Title : Flashback
Author : Nurzaita (@AiYmm257_)
Genre : Romance
Length : Oneshoot
Rating : T
Main Cast :
- Alyssa Saufika Umari
- Mario Stevano Aditya Haling
- Gabriel Stevent Damanik
***
Selasa, 14 Oktober 2003
Aku melihatnya hari ini. Itulah pertama kali aku merasa tertarik pada lawan jenisku.
Dia memang tidak setampan temannya tapi aku merasa senang melihatnya.
Dia baik dan ramah. Aku suka melihat senyumnya. Sangat manis. Aku juga
tidak pernah bosan melihatnya. Tidak pernah! Aku benar-benar sangat
mengaguminya. Sangat! Ingat, kagum. Mungkin setelah ini aku akan
menjadi penggemarnya seperti gadis-gadis lain disekolahku. Hanya menjadi
penggemar saja, tidak sampai melakukan hal-hal gila seperti gadis-gadis
lain yang mengaguminya. Yang benar saja! Aku tidak kampungan seperti
gadis lain yang bertingkah terlalu berlebihan didepan dia.
***
“Alyssa! Bangun! Ada anak baru dikelas sebelah! Wuih, gila! Dia cakep banget lho, Lyss!”
Aku merasa seseorang mengguncang-guncangkan tubuhku kencang yang
membuatku bangun dari tidurku dengan berat hati dan menatap orang yang
mengganggu tidurku dengan kesal. “Apaan sih loe, Vi! Gue ngantuk tau!”
kataku pada Sivia denga kesal. Orang itu Sivia. Sivia Azizah. Sahabatku
yang paling baik dan paling mengerti tentangku.
“Ada anak baru tuh dikelas sebelah! Liat noh, cewek-cewek udah pada histeris gitu ngeliatin tuh anak baru! Cakep abis deh, Lyss! Loe harus liat! Gue yakin deh loe pasti naksir sama dia! Hahaha…” kata Sivia sambil menarik tanganku kasar.
Aku protes karena ulahnya tetapi sahabatku itu tidak memperdulikanku, bahkan dia semakin kasar menarik tanganku. “Via! Lepasin ah! Loe mau bawa gue kemana sih?” tanyaku ketus.
“Kan udah gue bilangin tadi. Gue ngajakin elo ke kelas sebelah!
Ngeliatin si anak baru itu.” sahut Sivia yang tak alah ketus denganku.
Aku mendecakkan lidahku. “Liat besok kan bisa. Kenapa harus
sekarang? Lagian rame banget tuh, Vi! Dan loe udah ganggu tidur gue!”
kataku kesal.
Sivia menatapku kesal. “Cerewet banget sih loe, Lyss?! Udah deh,
mendingan loe diem aja. Ntar kalo loe liat mereka gue jamin rasa kantuk
loe bakalan ilang deh!” kata Sivia.
Aku mendengus sebal. “Yang suka kan loe sama cewek-cewek itu. Kenapa gue jadi ikut-ikutan?!” protesku.
Sivia tidak menggubris perkataanku. Sekarang aku dan Sivia sudah
berada didepan ruang kelas yang Sivia katakan tadi. Sivia melepaskan
genggaman tangannya pada tanganku secara perlahan. Aku melirik Sivia
bingung karena gadis itu sedang tersenyum lebar dengan mata yang
berbinar-binar. Kedua tangannya mengepal dan terangat menutupi mulutnya
yang ternganga. Sungguh, temanku ini rasanya sangat berlebihan. Aku
mendengus kesal. Detik berikutnya, aku mengikuti arah pandang Sivia.
Aku terdiam membisu. Aku mematung karena tubuhku mendadak menjadi
kaku. Aku tidak dapat mengedipkan mataku. Aku termakan pesona seseorang.
Mulutku hampir ternganga kalau saja aku tidak segera menyadarinya.
Kedua lelaki itu… Sungguh tampan! Benar! Aku tidak bisa mengatakan
‘tidak tampan’! Karena faktanya dia memang benar-benar tampan. Aku hanya
melihat lelaki yang satunya. Yang kulitnya lebih gelap dan memiliki
wajah yang sangat lucu dan menggemaskan. Ketika lelaki itu tersenyum
hanya satu yang ada dipikirannya. “Lelaki itu memiliki senyum yang manis
dan menyenangkan!” Entah kenapa tiba-tiba ada sesuatu yang bagiku cukup
asing dan terasa aneh muncul dalam hatiku. Aku menyukainya? Cinta
pandangan pertama? Aku tidak percaya akan hal itu. Aku yakin bahwa
diriku saat ini hanya mengaguminya saja.
“Kenapa diem? Loe kepincut juga kan sama mereka? Hahaha…” goda Sivia sambil menyenggol lenganku.
Aku baru tersadar. Aku menganggukkan kepalaku malas. Aku juga
tidak menanggapi perkataan Sivia barusan. Aku hanya memperhatikan sosok
lelaki berkulit gelap itu yang sedang tersenyum dengan memasang wajah
kebingungan dengan tingkah siswi-siswi yang mengerubunginya dan juga
temannya. Tunggu, aku belum melihat lelaki yang satunya itu. Kulitnya
putih dan mempunyai wajah yang tampan. Ah, tidak! Lelaki itu memang
tampan tetapi aku merasa hanya tertarik dengan lelaki berkulit gelap
itu. Dia manis.
“Cakep ya, Lyss? Gue nggak nyangka deh ada cowok secakep mereka
sekolah disini. Kyaa, kalo sekolah lain tau mungkin sekolah kita makin
terkenal nih?! Hehehe…” kata Sivia yang terus mengoceh.
Ah, tunggu! Aku melupakan sesuatu yang harus aku ketahui. Ya, harus! “Via? Cowok itu namanya siapa sih? Penasaran gue.” tanyaku.
“Yang mana nih? Yang putih itu ya? Namanya Cakka.” kata Sivia
sambil tersenyum lebar. Aku memperhatikan Sivia sebentar, kurasa Sivia
menyukai lelaki berkulit putih itu. Siapa tadi namanya? Cakka? Aish, aku
kan menanyakan lelaki yang satunya.
“Eh, bukan, bukan, yang satunya itu lho, Vi, yang item manis.” kataku pelan.
“Oh, yang itu. Kalo gak salah namanya Rio.” jawab Sivia.
“Rio?”
***
Senin, 31 Desember 2012
Aku Alyssa Saufika Umari. Seorang wanita berumur dua puluh enam tahun
yang telah berhasil meraih cita-cita. Cita-citaku adalah menjadi
seorang pianist terkenal dan aku sudah berhasil menggapai impian
terbesarku itu. Selain menjadi seorang pianist, aku juga seorang
penyanyi solo, photographer, pemain film, model dan penulis lagu. Ya,
aku berhasil meraih impianku menjadi seorang artis terkenal walaupun
cita-citaku yang sebenarnya hanya menjadi seorang pianist. Tidak apa,
aku menikmati hidupku seperti saat ini. Rasanya sangat menyenangkan
karena hidupku selalu diwarnai oleh para penggemarku. Ya, walau kutahu
aku mempunyai banyak anti fans, aku tidak memperdulikannya. Aku tetap
menikmati hidupku. Anti fansku malah membuatku semakin bersemangat
bekerja dalam dunia hiburanku. Anti fans selalu menghinaku, memutar
balikkan fakta tentangku, memfitnahku yang tidak-tidak, berkata kasar
padaku, menyebar luaskan semua tentang keburukanku dan hal-hal lain yang
dilakukan oleh anti fans membuatku seperti seseorang yang sedang
mendapatkan sebuah kritikan yang disertai dengan saran atau masukan yang
membuatku agar menjadi lebih baik untuk kedepannya. Ya, itulah yang
kupadang dari seorang anti fans. Aku tidak pernah berpikir buruk tentang
anti fans. Siapa tahu saja akhirnya nanti para anti fansku akan menjadi
penggemarku. Oh iya, aku juga memiliki nama panggung. Ify. Seseorang
yang memberikan nama itu untukku.
Kurebahkan tubuhku diatas sofa empuk apartemenku. Aku lelah sekali.
Satu bulan terakhir aku mendapatkan job diberbagai tempat didaerah Ibu
Kota Negara. Hal itu membuat waktu istirahatku tersita habis dan
tentunya tubuhku terasa sangat lelah. Bahkan untuk tidur pun aku hanya
mendapatkan waktu maksimal lima jam saja dalam sehari. Huh, belum lagi
aku melakukan pemotretan dalam acara Natal dan Tahun baru. Uh, ini
melelahkan. Tetapi tidak apa, seperti yang kukatakan tadi. Semuanya
terasa sangat menyenangkan.
Malam ini adalah malam terakhir pada tahun 2012. Ya, besok adalah
Tahun Baru. Ah, senangnya. Dimalam pergantian tahun ini pasti semua
orang diseluruh dunia akan merayakannya. Entah itu dengan cara yang
bagaimana, mungkin menyalakan kembang api, berjalan-jalan secara ramai,
membakar ayam atau ikan dan hal-hal lain yang dilakukan orang pada malam
pergantian tahun.
Aku teringat, enam tahun yang lalu, tepat saat aku belum menjadi
artis terkenal seperti sekarang, aku merayakan malam tahun baru bersama
sahabatku. Aku tersenyum mengingat saat-saat itu. Menyenangkan! Ya,
kurasa hidupku memang sangat menyenangkan dan aku berharap semoga
kesenanganku tidak akan pernah berakhir sampai kapanpun.
Kuhela napas panjang dan berlebihan kemudian menghembuskannya dengan
sangat cepat. Aku tertawa kecil mengingat umurku yang sudah dua puluh
enam tahun. Aku tidak menyangka bahwa diriku ternyata sudah setua itu.
Aish, ini membosankan! Apalagi mengingat hingga sampai saat ini aku
belum mempunyai kekasih. Ya, seumur hidup aku belum pernah menjalin
hubungan special dengan lelaki manapun. Tidak pernah! Mungkinkah kali
ini kesenanganku akan berakhir dengan fakta aku akan menjadi perawan
tua? Tidak! Aku tidak mau! Tapi mu bagaimana lagi? Aku harus bisa
menerimanya. Sivia, gadis itu sudah menikah dan sekarang sudah memunyai
seorang anak berumur dua tahun. Huh! Menyebalkan! Satu alasan yang
membuatku tidak memiliki niat untuk menjalin hubungan dengan lelaki
lain. Bukan karena aku tidak laku. Hanya saja, aku sudah berjanji untuk
menepatinya…
Ini sudah keenam kalinya aku tidak merayakan Tahun Baru. Tahun-tahun
sebelumnya aku mempunyai jadwal yang lebih padat dari pada tahun ini.
Aku merogoh saku rok pendekku dan mengambil ponsel. Aku mengotak-atik
ponselku untuk mencari sebuah nama pada ponselku. Nomor manajerku.
Lagi-lagi aku menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan cepat
sebelum menekan tombol berwarna hijau pada ponsel lalu menempelkannya
ditelinga.
“Hallo, Nona? Ada apa? Apa ada masalah? Tumben sekali nona menelpon
saya.” sapa sang manajer padaku setelah mengangkat panggilan telepon
dariku.
Aku tersenyum kecil. “Malam ini tidak ada jadwal lagi kan, Kak? Aku
ingin sekali merayakan Tahun Baru malam ini. Sudah enam kali aku tidak
merayakannya bersama teman-teman.” kataku menjelaskan.
“Sebenarnya ada, nona kan malam ini harus melakukan pemotretan di
Alio Cafe untuk mempromosikan Cafe yang baru dibangun itu. Tapi aku bisa
membicarakan hal ini pada pemilik Cafe. Lagipula, satu bulan terakhir
jadwal nona terlalu padat. Kuharap, pemilik cafe dapat memahaminya.”
jelas sang manajer.
Lagi-lagi aku tersenyum kecil. “Terima kasih banyak, Kak Santi.”
ucapku pada manajer. Santi. Itulah nama manajerku, usianya lima tahun
lebih tua dariku. Usianya memang masih muda untuk menjadi manajer tetapi
dia cukup menguasai pekerjaan sebagai manajer. Aku lebih senang
memanggilnya ‘Kak Santi’. Penampilannya memang dewasa, terlihat dari
caranya memakai make up, berbicara dan berpakaian. Hal itu membuat
beberapa orang mengira bahwa perempuan itu berusia sekitar awal empat
puluhan padahal aslinya baru berusia awal tiga puluhan. Manajerku
sendiri lebih sering menyebutku dengan nama ‘Nona Ify’, padahal aku
sudah berkali-kali mengatakan pada manajerku untuk langsung memanggil
namaku saja tetapi manajerku selalu saja menjawab bahwa panggilan itu
adalah panggilan rasa hormatnya padaku. Aish.
“Oke, selamat menikmati malam pegantian tahun dan selamat bersenang-senang.”
***
Jumat, 24 Oktober 2003
Hari ini, tepat sepuluh harinya dia menjadi bagian dari sekolahku.
Aku juga baru tahu kalau hari ini ternyata dia sedang berulang tahun.
Tahukah kau? Aku diundang diacara ulangtahunnya dan itu membuatku sangat
senang. Hari ini juga pertama kalinya dia mengajakku mengobrol.
Sungguh, aku tidak tahu lagi bagaimana caranya untuk bernapas saat itu
juga. Dadaku sesak saking senangnya. Ya Tuhan, kuharap rasa itu selalu
ada dalam diriku. Damai dan aman. Entahlah, saat itu juga aku merasa…
Mulai menyukainya. Tidak lagi mengaguminya. Ya, kutekankan sekali lagi.
Aku menyukainya.
***
Sivia membelalakkan matanya lebar begitu aku memasuki ruangan. Aku
baru saja sampai dirumah Rio. Rumahnya sangat luas dan mewah. Aku
sendiri baru tahu bahwa kedua orangtua Rio memiliki beberapa perusahan
besar yang sangat terkenal di Indonesia, New York dan Paris. Aku tidak
menyangka ternyata Rio sekaya itu. Wah!
“Alyssa! Loe cantik banget deh, sumpah!” puji Sivia.
Aku tersipu malu mendengar pujiannya yang agiku terlalu
berlebihan. Malam ini aku menggunakan mini dress berwarna putih selutut.
Rambutku kubiarkan terurai dengan sebuah pita berwarna putih yang
menghiasi rambutku disana.
“Coba tiap hari loe dandan kayak gini. Pasti cowok-cowok banyak yang kepincut sama loe.” kata Sivia lagi.
Aku menggelengkan kepalaku pelan. “Hih, ogah!” jawabku malas.
“Heh, Lyss, loe tuh udah umur tujuh belas tahun! Gue yang selama
ini jadi sahabat loe perasaan belom pernah denger loe tertarik sama
cowok deh. Pengen pacaran gitu. Loe pengen jadi perawan tua yak?” ceplos
Sivia.
Aku menginjak kaki Sivia. “Enak aja! Gue bukannya gak tertarik
sama cowok, gue normal tauk! Cuma gue lagi nunggu waktu yang pas aja
kalo mau punya hubungan special sama cowok, hehehe…” jawabku membalas
perkataan Sivia.
“Iya deh, terserah loe deh, Lyss. Oya, kado buat Rio mana?” tanya Sivia.
“Nih.” kataku sambil mengangkat tanganku yang memegang bungkusan kado. “Rio mana? Kok nggak keliatan sih?” tanyaku.
Sivia menunjuk kesuatu arah dengan dagunya. Aku mengikuti arah
yang ditunjuk Sivia dan aku mendapati Rio sedang duduk sendirian disudut
ruangan. Wajahnya menunduk dan sepertinya lelaki itu sama sekali tidak
menikmati acara malam ini. Padahal inikan ulang tahunnya. Aneh!
Tiba-tiba aku mendengar Sivia kembali menyeletuk, membuatku mengalihkan
pandangan dari Rio kearah Sivia.
“Lyss, Alvin manggil gue tuh! Gue kesana duluan ya?!” kata Sivia.
Tanpa menunggu jawaban dariku, gadis itu langsung berlari
meninggalkanku. Aku hanya dapat menghela napas pasrah melihat sahabatku
meninggalkanku. Huh!
“Mm, permisi.” tiba-tiba seseorang menepuk pundakku pelan. Aku
terkejut dan dengan spontan langsung membalikkan badan dengan mata yang
terbelalak. Hei! Orang itu membuatku hampir mati jantungan! Menyebalkan!
Tapi tunggu, ketika aku membalikkan badan yang kulihat… “Eh, maaf,
nggak ada maksud buat ngagetin.” kata orang itu.
“Rio?” tanyaku bodoh. Kulirik kearah sudut ruangan dimana
sebelumnya lelaki itu berada. Kenapa tiba-tiba berada disini. Didepanku.
Menyapaku. Hei, kau tahu? Aku senang sekali rasanya.
“Iya. Hmm, udah datengg dari tadi? Maaf ya nggak nyapa dari awal.” kata lelaki itu.
“Eh?” aku bingung dengan perkataan barusan. Maksudnya apa sih? Aku tidak mengerti. “Maksudnya?”
“Gini lho, tadi kan gue di depan pintu masuk itu. Begitu
temen-temen gue yang gue undang diacara ini dateng langsung gue sapa.
Tapi kan tadi gue kedalem bentar karena dipangil sama Cakka jadi gue
nggak sempet nyapa temen-temen yang baru dateng. Terus gue ngeliat loe
berdiri disini dan gue rasa kayaknya loe baru dateng yaudah gue
samperin. Gitu lho…” jelas Rio panjang lebar.
Aku mengangguk-anggukkan kepalaku paham. “Ini, buat loe. Selamat
ulang tahun!” kataku sambil menyodorkan kado yang kubawa sejak tadi.
“Makasih. Kita bisa temenan kan?” katanya.
Dadaku rasanya semakin sesak mendengar perkataannya barusan. Tentu
saja bisa! Sungguh, aku sangat senang malam ini. Dia mengajakku
mengobrol dan menjadikanku temannya.. Ya Tuhan! “Tentu!” jawabku
singkat. Bibirku tertarik kesamping dan membentuk seulas senyum manis
yang hanya kutunjukkan padanya.
“Nama loe siapa?”
***
Senin, 31 Desember 2012
Aku melajukan mobilku ketaman kota. Sesampainya disana, aku segera
melangkahkan kakiku menuju bangku putih yang berada ditaman itu tetapi
sebelumnya aku melakukan penyamaran agar orang-orang tidak menggenaliku
sebagai Ify. Aku tersenyum kecil mengingat kejadian tujuh tahun lalu.
Saat itu umurku baru sembilan belas tahun dan malam itu adalah malam
terindah bagiku. Malam yang tidak akan pernah aku lupakan. Bahkan sampai
saat ini aku masih mengingat jelas bagaimana kejadian malam itu. Malam
itu, aku membuat janji dengan seseorang. Sahabatku. Ya, dialah
sahabatku. Kalian pasti mengira sahabat yang kumaksud adalah Sivia? Ah,
tidak! Bukan Sivia. Sahabatku pergi begitu saja ketika kami selesai
merayakan tahun baru, aku sendiri tidak tahu kemana perginya dan
bagaimana kabarnya sekarang. Tetapi sebelum dia meninggalkanku dia
berkata padaku.
“Kalo suatu saat kita pisah. Loe dateng aja kesini setiap ngerayain
tahun baru. Tapi loe harus sendirian, oke?” katanya padaku saat itu.
“Kenapa harus sendiri coba?” tanyaku padanya.
“Ada deh pokoknya.” jawabnya sok misterius.
“Kenapa loe ngomong kayak tadi? Loe mau pergi ya? Kemana?” tanyaku lagi curiga.
Aku melihat dia hanya cengengesan sambil berkata. “Eh, enggak kok! Tenang aja! Gue nggak akan pergi.” jawabnya.
Dadaku menyesak. Itulah terakhir kalinya aku berbicara dengannya.
Keesokan harinya ketika aku mencoba menghubungi nomor ponselnya tidak
bisa dihubungi, aku sms tidak bisa, aku mendatangi rumahnya sudah
kosong. Dia menghilang begitu saja. Tanpa memberitahuku kemana dia
pergi. Mungkin ucapannya malam itu adalah salam perpisahannya untukku.
Tetapi kenapa dia tidak memberitahuku lebih awal?
Aku tersenyum masam mengingat kejadian itu. Sungguh, aku tidak bisa
melupakannya sampai saat ini. Semuanya… Terlalu manis untuk dilupakan!
***
Sabtu, 14 Februari 2004
Kurasa semenjak pesta ulangtahunnya itu, aku merasa aku semakin
dekat dengannya. Entahlah siapa yang memulai untuk saling mendekatkan
diri, aku senang dengan posisiku yang bisa dekat dengannya. Bahkan
disekolah, aku yang dulunya hanya siswi biasa mendadak menjadi populer
hanya karena dekat dengannya. Tahukah kalian? Selama aku dekat dengannya
perasaanku mulai berubah. Awal bertemu dengannya aku hanya sekedar
kagum, tetapi lama kelamaan aku menyukainya dan sekarang… Entah, aku
sendiri bingung. Tapi kurasa aku mulai… Mencintainya? Ah, tapi aku
sendiri tidak tahu bagaimana rasanya cinta itu. Aku belum pernah
merasakannya. Rasa itu mulai muncul ketika aku, Sivia dan teman-teman
merayakan Hari Valentine sekaligus merayakan pesta Ulang Tahun Sivia.
***
Malam valentine tiba. Ah, senangnya. Tepat sekali, selain Hari
Valentine, hari ini juga hari ulang tahun Sivia. Selamat Ulang Tahun
sahabatku yang cerewet. Huh, aku, Sivia dan teman-teman baru saja
menyelesaikan pesta kecil-kecilan yang diadakan di cafe dekat taman
sekolah dalam rangka merayakan Ulang Tahun Sivia serta menyambut dengan
hangat Hari Valentine. Sewaktu disekolah, aku dan Sivia mendapatkan
banyak coklat dari teman laki-laki disekolahku. Huh! Banyak sekali, aku
saja sampai memberikannya pada kakak dan adikku yang memang hobi makan.
Hahaha…
Sekarang aku sedang berada didalam mobil temanku. Rio. Ah, lelaki
itu tadi juga mendapat banyak coklat dari para penggemarnya disekolah.
Kulirik jam tangan yang melingkar ditangan kiriku. Mataku
terbelalak beegitu mengetahui ternyata sudah jam setengah satu malam.
Hei, ini sudah terlalu larut kenapa aku tidak menyadarinya? Untung saja
orantuaku sedang tidak berada dirumah jadi kemungkinan aku hanya akan
mendapat omelan dari kakakku saja, kecuali kalau adikku yang sangat
nakal itu memberitahu orangtuaku kalau aku pulang terlalu larut. Bisa
jadi aku tidak boleh keluar malam lagi. Huh, bagaimana ini?
“Rio, udah jam setengah satu! Anterin gue pulang ya? Ntar kakak gue marah-marah deh.” kataku pada lelaki itu.
“Nginep dirumah gue aja.” kata Rio tanpa menoleh kearahku.
Aku membelalakkan mataku lebar-lebar. “Ha? Nginep rumah loe? Ogah!” tolakku.
“Tenang aja, walaupun orangtua nggak ada dirumah gue nggak bakalan
deh ngapa-ngapain elo. Gue bukan cowok mesum ya! Lagian ada banyak kok
kamar kosong dirumah gue.” kata Rio merespon perkataanku.
“Nggak mau! Ntar kalo kakak gue tau malah tambah rumit masalahnya!” kataku lagi.
“Kalo loe minta pulang sekarang, masalahnya malah tambah rumit.
Apalagi yang nganterin loe pulang gue. Gue cowok! Ntar kakak loe malah
ngira yang enggak-enggak lagi. Kan kasian tetangga loe yang ngerasa
keganggu pas kakak loe marah-marah. Apalagi sekarang udah malem.” kata
Rio lagi.
“Tapi gue belom beritahu kakak gue.” kataku bingung.
“Besok pagi suruh Sivia kerumah gue dan suruh dia anter loe
pulang! Beres kan? Kakak loe pasti percaya kalo Sivia yang nganter loe.
Gimana?” kata Rio lagi.
Aku tersenyum. “Rio, loe emang pinter deh!” kataku sambil mencubit pipinya gemas.
Kulihat, lelaki itu tersenyum padaku. Astaga, manis sekali. Aduh, lelaki itu membuatku salah tingkah saja! Aishh…
***
Senin, 31 Desember 2012
Aku masih duduk dibangku putih yang panjang itu. Aku melirik jam
tangan yang ada ditangan kiriku. Aku menghela napas pendek ketika
mengetahui jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Kusapu pandangan
disekitarku, suasana di taman ini benar-benar sangat ramai. Aku
mengamati orang-orang yang melewatiku. Huh, sama sekali tidak ada yang
kukenal. Sepi sekali. Enam kali aku tidak merayakannya, tetapi begitu
aku ingin merayakannya kembali, aku malah kesepian seperti ini.
Sebenarnya, aku bisa melepas semua penyamaranku dan merayakan tahun baru
kali ini bersama para penggemar tetapi untuk kali ini aku lagi ingin
sendiri. Sesuatu mengatakan agar aku harus tetap melakukan penyamaran.
Tetapi sepi sekali rasanya.
Aku teringat terakhir aku merayakan Tahun Baru. Enam tahun yang lalu.
Saat itu aku merayakannya bersama Sivia, Alvin dan teman-teman Alvin
yang tidak kukenal dengan dekat. Aku merayakannya ditaman ini. Aku masih
bisa mengingatnya dengan jelas. Andai saja aku bisa merayakannya
bersama mereka lagi. Huh!
Oh iya, tentang Alvin dan Sivia, kudengar mereka sudah menikah empat
tahun yang lalu dan mereka sudah mempunyai anak berumur tiga tahun.
Pasti sangat lucu. Aku penasaran sekali. Hei, selain tidak merayakan
tahun baru, selama enam tahun itu juga aku tidak bertemu dengan mereka.
Aku bahkan tidak tahu dimana mereka tinggal. Hei, apakah aku terlihat
seperti sahabat yang buruk? Bahkan aku baru mengetahui beberapa hari ini
kalau sahabatku itu menikah dan sudah mempunyai anak dari salah satu
rekan kerjaku yang kebetulan satu sekolah denganku sewaktu SMA. Ya,
kuakui aku memang sahabat yang buruk.
“Alyssa?” tiba-tiba seseorang menyapaku dan membuatku terkejut bukan
main. Aku menoleh kearah sumber suara dan mendapati seseorang lelaki
tampan tengah tersenyum padaku. Aku memicingkan mataku mencoba untuk
mengingat lelaki itu dan beberapa saat kemudian aku langsung
membelalakkan mataku dan tersenyum lebar.
“GABRIEL?”
***
Rabu, 17 Maret 2004
Lagi-lagi disekolah aku mendapatkan teman baru yang langsung
mendapat banyak fans disekolah. Huh! Kurasa teman-temanku itu terlalu
berlebihan! Sialnya, anak baru itu duduk sebangku denganku dan aku
langsung diberi tatapan membunuh dari para penggemar gilanya itu. Aish,
tapi tunggu… Kalau kuperhatikan, kenapa dia seperti Rio? Ah, maksudku
wajahnya mirip dengan Rio. Hanya saja, yang membedakan mereka dari sisi
wajahnya anak baru itu terlihat lebih tampan sedangkan Rio terlihat
lebih manis, lalu penampilannya Rio terlihat lebih keren dan anak baru
itu terlihat lebih dewasa. Hmm, siapa tadi namanya? Aku lupa! Eh, kenapa
aku jadi membicarakan mereka? Huh!
***
Bel masuk berbunyi. Bu Winda masuk kedalam kelasku! Tunggu, kenapa
guru cerewet itu yang masuk? Bukankah guru itu tidak mengajar dikelasku
hari ini? Guru itu kan mengajar dikelasku setiap hari Kamis dan Sabtu,
atau aku yang salah jadwal? Aduh! Eh, tapi memang benar! Hari ini hari
Rabu bukan Kamis ataupun Sabtu. Lalu kenapa guru itu masuk kedalam
kelasku?
“Karena wali kelas kalian tidak hadir hari ini maka Ibu yang
menggantikan beliau untuk mengantar siswa baru yang masuk kelas ini.” Bu
Winda mulai membuka mulutnya dan berbicara pada kelasku.
Apa? Siswa baru? Lagi-lagi ada siswa baru? Ah, iya! Kenapa aku
tidak memikirkan tentang hal itu? Benar-benar bodoh! Pagi tadi, Sivia
memang mengatakan padaku kalau sekolahku lagi-lagi kedatangan siswa
baru. Ya, awalnya aku tidak memperdulikan perkataan Sivia dan
teman-temannya itu. Huh, memangnya aku peduli? Mau siswa baru kek, siswa
lama, semuanya sama saja! Kenapa harus diributkan seperti itu? Ya,
beginilah aku selalu mengabaikan apa yang dikatakan oleh teman-teman.
“Ayo, masuk!” kata Bu Winda.
Aku melihat seorangg siswa berpenampilan rapi masuk kedalam
kelasku dan tersenyum. Aku tercekat begitu melihat lelaki itu. Kenapa
wajahnya mirip sekali dengan… Rio? Eh, mungkin hanya perasaanku saja.
Tapi… Dia memang benar-benar mirip dengan Rio.
“Hai? Saya Gabriel Stevent Damanik, panggil saja Gabriel atau
Iyel, saya pindahan dari Jember, mohon bantuannya.” kata lelaki itu.
“Gabriel, kamu duduk disana saja ya? Cuma itu aja yang kosong.”
kata Bu Winda sambil menunjuk kearah… OMG! Bangkuku! Apa itu artinya
lelaki itu akan duduk bersamaku?
“Baik, Bu!” jawab Gabriel menghampiri bangkuku.
“Bu, tapi kan saya duduk sama Ray! Terus Ray lagi nggak masuk.
Kalo dia duduk sama saya, besok Ray duduk sama siapa dong?” aku
mengeluarkan suara sebelum Bu Winda keluar dari kelasku.
“Dia kan siswa baru, Alyssa, masak duduk sendirian. Dia kan juga
mau punya teman! Besok kalau Ray masuk ya suruh aja Ray yang pindah!
Bilang sama dia kalau Ibu yang nyuruh!” jawab Bu Winda lalu keluar dari
kelas.
Aku meghela napas pendek dan aku dapat melihat tatapan tidak suka
yang ditunjukkan padaku dari teman-temanku. Aish, begitu saja sudah
menatapku seperti itu. Bagaimana kalau aku berpacaran? Bisa-bisa aku
dibunuh oleh mereka! Menyebalkan! Kalau mau duduk dengannya ya silahkan!
Aku juga tidak mau duduk dengannya!
***
Senin, 31 Desember 2012
Mataku masih terbelalak menatap sosok didepanku yang tersenyum
padaku. Lalu, orang itu memilih duduk disebelahku. “Loe, beneran Gabriel
kan?” tanyaku pada orang itu.
“Iyalah, siapa lagi.” jawab orang itu. Gabriel. Kulihat, lelaki itu
masih saja tersenyum padaku dan menatap mataku. Mata itu, selalu indah
dan menghangatkanku. Aku tersenyum. Dia memang begitu sempurna dimataku.
“Ternyata loe masih inget sama gue. Gue kira loe bakalan lupa sama gue.
Oya, apa kabar?” lanjutnya.
“Gue nggak mungkin ngelupain elo. Elo kan… em, sahabat gue.” kataku
sambil tersenyum padanya. Yah, walaupun terpaksa tapi sebisa mungkin aku
mencoba untuk tersenyum normal seperti biasanya.
“Ify? Hmm, Gue suka nama itu.” kata Gabriel lagi.
DEG. Hatiku berdersir mendengar Gabriel mengatakan menyukai namaku.
Aku kembali tersenyum, namun kali ini aku tidak terpaksa seperti tadi.
Entah kenapa tiba-tiba hatiku merasa berbunga-bunga. “Iya dong. Keren
kan?”
“Kalau boleh tau, artinya apaan?” tanya Gabriel.
Aku diam. Aku tidak tahu harus menjawab pertanyaan Gabriel seperti
apa. Bahkan aku sendiri tidak tahu apa arti namaku. “Seseorang yang
memberikan nama itu padaku. Dia mengatakan suatu saat nanti jika aku
bertemu dengannya kembali, dia akan memberitahuku arti namaku.” jawabku
jujur.
***
Kamis, 30 Juni 2005
Ini adalah bulan keenam aku menjalin hubungan dengannya. Ah, apa
aku belum cerita? Selama enam bulan ini aku pacaran dengan Gabriel.
Tetapi bodohnya, aku malah meminta putus dengannya hanya gara-gara aku…
Aish! Bodohnya aku ini. Padahal jelas-jelas dia mencintaiku tetapi aku
malah mempermainkan perasaannya. Huh! Aku ini memang benar-benar kejam!
Aku harus mendapatkan balasan yang setimpal! Ya Tuhan, maafkan aku. Aku
sama sekali tidak ada maksud untuk mempermainkan perasaannya. Tunggu,
tidak ada maksud mempermainkannya? Kalau begitu, seharusnya aku
menolaknya dari dulu! Aku ini bodoh! Bodoh! Bodoh! Bodoh! Maafkan aku,
Gabriel.
***
“Yel, maafin gue. Tapi sekarang gue minta putus!”
Aku tertegun dengan apa yang barusan kuucapkan. Kenapa tiba-tiba
kata-kata itu terlontar dari bibirku? Kutolehkan kepalaku sekilas kearah
Gabriel untuk melihat ekspresi wajah yang ditunjukkannya ketika aku
berkata seperti tadi. Kulihat dari pancaran sinar matanya yang menatapku
dengan kecewa. Dengan cepat kupalingkan wajah darinya. Aku merasa
bersalah.
“Kenapa? Enam bulan lumayan lama lho, Lyss, nggak sayang lagi ya sama gue?” Gabriel meraih tanganku dan menggenggamnya lembut.
Kali ini kuberanikan untuk menatapnya. Hatiku mendadak sesak.
“Sorry, Yel, bukannya gue nggak sayang lagi sama loe. Gue masih sayang
kok sama loe, beneran deh.” kataku meremas tangannya yang semakin kuat
menggenggam tanganku.
“Terus kenapa?” tanya Gabriel.
“Gue…” aku diam. Jujur, aku tidak tahu apa yang akan kuucapkan
untuk menjawab pertanyaannya. Itu cukup sulit dan aku sendiri tidak tahu
apa alasannya.
“Alyssa.”
“Sorry, Yel.”
Aku melepaskan tangannya dari tanganku dan aku mulai melangkah pergi meninggalkannya.
***
Senin, 31 Desember 2012
Rasa canggung menyerangku. Mungkin karena tujuh tahun aku tidak
bertemu dengan Gabriel dan pertemuanku dengan Gabriel sangat mendadak
sekali. Sekarang apa yang harus kulakukan? Lelaki itu masih diam saja,
tidak sedikitpun membuka mulut untuk berbicara denganku. Tiba-tiba aku
teringat saat-saat aku masih bersamanya dan akhirnya aku menyakiti
perasaannya untuk kedua kali. Sebenarnya aku bingung dengan Gabriel,
memangnya tidak ada rasa benci terhadapku? Dia sudah dua kali kusakiti,
ah mungkin sudah bekali-kali tapi aku tidak menyadarinya. Kenapa? Apa
Gabriel masih mencintaiku? Apa Gabriel masih mengharapkanku lagi? Tidak!
Mungkin saat ini ia sudah mendapatkan gadis baru. Mustahil jika selama
tujuh tahun ia masih mencintaiku. Jangan terlalu percaya diri, Alyssa.
“Gimana kabar Rio?”
Aku menoleh. Akhirnya, Gabriel mengeluarkan suaranya juga. “Gue nggak tahu.” jawabku canggung sambil menggelengkan kepala.
“Emangnya dia kemana sih? Kok ngilang gitu?” tanya Gabriel.
Aku menggelengkan kepalaku lagi. Gabriel pun tidak bersuara kembali.
Hening. Huh! Lagi-lagi suasana seperti ini. Hening dan sepi. Aku
benci suasana seperti ini. “Ngomong-ngomong kok loe bisa tau kalo gue
Alyssa?” tanyaku.
Gabriel tersenyum penuh arti kearahku. “Gue kenal loe, Lyss, gue udah
pernah jadi bagian dari hidup loe. Mana mungkin gue lupa? Loe terlalu
berarti untuk gue lupain.” jawabnya.
Aku tertegun. Butuh waktu lima menit untuk memahami perkataannya dan kini aku sadar. Lelaki itu mengharapkanku.
“Sekarang, apa loe udah bisa nerima gue lagi?”
Tidak meleset! Tebakanku benar!
***
Minggu, 4 September 2005
Kenapa aku harus masuk kedalam hidupnya? Kenapa aku membuatnya
hancur seperti? Katakan kenapa aku dengan teganya membuatnya terluka?
Mengapa? Aku tidak sadar bahwa aku membuatnya terluka, membuatnya kecewa
dan marah padaku. Aku tidak menyadarinya. Semuanya gara-gara dia! Dia
seperti seseorang yang sedang menghipnotisku dan membuatku seolah
berpikir untuk melukai perasaan seseorang tanpa terlebih dahulu
memikirkan bagaimana perasaan seseorang yang akan kusakiti. Aku merasa
trauma dengan ini semua. Lebih baik aku tidak lahir didunia ini dari
pada harus menyakiti perasaan banyak orang dan membuatku menyesak
sendiri. Ini menyakitkan!
***
“Alyssa! Sini!”
Aku menolehkan kepalaku dan senyumku langsung mengembang begitu
tahu siapa yang memanggilku. “Kenapa, Vi?” tanyaku. Dia Sivia,
sahabatku.
Sivia mengedipkan sebelah matanya padaku. “Tuh, gue disuruh
manggil elo sama pangeran loe, hehehe.” kata Sivia. “Loe ditunggu di
atap sekolah.” lanjutnya sambil mendorong tubuhku.
Aku menuju atap sekolah sesuai yang Sivia katakan tadi. Aku tahu
siapa pangeran yang Sivia maksud. Dia Mario. Entah sejak kapan panggilan
itu Sivia goda padaku. Aish…
Aku berjalan menuju atap sekolah, langkahku sedikit terburu-buru.
Oh, mungkin aku takut terlambat datang menemui Rio karena setahuku Rio
tidak suka menunggu lama. Tiba-tiba benda yang hidup didadaku itu
berpacu diluar kontrol membuatku sering kali gugup mendengar namanya.
Rio. Rasa kagumku berubah menjadi suka. Rasa sukaku kini berubah menjadi
cinta. Apa? Cinta? Awalnya aku memang ragu dengan rasa itu. Tapi
semakin lama rasa itu semakin menggerogoti hatiku membuatku tidak
berhenti tersenyum.
“Hai?” sapaku begitu sampai di atap sekolah. Aku tersenyum padanya lalu duduk disebelahnya.
Rio tidak mengatakan apapun tetapi tiba-tiba dia memberiku coklat.
“Buat gue nih? Thanks ya?” kataku sambil merebut coklat dari tangannya. Kubuka bungkusnya dan mulai memakan coklat itu. Enak.
Tiba-tiba Rio menggenggam tanganku. “I Love You.”
Aku sedikit tersedak. Kutolehkan kepalaku dengan cepat kearahnya.
“Ha?” mungkin saat ini aku memasang tampang terbodohku didepannya.
“Jangan GR dulu. Gue emang cinta sama loe tapi gue gak lagi nembak
loe ya. Gue cuma jujur aja sama perasaan gue ke elo.” kata Rio
menatapku sambil tersenyum simpul.
Aku sedikit kecewa mendengar dia tidak menembakku tapi aku senang ketika dia jujur mengenai perasaannya padaku.
“Lyss, loe mau kan nunggu gue nembak loe?”
Aku menganggukkan kepalaku. “Kapan?”
“Suatu saat nanti. Gue cuma nunggu waktu yang tepat aja.” jawab Rio.
Aku mengangguk kecil. Tiba-tiba Rio semakin mendempet padaku. Tangannya meraih tengkukku dan mendekatkan wajahku kewajahnya. Pikiranku mulai kacau. Rio mau menciumku? Oh God, apa yang harus kulakukan? Aku tidak berpengalaman tentang hal ini. Kulihat Rio mulai memejamkan matanya lalu menciumku lembut. My first kiss.
PRANG!
Aku dan Rio melepaskan ciuman kami dan menoleh kearah sumber
suara. Aku melihat Gabriel sedang memungut ponselnya yang terjatuh.
Perasaanku mulai tidak enak. Apa Gabriel meihatnya? Ya Tuhan, apa yang
sudah kulakukan?
“Eh, sorry, gue gak tau kalo ada kalian disini dan kalian…” ucapan
Gabriel terhenti. Aku menghela napas. Gabriel melihatnya. “Eh, yaudah,
lanjutin aja. Sorry ngeganggu!”
Gabriel, maafkan aku.
***
Senin, 31 Desember 2012
“Lyss?”
Gabriel meraih tanganku lalu ia menggenggamnya. “Jawab dong jangan
diem aja. Kalaupun loe nggak bisa nerima gue lagi nggak apa-apa kok. Gue
tetep nunggu loe selamaloe belum menikah!”
“Yel, gue…”
“Gue tau.” sela Gabriel. “Rio kan? Bukannya dia ngilang? Kenapa loe masih ngarepin dia?”
Kugenggam tangan Gabriel semakin kuat. “Sorry, Yel. Tapi gue mohon
loe jangan ngomong kayak gitu. Rio nggak hilang. Dia hanya pergi selama
beberapa waktu.” ucapku. “Loe boleh benci gue kalo loe mau.”
Gabriel menggelengkan kepalanya. “Gue nggak mungkin bisa benci sama orang yang terlanjur gue cintai.” ucapnya. Suaranya lirih.
“Gue sering bikin loe sakit hati, Yel, gue gak pantes buat loe.”
Gabriel menempelkan jari telunjuknya tepat di bibirku. “Jangan ngomong kayak gitu.”
Aku menganggukkan kepalaku pelan. Aku diam. Semuanya terasa berjalan
begitu cepat. Gabriel, kenapa dia masih mengharapkanku? Aku tidak bisa
memberikan harapan lebih padanya. Kumohon berhentilah mencintaiku. Itu
hanya akan menyakiti perasaanmu saja. Gabriel, lupakan aku. Ingin
rasanya aku berteriak padanya seperti itu.
Kupalingkan wajahku kearah lain. Tepat disaat itulah aku melihat
sosoknya. Entah dia sadar aku melihatnya atau apa, dia langsung
menghilang. Tiba-tiba waktu terasa berhenti. Aku hampir tidak percaya
dengan penglihatanku dan nyaris saja aku menangis. Tanpa sadar, aku
beranjak dan mencari sosoknya. Sosok yang sudah sangat lama kurindukan.
Rioku.
“Lyss, mau kemana?”
***
Sabtu, 31 Desember 2005
Aku mendapat surprise! Dua orang yang menyatakan cinta padaku
dimalam tahun baru. Kedua orang itu benar-benar membuatku tidak percaya.
Mungkin ini mimpi namun tidak! Ini nyata! Aku bisa merasakannya! Mereka
adalah orang yang berarti dalam hidupku. Pernah mengisi kekosongan
hatiku namun kali ini apa yang harus kulakukan? Aku tidak mungkin
memilih keduanya dan kujadikan milikku. Aku harus memilih siapa?
***
“Kalo suatu saat kita pisah. Loe dateng aja kesini setiap ngerayain tahun baru. Tapi loe harus sendirian, oke?”
Aku menaikkan sebelah alisku. Bingung. “Kenapa harus sendiri coba?”
“Ada deh pokoknya.”
Rio sedang bicara apa sih? Kenapa tiba-tiba begini? Apa dia mau
pergi? Meninggalkanku? Kenapa cepat sekali? Bahkan dia belum menembakku.
Sudah hampir empat bulan lamanya aku menunggunua menembakku. Huh!
“Kenapa loe ngomong kayak tadi? Loe mau pergi ya? Kemana?” entah kenapa,
aku langsung melontarkan pertanyaan yang tadinya terlintas dalam
benakku.
“Eh, enggak kok! Tenang aja! Gue nggak akan pergi.” Rio menjawab
pertanyaanku sambil cengengesan. “Lyss, gue boleh minta satu hal lagi
nggak selain yang tadi?”
“Boleh, apa?”
“Loe harus kejar impian loe jadi pianis terkenal dan begitu loe
udah terkenal gue mau loe gunain nama ‘Ify’ sebagai nama panggung loe.
Gimana? Hehe..”
“Apaan sih loe? Iya kalo gue sukses, kalo gak? Emang apaan tuh artinya Ify?” tanyaku bingung.
“Gue kasih tau kalo loe udah sukses, biar loe penasaran.”
“Ogah ah, ntar artinya jelek lagi!” kataku menolak.
“Bagus! Pokoknya loe harus mau!” Rio memaksa.
“Kalo gue nggak mau kenapa?” balasku.
“Mau!”
“Nggak!”
“Mau!”
“Nggak!”
“Gue cium nih!”
Kujitak kepalanya cukup keras. “Dasar gila!” umpatku.
Rio terkekeh sambil mengusap kepalanya yang kujitak. “Tahun baru
kali ini kok sepi ya? Gak rame kayak biasanya.” gumam Rio sambil menatap
langit.
Aku mengikuti arah pandangnya dan menyetujui perkataannya. “Iya nih!”
“Would you be my girl?”
“Ha?” aku menoleh cepat kearahnya. Kaget? Tentu saja.
“Would you be my girl?” Rio mengulangi perkataannya.
Aku baru saja akan menjawab ketika seseorang berseru padaku dan Rio. Membuatku dan Rio mau tidak mau menoleh pada orang itu.
“Loe nggak boleh seenaknya aja nembak nembak, Alyssa. Alyssa milik gue, ngerti?!” Gabriel mendekatiku dan Rio.
Rio berdiri dan mendekati Gabriel. “Apa maksud loe? Loe cuma masa
lalunya dia! Loe nggak berhak nyuruh gue gak nembak Alyssa!” balas Rio.
“Selama ini gue udah sabar ngeliat loe berdua mesra-mesraan
didepan gue. Tapi kali ini kesabaran gue habis!” Gabriel menatap Rio
tajam.
“Bagus! Itu artinya Alyssa cinta sama gue bukan sama loe!” Rio balas menatap Gabriel tak kalah tajam.
“Woy, berenti! Ntar kalo oran-orang liat jadi bahan tontonan tau!” bentakku pada mereka berdua.
“Lyss, loe harus jadi milik gue! Loe harus pilih gue! Titik!” Gabriel menarik tanganku.
Rio menahanku dengan menarik tanganku yang sebelahnya. “Nggak!
Alyssa cuma buat gue! Dia nggak pantes sama loe!” Rio menarik tanganku.
“STOP!” seruku dengan nada tinggi. “Kalian berdua kayak anak kecil
aja! Udah deh nggak usah tengkar gitu!” lanjutku menatap kecewa Rio dan
Gabriel secara bergantian.
Tapi berbeda dengan tatapan yang mereka berikan padaku. Mereka
menatapku penuh arti. Entah kenapa keduanya bisa saling kompak berkata.
“Siapa yang loe pilih, Lyss?”
Aku kembali tertegun. Aku bahkan baru sadar kalau keduanya
menembakku. Keduanya sama-sama penting dalam hidupku. Keduanya sama-sama
orang yang kusayang. Aku senang mereka menyayangiku. Tapi mereka
menganggapku lebih. Aku memang meyukai salah satunya tapi aku tidak
ingin menyakiti yang lain. Oh, lalu apa yang harus kulakukan sekarang?
Tiba-tiba ponsel Rio berbunyi. Memecah keheningan yang terjadi
selama beberapa saat diantara kami. Kutolehkan kepalaku dengan cepat
kearah Rio. Aku dapat melihat dengan jelas raut wajahnya yang berubah
menjadi… aku sendiri bingung! Yang pasti ia terlihat tidak senang.
Beberapa saat aku memperhatikan Rio yang sibuk berkutat dengan ponselnya
dan setelah beberapa saat raut wajahnya menjadi kecewa.
“Lyss, ayo pulang sekarang!” Rio menarik tanganku lebih kasar sehingga genggaman tanganku pada Gabriel terlepas.
“Tunggu! Gue masih mau ngomong sama Alyssa!” Gabriel kembali menarik tanganku.
Aku hanya menatap keduanya bingung dan pasrah.
“Gue yang ngajak dia keluar jadi gue juga yang nganter dia pulang!” bentak Rio.
“Tapi gue masih mau ngomong sama Alyssa, bego!” bentak Gabriel ganti.
“Apa loe ngatain gue bego! Nggak nyadar loe lebih bego dari gue! Idiot!” balas Rio.
“STOP! STOP! STOP!” bentakku lagi. Aku tidak habis pikir, kenapa
dua orang itu senang sekali adu mulut? Menyebalkan! “Telinga gue sakit
denger kalian tenggkar kayak gini!”
“Ayo, Lyss, pulang!” Rio kembali menarik tanganku.
“Heh, loe tuli ya? Gue masih mau ngomong sama Alyssa! Masalah pulang biar gue yang nganter!” Gabriel masih menarik tanganku.
“Gue nggak percaya sama cowok kayak loe!” balas Rio menunjuk Gabriel dengan jari telunjuknya tepat didepan wajah Gabriel.
Aku melepaskan kedua tangan mereka secara kasar dan menatap mereka
kesal secara bergantian. “Kalo kalian masih bertengkar nggak usah nyapa
gue lagi, jangan temuin gue lagi!” ancamku.
Rio dan Gabriel diam.
“Sorry, Yo, kalo loe mau pulang duluan aja. Gue bisa sama
Gabriel.” kutundukkan wajahku. Sejujurnya aku ingin bersama Rio, hanya
saja Gabriel mengatakan ingin berbicara padaku. Kurasa itu cukup
penting. Aku dapat melihat dari sinar matanya yang bersungguh-sungguh.
Rio, maafkan aku.
Rio tampak kecewa dan ia menatapku tidak menyangka. “Oke, kalo itu
mau loe. Tapi inget permintaaan ggue yang sebelumnya! Loe harus penuhi
permintaan gue!” kata Rio. Ia berjalan mendekatiku lalu memelukku.
Gerakan Rio yang tiba-tiba memelukku membuatku sedikit terkejut. “Gue
nggak minta jawaban loe sekarang! Loe bisa jawab kapan pun! Gue cinta
sama loe.”
Setelah itu Rio pergi meninggalkanku dan Gabriel berdua. Disini. Ditaman kota.
“Gue… Nyerah!” Gabriel membuka suaranya.
Aku mengangkat wajah dan menatapnya. Bingung. “Maksud loe?”
“Loe cinta kan sama Rio?”
Aku hanya diam.
“Gue nyerah!” Gabriel mengulangi perkataannya. “Mulai sekarang gue ngelepasin loe. Gue nggak akan ganggu loe sama Rio lagi.”
Aku masih diam.
“Kecuali kalau Rio nggak bisa jaga elo, nggak bisa memperlakukan
elo dengan baik, dia berbuat jahat dan lain sebagainya gue akan narik
loe lagi.”
***
Senin, 31 Desember 2012
Aku tidak menghiraukan Gabriel yang terus-menerus memanggil namaku.
Aku melihatnya. Mario. Aku mengejarnya diantara kerumunan orang-orang
yang berada ditaman. Kebetulan taman sangat ramai sehingga aku kesulitan
mencari sosoknya. Ya Tuhan, kenapa ini? Kenapa dia menghilang? Aku
yakin itu dia! Itu Rio! Marioku. Aku tidak salah lihat! Aku bisa
merasakan dia berada disini.
Aku mencoba untuk mencari-cari Rio disekitar taman. Namun hasilnya
nihil. Aku sama sekali tidak menemukan Rio. Tidak melihatnya. Apa aku
salah lihat? Apa itu hanya halusinasiku saja?
Aku kecewa. Sangat. Ternyata aku salah lihat.
Rasa rindu itu menyerangku. Ya, aku merindukan Rio. Sangat
merindukannya. Tujuh tahun lamanya aku tidak bersama dengannya. Terakhir
kali bersamanya ketika kejadian ditaman itu. Disini.
“Ify…”
Suara itu. Suara yang sangat kukenal. Suaranya yang berat dan lembut
langsung ditangkap oleh indera pendengaranku. Suara yang kurindukan.
Suara Rio!
Kubalikkan badanku dengan cepat kearah datangnya suara. Beberapa saat
aku hanya terdiam. Memandangnya tanpa berkedip. Oh God! Katakan padaku
ini bukan mimpi? Kalaupun mimpi ingin rasanya aku tidak bangun dan
merasakan kebahagiaan ini. Benar! Aku benar! Orang itu Rio! Marioku.
“RIO?!” kataku dengan nada tinggi. Ah, tepatnya seperti sebuah teriakan.
“Jangan teriak-teriak, gendang telinga gue ntar pecah.” Rio tersenyum simpul padaku lalu detik selanjutnya ia memelukku.
Demi Tuhan! Aku masih belum bisa mempercayai semuanya! Benarkan orang yang sedang memelukku adalah Rio? Aku merindukannya.
Perlahan pelukannya melonggar dan lelaki itu menatapku tajam. “Loe
udah sukses kan? Selamat! Dan makasih udah mau ngabulin permintaan gue!”
Rio mengusap rambutku lembut.
“Loe… Rio?” pertanyaan bodoh! Tentu saja lelaki itu Rio!
“Iyalah! Kenapa? Kangen ya?” godanya lalu mengedipkan sebelah mata padaku.
Aku memeluknya erat. Dia benar-benar Rio. “Loe jahat banget sih sama
gue! Kenapa ninggalin gue gitu aja waktu itu? Ha?” kataku kesal.
“Gue pindah ke Manado. Bokap gue pindah kerja disana. Sorry nggak ngasih tau loe lebih awal.” Rio menjelaskan.
“Terus kenapa nomor loe nggak aktif?” tanyaku lagi.
“Malam itu mungkin loe milih Gabriel karena loe nolak ajakan gue.
Jadi gue ganti nomor HP gue biar loe nggak ngehubungin gue lagi. Sorry.”
kata Rio lagi.
“Kenapa gitu? Loe tega ya bikin gue galau selama tujuh tahun!” kataku jujur.
“Maksud loe?” Rio melepaskan pelukan kami dan menatapku bingung. “Loe sama Gabriel…”
“Nggak, Yo, gue sama sekali nggak nerima dia! Bego loe!” aku menoyor kepalanya.
“Oke, sekarang gue nagih jawaban sama loe! Loe nerima gue atau nggak?!”
“Kalo gue terima gimana? Terus kalo nggak gimana?”
“Kalo loe nerima gue bakalan buat loe bahagia disamping gue dan
setelah itu gue langsung ngelamar elo. Kalo loe nolak gue bunuh diri.”
kata Rio sambil tertawa.
“Gue juga mau nagih janji sama loe!” kataku tidak menghiraukan perkataannya yang tadi.
Kulihat Rio menaikkan sebelah alisnya. Bingung. “Janji? Janji apaan?” tanya.
Aku berkacak pinggang. “IFY! Apa arti nama itu?! Jawab!” kataku galak.
Rio tersenyum penuh arti. Ia memasang raut wajah yang susah kutebak.
“Artinya agak aneh sih, Fy, loe jangan ketawa ya?” kata Rio. Aku
menganggukkan kepalaku dan Rio melanjutkan perkataannya. “Kita tujuh
tahun pisah dan sekarang kita ketemu. Disini kan? Jadi gue nemuin loe
disini kan gue duluan yang nyapa elo. I Found You. Tapi artinya bakalan
berubah kalo loe mau nerima gue. I For You. Hehehehe…” Rio ketawa
garing.
“Rio…” aku kembali memeluknya. “Menurut gue nggak aneh kok! Bagus malah selama loe yang buat!”
“Jadi…”
“Jadi?”
“Loe nerima gue?”
Aku menganggukkan kepalaku.
“Beneran? Terus Gabriel gimana?”
“Gue mundur!” seseorang menyahut.
Aku dan Rio menoleh bersama kepada seseorang yang tiba-tiba menyahut. Gabriel. Ya, siapa lagi?
“Yel…” kusebut namanya.
“Sorry selama ini jadi gue jadi pengganggu hubungan kalian.” Gabriel
tersenyum tulus padaku dan Rio. “Yo, loe harus janji jagain Alyssa.
Jangan buat dia nangis, oke? Ngomong-ngomong nama buatan loe keren.”
Gabriel menepuk pundak Rio.
“Loe janji sama gue dan Ify bakalan nemuin cewek lain! Gue yakin
banyak kok cewek yang mau sama loe. Loe kan cakep!” Rio balas menepuk
pundak Gabriel.
“Oke, suatu saat nanti gue akan ngenalin cewek itu sama kalian!”
“Yel… Loe nggak marah kan sama gue?” tanyaku.
Gabriel menatapku. Ia tidak berkata apapun dan hanya menggelengkan kepalanya.
DUAAARR!! DUAAARRR!! DUAAAARRRRR!!
Tepat pada saat itulah berbagai kembang api dinyalakan. Sangat banyak
dan terlihat meriah. Dimalam tahun baru yang sangat cantik ini akhirnya
aku mendapatkan kebahagianku. Terima kasih Rio. Kau telah memberikanku
kebahagiaan yang lebih. Terima kasih juga untuk Gabriel yang merelakanku
bersama Rio. Aku berhutang padanya.
“Woaaa, itu IFY!”
“Mana? Mana? Kyaaa, Ify!”
“Siapa dua cowok itu? Kenapa bersama idolaku?”
“Kak Ify, foto bareng dong!”
“Asiknya ngerayain tahun baruan sama artis!”
“Kyaaa, Ify!”
Gabriel dan Rio yang melepaskan semua penyamaranku langsung membuat
orang-orang disekitarku mengerubungiku. Ya, siapa lagi kalau bukan para
penggemarku. Aish, mereka berdua menyebalkan! Tapi tidak apa-apa. Selain
malam ini aku merasa senang bisa bertemu dengan keduanya aku juga
merayakan tahun baru bersama penggemarku.
“HEI, HEI, KALIAN SEMUA! IFY ITU PACAR SAYA! IFY, I LOVE YOU!” teriak Rio diantara kerumunan para penggemarku.
Aku melototkan kepalaku pada Rio. Kenapa dia senekat itu? Bodoh!
***
END
0 komentar:
Posting Komentar