setelah melihat warung
pinggir jalan yang bersih, aku langsung mengehntikan motorku di tepi
jalan, kemudian melepaskan helm full face yang ku pakai dan aku
menolehkan kepalaku ke belakang.
“Kering banget ini tenggorokan…” gumam Ify.
Aku tersenyum mendengar gumaman Ify. “Yaudah, ayo turun…” kataku.
Ify langsung turun kemudian berjalan masuk ke warung kecil dan duduk
dikursi. “Mbak, es teh ya…” kata Ify memesan sambil mengibas-ngibaskan
rambutnya, keringat bercucuran membasahi wajahnya. Hari ini memang
lumayan panas
Aku menyusul Ify masuk kedalam dan kudengar si penjual bertanya. “Berapa, Dek?”
“Es Teh dua, bakso dua…” sahutku sebelum Ify menjawabnya.
“Iya, Mas…” kata si penjual.
Aku memeilih duduk disebelah Ify. Menatap wajah Ify yang terlihat sangat lelak itu. “Capek banget ya, Fy? Maaf deh…” tanyaku.
“Capek sih iya, tapi nggak pake banget, Hehehe… nggak usah minta maaf… Maaf mulu perasaan, nggak ada salah juga…” kata Ify.
“Hehehe…” responku cengengesan. “Eh, Fy, pinjem HP elo dong…” pintaku.
Ify menoleh menatapku. “Buat apaan? Ogah, ntar elo ngeledekin photo
gue lagi? Lagian tuh photo semuanya udah gue hapus yang narsis-narsis
itu…” kata Ify.
“Nggak deh, pinjem sini, mana HP elo…” kataku.
“Nih…” kata Ify sambil mengulurkan HP nya kearahku.
Tepat pada saat itu pesanan yang aku dan Ify pesan datang.
“Makasih, Mbak…” kata Ify sambil tersenyum.
“Iya, Dek…” balas si penjual.
Aku sangat menyukai sikap Ify, ia ramah. Tidak seperti kebanyakan
orang-orang Jakarta yang lainnya, jarang sekali menunjukkan rasa hormat
dan terima kasih. Sepertinya aku tidak salah menyukai Ify dan tidak akan
pernah salah.
Sambil makan dan mengobrol dengan Ify aku juga mengutak-atik photo
Ify. Ternyata Ify bohong. Katanya semua photo dia yang narsis di hapus,
ternyata masih utuh semua. Huh, dasar… “Eh, Fy, gue minta photo elo yang
ini ya? Boleh kan?” kataku.
Ify melirik kearahku dan melirik kearah HP nya. “Ihh, Rio, jangan
deh. Itu photo kan jelek banget, jangan deh jangan. yang lainnya aja,
ishh…” kata Ify sambil mencoba merebut HP nya.
“Sayangnya udah aku kirim…” kataku sambil menjulurkan lidah.
“Ihh, terserah deh…” kata Ify pura-pura ngambek.
Aku juga mengirimkan photoku, kemudian photoku jadikan wallpaper HP
Ify. Begitupun sebaliknya, photo Ify aku jadikan wallpaper di HPku.
“Nih…” kataku sambil menyodorkan ponsel Ify kepada pemiliknya.
Ify menolotot galak menatap layar HP nya. “Apaan nih? Photo jelek di jadiin wallpaper…” kata Ify.
“Tapi elo suka, kan?” godaku.
“Tau ah…” kata Ify ia meletakkan sendok dan garpu di atas mangkok.
Aku melirik kearah mangkok Ify. “Belum habis itu, habisin…” perintahku.
“Kenyang, Yo…” kata Ify sambil mengelus-ngelus perutnya.
“Pokoknya habisin…” kataku lagi.
“Tapi loe bantuin ya?” kata Ify males.
“Ya elah, Fy, tadi elo bilang laper. Pas udah mesen kagak di abisin,
padahal bakso itu kan isinya dikit banget. Ogah deh, pokoknya loe abisin
sendiri. Awas kalo gak diabisin…” kataku pura-pura mengancam.
“Halah, gue nggak takut sama anceman loe. Pokoknya gue udah kenyang,
emang kenapa kalo gue nggak mau ngabisin? Hah? Nggaktakut gue…” kata Ify
menantang.
“Kalo gak loe abisin…” kataku sambil menunjuk pipiku sendiri. “Gue cium loe…”
“Ihh, ogah… Yaudah deh. Iya, Iya, gue abisin… Maksa banget sih…” kata Ify kesal.
“Heh, elo tuh ya udah cungkring kayak lidi. Makanan kagak di abisin tambah cungkring lagi ntar lho…” ledekku.
“Kayak nggak nyadar aja kalo loe juga cungkring…” balas Ify.
“Udah, udah, buruan deh loe abisin sono…” kataku gemas.
“Perut gue udah nggak bisa menampung makanan lagi, Yo…” kata Ify
sambil mengelus-ngelus perutnya lagi. “Kalo loe bantuin gue mau deh…”
lanjutnya.
“Boleh deh gue bantuin, asal dengan satu syarat…” kataku sambil cengengesan nggak jelas.
“Yaudah, buruan… Apaan syaratnya?” tanya Ify.
“Suapin…” kataku menahan tawa.
“Ihh, elo nih… Ogah ah, mending gue abisin sendiri aja. Dasar tukang ngarep…” katanya.
“Hahaha…” aku hanya tertawa lebar melihat ekspresi wajah Ify.
Normal POV
Ify menatap kagum pemandangan di depannya. Pemandangan di depannya
telah menyita perhatiannya. Memang pemandangan itu hanya sebuah danau
kecil, tapi danau itu terkesan sangat indah di mata Ify. Air danau itu
sangat bening, lingkungannya bersih. Selain ada danau, disana juga ada
taman yang di lengkapi dengan bermacam-macam bunga. Pas sekali dengan
selera Ify, disana sangat banyak bunga mawar merah dan Ify menyukainya.
Tatapan Ify kini beralih ke Rio yang sedang menatapnya sambil tersenyum
manis. Semanis perasaannya saat ini. (?)
“Elo suka, Fy?” pertanyaan singkat. Namun membuat hati Ify lebih berbunga-bunga lagi.
“Banget, gue suka banget. Ini bener-bener keren. Gue juga nggak
nyangka ada tempat seindah ini. Beneran deh, kagum banget gue. Gimana
loe bisa tau sih, Yo, tempat ini? Bukannya elo tinggal di Jakarta ya?
Ah, Rio jangan-jangan elo tau tempat lain lagi yang —mungkin— sama
indahnya seperti danau dan taman ini, atau… Yang lebih indah lagi malah.
Ajakin gue dong, Yo…” kata Ify semangat.
Rio tersenyum, ia baru menyadari ternyata gadis ini sangatlah
cerewet. “Memang, dan gue punya banyak tempat yang lebih indah dari
ini…” jawab Rio sambil mengacak-acak poni Ify.
“Serius? Ajakin gue dong, Yo, ke tempat itu. Pengen banget kesana, sumpah…” kata Ify.
“Iya, kapan-kapan…” jawab Rio sambil tersenyum jahil. “Hmm, dua hari
lagi Tahun Baru kan?” gumam Rio. Ify menoleh kearah Rio menunggu Rio
melanjutkan kata-katanya. “Gue mau, kita —maksudnya loe dan gue
ngerayain Tahun Baru itu disini…” lanjut Rio. Kemudian ia langsung
menatap Ify.
“Kenapa harus disini? Memangnya nanti tempat ini bakalan rame? Enakan di Jakarta kali, Yo… Lebih rame, lebih seru…” kata Ify.
“Gue nggak peduli, pokoknya Tahun Baru kita kudu ngerayainnya di
sini, di tempat ini. Ada yang mau gue omongin sama loe dan ini penting.
Loe nggak boleh nolak…” kata Rio.
“Emangnya kenapa sih?” tanya Ify bingung.
Rio cuman tersenyum tipis. Dalam hati ia menetapkan apa yang akan dia
lakukan di tahun baru itu nanti. Ia harus segera cepat mengatakan hal
itu. Ya, lebih cepat lebih baik bukan?
Tak terasa, waktu berjalan begitu cepat dan malam ini, malam tahun
baru. Tanggal 31 Desember 2011. Hari yang ditunggu-tunggu oleh Ify
karena ia terlalu di penuhi oleh rasa penasaran itu. Penasaran apa yang
bakalan Rio katakan padanya malam ini. Dan malam ini lah mereka berdua
—Rio dan Ify— merayakan malam Tahun Baru sesuai kesepakatan yang mereka
buat dua hari lalu. Ify tampil sangat cantik malam ini, sama seperti Rio
yang tampil sangat tampan dan malam ini Rio tidak membawa motor
Cagivanya, ia membawa mobil.
“Sudah siap?” tanya Rio sebiasa mungkin agar ia tidak terlihat kaku
dan gugup gara-gara melihat kecantikan Ify. Rio benar-benar tidak
menyangka kalau Ify secantik ini. Malam ini, Ify sangat sangat sangat
cantik. Dan Rio mengakui itu.
“Iya dong, kan elo udah liat sendiri…” jawab Ify sambil tersenyum.
Rio merasa dirinya semakin kaku ketika melihat Ify tersenyum padanya.
Manis sekali. Hanya itu yang ada dalam pikirannya. Namun, ia tak
melanjutkan lebih lama dan memilih untuk mempersilahkan Ify masuk ke
dalam mobil dan membukakan pintu layaknya seorang putri. Ify juga merasa
senang dengan perilaku yang Rio berikan. Setelah iru Rio juga masuk
kedalam mobilnya dan langsung menuju ke tempat tujuan. Namun, tanpa
diketahui oleh Ify dan Rio. Ada seseorang yang sejak tadi mengamati Ify
juga dengan Rio. Orang itu adalah Gabriel. Sejak tadi, Gabriel berusaha
untuk menahan hatinya agar ia tidak cemburu total melihat Ify dengan
Rio. Ketika Rio mulai menjalankan mobilnya, tanpa disadari oleh mereka,
Gabriel mengikuti keduanya.
Gabriel POV
Aku merasa benar-benar cemburu. Awalnya aku ingin mengajak Ify jalan,
tapi sepertinya Rio sudah dulu mengajak Ify. Panas. Ya, itu yang
kurasakan sejak tadi. Panas sekali. Padahal, rencananya malam ini aku
mau menyatakan cintaku pada Ify. Eh, tapi… Argh, Rio brengsek! Awas kalo
dia sampai ngerebut Ify dariku…
Perasaanku mulai tidak enak ketika sudah meninggalkan kawasan
Jakarta. Sebenarnya Rio mau mengajak Ify kemana sih? Sungguh! Dadaku
berdegup kencang, takut sekali kalau Rio mau bermacam-macam seperti Ify.
Eh, Rio bukan cowok seperti itu. Aku sudah mengenalnya lama. Tidak
mungkin Rio sebrengsek itu. Tidak. Tapi…
Setelah sekitar satu jam. Rio memberhentikan mobilnya ditepi jalan
kemudian mengajak Ify turun dan masuk ke dalam… Emm, yang terlihat
seperti taman. Tempat itu sepi. Ahh, bahaya. Bisa jadi apa yang
kupikirkan tadi menjadi nyata…
Normal POV
Ify terlihat lebih kagum dari yang sebelumnya. Matanya bersinar dan
cerah, senyumnya lebar. Rio menyukai hal ini. Ia juga tidak bisa menahan
diri untuk ikut tersenyum. Sesuai yang pernah dikatakannya pada Ify
beberapa minggu yang lalu, kalau Ify tersenyum hal itu akan membuat
orang lain juga ikut tersenyum, sama seperti Rio.
“Makin keren, Yo. Yaampun… Beneran deh, keren bangeeett…” puji Ify kagum.
“Iya dong, pastinya…” sahut Rio mantap.
Tiba-tiba terdengar suara letusan kembang api. Ify mendongak keatas
melihat kembang api yang begitu banyak. Apalagi di depannya terdapat
danau dengan airnya yang bening dan tenang, membuat suasana malam itu
semakin cerah dan Ify juga semakin mengaguminya.
“Ihh, ya ampun. Keren banget. Gue suka… Baru kali ini gue ngeliat
kembang api banyak banget dan suasananya… Ya ampun, bagus. Cocok banget
sama suasana hati gue. Tempat ini bener-bener sangat romantis… Ihhh…”
Ify berseru senang, perasaan itu sudah tidak bisa di pendamnya lagi
dalam hati.
“Beneran, Fy, kamu makin suka? Yakin? Nggak bohong?” tanya Rio senang.
“Apa gunanya gue bohong sama loe…” sahut Ify mantap.
“Jadi?”
“Jadi apanya?”
“Eh, nggak jadi deh…” sahut Rio pelan. Kemudian ia menatap Ify. “Fy, duduk yuk… Nggak capek apa berdiri terus?” kata Rio.
Ify mengangguk-anggukkan kepalanya. “Okey…” sahut Ify tenang.
Rio dan Ify berjalan menuju bangku kecil yang menghadap danau.
“Gue seneng kalo loe suka sama tempat ini…” kata Rio.
Ify tak menggubris perkataan Rio dan malah bertanya. “Oh iya, dua
hari yang lalu katanya elo mau ngomong sesuatu kan sama gue? Mau ngomong
apaan? Loe tuh ya, bikin gue penasaran setengah mampus tau nggak sih…”
gumam Ify sambil tertawa kecil.
“Emm, tapi loe jangan kaget ya?” kata Rio.
Ify menanggukkan kepalanya. Saat itu, kembang api meletus lagi dan
kali ini lebih banyak seolah menjadi pembukaan Rio (?) sebelum
mengatakan sesuatu hal pada Ify. Ify dan Rio menikmati pemandangan itu
sebentar, setelah sudah tidak meriah seperti tadi, Rio berdiri dari
bangkunya dan merjalan ke depan Ify. Tepat di depan Ify, kemudian Rio
berjongkok di depan Ify. Rio meraih tangan sebelah kanan Ify dan
menciumnya kemudian menggenggamnya erat dengan tangan Rio yang sebelah
kanan juga.
“Mungkin gue ngomong hal ini sama loe terlalu cepet, karena kita
kenal nggak sampe ada satu bulan, kan? Tapi perasaan itu terus
menggerogoti hati gue. Kayak ulat. Tapi terserah elo aja deh mau
nangkepnya kayak gimana. Gue cuman mau jujur aja sama loe tentang
perasaan gue. Gue terima apapun yang bakalan elo jawab nanti karena gue
udah siap nerima jawaban elo…” kata Rio berhenti sejenak. Ia menatap
mata Ify dalam-dalam kemudian kembali berbicara. “Sejak pertama ketemu
sama elo, gue udah naksir sama loe, setelah itu gue jadi suka, jadi
sayang dan akhirnya jadi cinta. Mungkin elo nggak percaya sama apa yang
gue omongin, tapi itulah yang terjadi sama gue saat itu. Oya, sebelum
gue ketemu sama elo pas Gabriel nyebut0nyebut nama ‘Ify’ gue ngerasa
nggak asing. Nggak tahu kenapa, padahal sebelumnya kita nggak pernah
ketemu kan? Ya, tapi sih itu bukan masalah. Yang pasti sekarang gue mau
nyatain perasaan gue sama loe. Hanya satu kalimat yang mau gue katakan
sama loe. Gue sayang dan cinta sama loe. Bener-bener sayang dan
bener-bener cinta. Asal loe tahu, gue nggak pernah bercanda kalo ada
urusan kayak begini. Jadi, please, jangan bilang kalo gue cuman bercanda
dan cuman mau buat loe GR, gue serius…” kata Rio. Kemudian ia menghela
napas dan menghemuskannya perlahan, ia menatap mata Ify semakin tajam.
Ify merasa dadanya sesak saking senangnya mendengar apa yang Rio
katakan padanya. Sampai-sampai mulutnya terkunci rapat saking senangnya
perasaannya saat ini.
Disisi lain, ternyata Gabriel sejak tadi sudah memata-matai Rio
dengan Ify. Ternyata mereka hanya menikmati malam Tahun Baru di Bandung
tidak seperti yang Gabriel pikirkan. Hatinya semakin terasa panas ketika
Rio menyatakan perasaannya pada Ify. Ia benar-benar cemburu total malam
ini. Dalam hati ia berharap agar Rio tidak meminta Ify menjadi pacarnya
walaupun pasti sangat tipis.
Tangan kiri Rio memegang dagu Ify agar Ify menatapnya. Setelah pasti Ify menatapnya, Rio menurunkan tangannya.
“Alyssa Saufika, Would you be my girlfriend?”
0 komentar:
Posting Komentar