Normal POV
Sinar matahari yang sangat menyilaukan memasuki celah-celah jendela
kamar Ify. Perlahan Ify membuka matanya, sinar matahari yang menyilaukan
mata itu membuat matanya tidak sepenuhnya terbuka. Ia duduk diatas
ranjang tidurnya dan diam. Seolah menunggu nyawanya yang terbang bersama
alam mimpinya itu terkumpul kembali. Yakin sudah merasa lebih baik, Ify
beranjak dari ranjangnya dan menuju kamar mandi. Tak butuh waktu lama,
hanya dalam lima belas menit Ify sudah selesai mandi dan berpakaian.
Sekarang, ia sudah duduk manis didepan meja rias di kamarnya. Menatap
bayangan dirinya didepan cermin, mengamati setiap wajah, tubuh dan
penampilannya sambil menyisir rambutnya dengan santai. Matanya melirik
sekilas kearah jam dinding. 06.00. Setelah selesai, ia langsung memakai
sepatu dan meraih tas sekolahnya. Kemudian ia turun kelantai dasar
menuju ke ruang makan.
“Pagi Tante, pagi Om…” sapa Ify. Ia melihat Ira sedang sibuk
menyiapkan sarapan pagi sedangkan Saiful duduk diruang tengah yang
sedang membaca koran ditemani oleh kopi kesukaan Saiful.
“Oh, Ify, ayo sini sarapan. Cakka sama Rio masih siap-siap tuh…” kata Ira.
Ify menanggukkan kepalanya sambil tersenyum. Ia menghampiri Ira. “Ify
bantu ya, Tante…” tawar Ify. Melihat Ira menganggukkan kepalanya, Ify
langsung membantu Ira menyiapkan sarapan pagi. “Hmm, Ify suka deh aroma
nasi goreng buatan tante. Pasti rasanya enak banget…” kata Ify.
“Iya dong, masakan tante sih selalu enak…” kata Ira sambil tertawa renyah. Melihatnya, Ify ikut tertawa.
Kemudian terdengar suara langkah kaki menuruni tangga. Ify
mengalihkan pandangannya kearah sumber suara, ia melihat Rio turun dan
berpakaian sangat rapi seperti biasanya. Rio juga menoleh kearah Ify dan
tepat pada saat itu mata mereka bertemu. Sekitar satu menit mereka
bertatapan seperti itu, kemudian Rio sadar dan ia hanya tersenyum kecil
kearah Ify tanpa mengatakan sesuatu. Rio berjalan mendekati arah meja
makan dan duduk disalah satu kursinya. Rio duduk sambil mengeluarkan
salah satu buku, sepertinya lelaki itu akan membaca buku-bukunya. Ify
tahu, buku itu adalah buku Fisika. Mata pelajaran yang sama sekali tidak
Ify sukai.
Ify tersadar, buru-buru ia mengalihkan pandangannya dari Rio. Ia sama
sekali tidak sadar kalau sejak tadi ia terus mengamati Rio. Ya, lelaki
itu pasti tahu kalo Ify memperhatikannya dari tadi. Pipinya memerah, ia
benar-benar sangat malu. Untung saja Rio tidak melihatnya.
“Hayoo…” tiba-tiba Cakka menepuk pundak Ify, spontan hal itu membuat
Ify kaget bukan main. Cakka tertawa melihat kekagetan Ify sedangkan Ify
langsung menatap jengkel kearah Cakka. Wajahnya semakin memerah karena
sedang menahan malu. “Wajah loe kenapa merah gitu?! Hahaha…” tanya Cakka
menggoda.
Ify langsung membalikkan badannya ia tidak mau menatap Cakka karena
hal itu akan membuatnya semakin salah tingkah. Sekarang posisinya
berdiri dihadapan Rio, tidak sengaja Ify menatap Rio yang ternyata juga
sedang menatapnya kemudian lelaki itu hanya tersenyum pada Ify sambil
menggelengkan kepalanya lalu kembali dengan kesibukannya, membaca buku.
Ify menyesali posisinya saat ini. Pasti Rio melihat wajahnya yang
memerah itu. Ya Tuhan, memalukan!
“Hahaha…” terdengar kembali suara Cakka yang sedang tertawa, Ify
yakin Cakka pasti menertawakannya. “Ify, Ify, loe kenapa salting gitu?
Suka ya sama gue?!” goda Cakka lagi.
Ify membalikkan badannya menatap Cakka. “PD banget loe ngomong kayak
gitu,” balas Ify mendengus. “Lagian dunia kagak sempit kok.” lanjut Ify.
“Sarapan dulu, jangan banyak ngobrol. Nanti telat lho…” kata Ira.
“Iya, Mah…” jawab Cakka.
“Iya, Tante…” jawab Ify.
Cakka langsung menarik kursi disebalah Rio sedangkan Ify didepan Rio.
Ira kembali kedapur, membiarkan anak-anaknya itu sarapan lebih dulu.
Selama sarapan pagi, ketiganya saling diam. Suasana hening tercipta
diantara mereka. Hanya terdengar bunyi akibat gesekan-gesekan antara
garpu dan sendok pada piring mereka yang mengisi keheningan itu. Cukup
lama. Sampai akhirnya Ify yang memecahkan keheningan tersebut.
“Emm, hari ini gue berangkatnya sama siapa?! Sama Cakka atau sama Kak Rio?” tanya Ify kepada dua lelaki itu.
“Gue sama Shilla.” jawab Rio singkat. Sorot matanya menatap Ify dengan tatapan : Sorry, Fy.
“Oh, jadi gue sama Cakka lagi?” kata Ify yang menanyakan pertanyaan
bodoh. Kalau bukan dengan Rio dengan siapa lagi kalau bukan Cakka?!
Sebagai jawaban, Rio hanya menganggukkan kepalanya. Kemudian beranjak
meninggalkan Cakka dan Ify disana. Ya, karena ia harus menjemput Shilla
terlebih dahulu yang jarak dari rumahnya ke rumah Shilla lumayan jauh.
***
Dalam perjalanan menuju sekolah, Ify dan Cakka saling diam. Tidak.
Bukan saling diam. Hanya saja saat ini Ify sedang malas berbicara. Cakka
yang sejak tadi dicuekin oleh Ify berusaha menahan kesal dan
penasarannya. Dalam benaknya, ia berpikir apa yang membuat gadis itu
mendadak menjadi pendiam. Padahal beberapa hari ini gadis itu mulai
ceria dan kenapa untuk hari ini gadis itu kembali diam?! Apakah ada yang
salah dari dirinya sehingga gadis itu mendiaminya?!
“Fy, ngomong kek, perasaan dari tadi loe diem aja.” kata Cakka yang
sudah tidak bisa menahan rasa kesalnya. Ya, Cakka memang sedikit kesal
bila ada orang yang bersikap cuek padanya. Seperti Rio.
Ify diam. Ia tak menyahut sama sekali. Sepertinya gadis itu sedang melamun dan tidak mendengarkan perkataan Cakka barusan.
“Ify!” seru Cakka.
Mendengar seruan Cakka, Ify kaget dan langsung menoleh kearah Cakka. “Eh, apa Kka?!” tanya Ify sambil tersenyum.
Cakka menoleh menatap Ify danmelihat Ify tersenyum. Ia tahu, senyum
Ify bukan senyum seperti biasanya, senyum Ify kali ini terkesan dipaksa.
“Loe kenapa dari tadi diem?! Sariawan?! Badmood?! Atau apa?!” tanya
Cakka.
Ify tertawa kecil. “Sorry deh, gue sama sekali nggak ada maksud untuk
nyuekin elo. Nggak tau deh kenapa tiba-tiba gue mendadak jadi diem
gini…” balas Ify.
“Loe mikirin sesuatu, Fy?!” tanya Cakka.
Ify menaikkan bahunya. “Nggak tau deh, tapi kayaknya sih gitu. Cuma gue bingung apa yang gue pikirin tadi…” jawab Ify.
“Mikirin gue ya?! Hahaha…” kata Cakka menggoda Ify sambil tertawa.
Ify mencubit lengan Cakka. “Yaelah, Kka, elo mah orangnya PD banget
sih?!” balas Ify sambil menatap Cakka yang sedang tertawa dan
berkonsentrasi menyetir mobil. “Mending gue mikirin makanan aja lebih
enak dari pada elo, hahaha…”
***
Shilla POV
Berjalan bersama menuju kelas bersama Rio membuatku cukup senang.
Yap, Mario Stevano Aditya Haling. Kakak kelas yang selama ini aku sukai
sejak aku menginjak bangku SMP. Orangnya sedikit cuek tetapi lelaki itu
mempunyai otak yang sangat cemerlang. Sejak SMP, lelakiitu selalu
mendapatkan juara satu umum. Hebat sekali bukan?! Hal itu membuatku
sangat bangga dan tidak akan pernah menyesali perasaanku yang suka
padanya. Aku memang tidak salah pilih.
Tiba-tiba Rio berhenti melangkah. Aku pun mengikutinya untuk
menghentikan langkahku. Kutolehkan kepalaku untuk menatap wajahnya.
Kulihat ia tersenyum sambil menunjuk suatu arah dengan dagunya. Aku pun
mengikuti arah pandangku. Hei, ternyata sudah sampai didepan kelasku.
Ah, dia memang sungguh perhatian padaku sampai-sampai dia mengantarkanku
sampai kekelas. Mungkinkah dia juga menyukaiku? Kuharap seperti itu.
Sikapnya berbeda jika dia sedang bersamaku. Dia lebih memberikan
perhatiannya untukku. Tunggu, kalau begitu bolehkah aku mengharapkannya?
Mengharapkannya menjadi milikku.
“Thanks, Kak, udah nganter gue sampe kelas.” kataku sambil menyunggingkan sebuah senyum manis khusus untuknya.
Kulihat dia membalas senyumku kemudian mengusap puncak kepalaku.
Perlahan, Kak Rio mulai mendekatkan wajahnya kearahku. Astaga! Apa yang
akan dia lakukan?! Apa dia akan menciumku?! Hei, kita bisa menskipnya
dilain waktu aku sangat malu kalau harus melakukannya disini.
“Komedo loe cepet dibersihin tuh, udah numpuk…” bisiknya pelan.
Aku langsung membuka mataku. Yeah, tadi aku memejamkan mataku karena
tadi aku mengira Kak Rio akan menciumku. Aish, menyebalkan! Ternyata dia
sedang mengerjaiku. Kulihat Kak Rio menjauhkan wajahnya dariku sambil
tersenyum kecil. Oh, senyumnya itu sungguh kusukai sejak pertama kali
kubertemu dengannya. Senyumnya yang membuat siapa saja yang melihat
senyum itu seakan merasa terhinoptis karena membuat yang melihat ikutan
menjadi tersenyum juga.
Eh, apa katanya tadi?! Komedo?! Aish, memalukan! Kenapa aku tidak memperhatikannya sejak tadi. Sial.
***
Normal POV
Selama dalam proses pembelajaran, Ify sama sekali tidak
berkonsentrasi. Pikirannya melayang kemana-mana, bahkan ia sendiri tidak
tahu apa yang sedang ia pikirkan saat ini. Aren —Sahabat Ify sekaligus
teman sebangku Ify— bingung melihat Ify yang tumben-tumbennya seperti
itu. Berkali-kali Aren bertanya pada Ify apa yang terjadi pada gadis itu
tapi Ify selalu menjawab kalau dirinya tidak kenapa-kenapa. Sewaktu Ify
disuruh oleh seorang guru mengerjakan soal dipapan tulis, Ify sama
sekali tidak bisa menjawabnya. Alhasil, Ify mendapat hukuman untuk
belajar diluar. Saat itu juga, Ify baru menyadari sesuatu.
“Loe kenapa, Fy?! Kok tumben-tumbennya loe jadi kagak semangat itu?!
Ada masalah?!” tanya Ray. Muhammad Raynald Prasetya. Lelaki imut yang
satu ini juga sahabat Ify.
Ify menyuruput es teh yang ia pesan. Yap, Ify bersama Aren dan Ray
sedang berada dikantin sekolahnya. “Gue nggak kenapa-kenapa kok, Ray,
nggak usah ngekawatirin gue, loe bisa lihat sendiri kan gue baik-baik
aja.” kata Ify menjawab pertanyaan Ray.
Aren menaikkan alis sebelahnya. “Gue nggak yakin sama yang loe
omongin. Loe bohong kan?! Cerita sama kita kek, Fy, kalo loe lagi ada
masalah. Siapa tau kita bisa bantu loa untuk nyelesein masalah loe.”
tawar Ray.
“Ify, bener apa yang Ray bilang tadi. Terus kalo loe emang baik-baik
aja loe pasti nggak bakalan dikeluarin kayak tadi dan elo nggak mungkin
dong mendadak jadi pendiem gitu.” kata Aren menimpali.
Ify mendengus. “Huh, ya terserah kalian deh mau percaya apa nggak. Toh gue udah bilang yang sebenernya sama kalian…” balas Ify.
Aren memajukan bibirnya beberapa centi kedepan. “Loe ngambek nih
ceritanya,?! Yah, yah… Jangan dong, Fy.” kata Aren. Ray
mengangguk-angukkan kepalanya tanda setuju.
Tepat pada saat itu pesanan makanan mereka bertiga datang. Bakso.
Salah satu makanan kesukaan Ray dan Aren. Sambil memakan baksonya,
mereka kembali melanjutkan obrolan mereka yang sempat berhenti.
Ray memutuskan untuk memulainya lebih dulu. “Yaudah deh kalo emang
nggak mau cerita juga nggak apa-apa kok, Fy, kita juga nggak maksa. Ya
nggak, Ren?!” Ray menyenggol lengan Aren dengan sikutnya. Saat itu Aren
sedang sibuk makan bakso dan gara-gara Ray menyenggol lengannya, Aren
sedikit tersedak dan hal itu membuat Ray tertawa. “Makan serius amet
loe, Ren! Hahahaha…”
“Sialan loe, keselek nih gue!” kata Aren menoyor kepala Ray dan buru-buru menyuruput es tehnya.
Ify menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah kedua sahabatnya
itu. “Hmm, kalopun gue cerita sama kalian gue juga nggak tau apa yang
mau gue ceritain sama loe berdua, gue aja bingung.” kata Ify menjawab
pertanyaan Ray yang belum sempat Ify jawab tadi. Kemudian ia menatap
kedua sahabatnya yang sedang menatapnya bingung.
“Aneh loe, Fy!” kata Ray dan Aren dengan kompak.
***
Siang harinya, Ify memilih untuk tidur siang dikasurnya yang empuk
itu tetapi Ira menyuruhnya untuk berkumpul diruang tengah. Disana sudah
ada Cakka, Rio, Ira dan Saiful. Mereka sudah duduk manis disana menunggu
Ify. Begitu sampai disana, Ify membungkukkan badannya dan berkata mohon
maaf atas keterlambatannya. Setelah itu Ify memilih duduk disebelah Rio
tepat dihadapan Ira dan Saiful.
“Jadi begini, besok pagi Papa sama Mama berangkat ke Singapura, ada
urusan kerja disana. Papa harap kalian bisa menjaga rumah dengan baik.
Jaga Ify, jangan sampai kalian macam-macam sama Ify, pokoknya jangan
sampai bikin Ify kenapa-kenapa. Papa sama Mama disana cukup lama.
Sekitar tiga bulanan. Rio, Papa percaya sama kamu. Jagain adik-adik kamu
ya?!” kata Saiful memulai pembicaraan.
“Tiga bulan?! Lama banget sih, Pah?!” kata Cakka yang terlihat cukup kaget.
Saiful tersenyum. “Namanya juga kerja, Nak, kalau ingin sukses kenapa tidak?!” jawab Saiful santai.
“Oh iya, nanti biar Mama carikan pembantu untuk sementara.” sahut Ira.
Ify menoleh kearah Ira. “Buat apa, tante? Beres-beresin rumah? Masak?
Nggak usah deh, tante, biar Ify aja yang ngerjain itu semua. Ify bisa
kok…” kata Ify menawarkan.
Ira menggelengkan kepalanya dengan cepat dan mengibaskan tangannya
kekanan dan kekiri. “Jangan, Fy, biar tante cariin aja deh.” kata Ira.
“Nggak apa-apa, tante, kalo nyari pembantu sama aja pemborosan.
Mending uangnya ditabung, lagian Ify sama Cakka dan Kak Rio pasti bisa
kok ngurusin rumah.” kata Ify.
“Setuju sama Ify.” sahut Cakka sambil mengacungkan jempolnya.
“Yaudah, Mah, bener apa kata anak-anak. Lagian mereka kayaknya nggak
keberatan gitu kok. Ya, sekalian mereka bisa belajar jadi anak mandiri…”
kata Saiful.
Ira mengangguk bertanda kalau ia menyetujuinya. Selesai memberitahu
hal itu pada Cakka, Rio dan Ify, Saiful dan Ira langsung meninggalkan
ruang tengah dan menuju kamar untuk berkemas-kemas. Sedangkan Cakka
memilih menuju kamarnya untuk menghabiskan waktu tidur siangnya. Ia
merasa sudah benar-benar sangat ngantuk.
“Gue kekamar dulu, ya?! Ngantuk banget nih.” kata Cakka pada Rio dan Ify.
Rio dan Ify menatap Cakka sambil menganggukkan kepalanya. Melihat
persetujuan dari Rio dan Ify, Cakka langsung berlari-lari kecil menuju
kamarnya dilantai dua. Setelah Cakka sudah tidak terlihat lagi, Rio
beranjak dari tempatnya dan memilih untuk keluar. Ify memperhatikan Rio
yang keluar rumah. Iseng, Ify mengikuti Rio dari belakang. Penasaran
dengan apa yang akan dilakukan oleh lelaki hitam manis itu.
Ify melihat Rio memasuki Mobil Toyota Yaris miliik lelaki itu. Ify
mendekati Rio dan mengetuk jendela mobil. “Mau kemana, Kak?” tanya Ify.
Rio menurunkan jendela mobil dan menatap Ify. “Kerumah temen. Mau ikut?! Ayo masuk…” ajak Rio pada Ify.
“Boleh nih gue ikut?!” tanya Ify. Nada bicaranya terdengar sangat senang.
***
Ify POV
Aku memperhatikan Kak Rio yang memasuki Mobil Toyota Yaris. Kak Rio
mau pergi? Pergi kemana? Apakah Kak Rio akan pergi kerumah Shilla? Tidak
tahu apa yang merasuki saat itu, tiba-tiba aku berjalan mendekati arah
Mobil milik Kak Rio dan mengetuk jendela mobilnya. Aku menyadari
tingkahku yang seperti seorang gadis genit yang ingin tahu saja urusan
orang lain. Tanpa sadar tiba-tiba aku menyuarakan suara. “Mau kemana,
Kak?” tanyaku pada Kak Rio.
Beberapa saat, aku melihat Kak Rio menurunkan jendela mobilnya. Aku
melihat ia sedang menatapku sambil tersenyum manis. Sangat manis. Oh,
aku sangat menyukai caranya ketika sedang tersenyum. “Kerumah temen. Mau
ikut?! Ayo masuk…” kata Kak Rio mengajakku.
“Boleh nih gue ikut?!” kataku. Senang sekali rasanya mendengar Kak Rio mengajakku keluar. Ya, daripada dirumah. Bosan.
“Masuk.” katanya sambil menunjuk kursi disebelahnya dengan dagu. Kak
Rio menyuruhku masuk kedalam mobil. Tak perlu berpikir panjang, aku
langsung masuk kedalam mobilnya. Kulihat ia sedang tersenyum kearahku.
Hei, kau tahu? Aku selalu terpesona melihat lelaki hitam manis itu
tersenyum. Menurutku senyumnya berbeda dari orang-orang yang selama ini
kutemui. Senyumnya selalu membuat setiap orang yang melihat seakan
merasakan sebuah kehangatan didalamnya. Tunggu, apa aku ini terlalu
berlebihan? Ah, tidak! Aku hanya mengatakan yang sebenarnya tentang Kak
Rio.
Kak Rio mulai menjalankan mobilnya kesuatu tempat yang tidak aku
kenali. Sudah lama sekali aku meninggalkan Bandung dan aku sudah
benar-benar lupa bagaimana pemandangan kota ini sewaktu aku masih berada
disini. Mungkin sudah banyak perubahan. Ya, sepertinya begitu. Selama
perjalanan, aku dan Kak Rio saling diam. Entah siapa yang memulai untuk
memilih berdiam-diaman seperti ini, aku menjadi merasa kurang nyaman
dengan suasana seperti ini. Kak Rio benar-benar sangat dinggin. Seperti
sekarang, aku dicuekin oleh Kak Rio. Huh. Tiba-tiba, aku teringat Cakka
saat aku dengan lelaki itu berangkat sekolah bersama. Pantas saja lelaku
itu kesal karena ternyata dicuekin itu adalah hal yang paling
menyebalkan.
“Kenapa diam?!” aku mendengar sebuah suara lembut telah menajakku
berbicara. Aku tahu, peimilik suara itu adalah Kak Rio. Ya, siapa lagi
kalau bukan dia? Jelas-jelas didalam mobilnya sekarang hanya ada aku dan
dia saja. Aku senang karena Kak Rio mengajakku berbicara sampai-sampai
aku lupa untuk merespon perkataannya tadi.
“Kenapa diam?!” kudengar ia mengulangi perkataannya yang tadi. Aku baru menyadari kalau aku belum sempat menjawab pertanyaannya.
Aku melirik kearah Kak Rio sekilas. Aku dapat melihat matanya yang
sedang menatap kearahku. “Nggak apa-apa. Loe diem sih, Kak, ya gue kan
jadi ikut-ikutan diem.” jawabku sambil tersenyum padanya.
Ia membalas senyumku kemudian kembali fokus pada jalan didepannya. Ia
harus berkonsentrasi menyetir mobil, karena kalau tidak pasti akan kena
tilang oleh polisi karena tidak mengemudi mobil dengan benar.
Beberapa saat, keheningan itu kembali tercipta antara aku dengan Kak
Rio. Sungguh, aku sangat membenci hal seperti ini. Aku berharap dalam
hati agar cepat sampai kerumah temen Kak Rio itu. Temen? Tunggu,
kira-kira teman Kak Rio yang mana? Apa aku pernah bertemu dengan teman
Kak Rio itu? Atau mungkin Kak Rio sedang menuju rumah Shilla?!
Shilla…
Nama itu. Nama pemilik seorang gadis cantik yang sepertinya sangat
dekat dengan Rio. Aku memperhatikan mereka sejak kemarin yang terlihat
sangat dekat. Apa mereka pacaran?! Tapi kalau mereka pacaran kenapa
kemarin saat Kak Rio memperkenalkanku dengan Shilla, Kak Rio mengatakan
bahwa Shilla adalah temannya. Atau mereka masih malu untuk mengakui
statusnya yang sedang berpacaran? Mungkin saja. Tapi…
“Sudah sampe, turun yuk!” suara Kak Rio menyadarkanku dari lamunanku yang sudah kemana-kemana.
Aku menoleh kearah Kak Rio kemudian menatap kearah sekelilingku.
Dimana ini? Kenapa Kak Rio mengajakku kemari? Tempat ini sangat berbeda
jauh dengan yang kupikirkan tadi. Awalnya aku berpikir Kak Rio akan
mengajakku kerumah temannya yang dapat kupastikan temannya itu tak beda
jauh darinya yang termasuk dalam golongan orang-orang kaya. Tapi
ternyata Kak Rio mengajakku kesebuah sungai yang sangat kumuh dimana
pada pinggiran sungai itu terdapat beberapa rumah kecil yang terbuat
dari kayu. Aku melihat beberapa anak kecil berlari kesana kemari sambil
membawa sebuah kaleng yang berisi uang. Aku yakin mereka pasti anak-anak
yang bekerja sebagai pengamen. Otakku berpikir, memangnya Kak Rio punya
teman didaerah sini? Sepertinya aku sama sekali tidak melihat ada
bangunan besar dan mewah didaerah sini. Apa Kak Rio berteman dengan para
pengamen itu? Kagum sekali aku padanya. Ternyata Kak Rio berteman tidak
memilih-milih.
“Mereka temen gue.” kata Kak Rio sambil menunjuk beberapa orang yang sedang didepan sebuah rumah kayu kecil sambil bergurau.
Aku menaikkan alis sebelahku. Benar kan apa yang kupikirkan barusan?!
Kak Rio membuatku semakin kagum. “Gue kira loe temenan sama orang
bakalan milih-milih. Ternyata gue salah. Bangga deh gue punya temen
kayak loe, Kak.” kataku berkomentar tentang dirinya.
Ia tersenyum padaku. Kemudian ia mengusap puncuk kepalaku lembut. Ia
sama sekali tidak merespon perkataan barusan. Ah, tapi aku senang dengan
perlakuannya padaku barusan.
“Siang semua…” sapa Kak Rio kepada orang-orang yang tadi ditunjukkan oleh Rio.
Aku menoleh kearah mereka dan melihat wajah mereka satu-persatu.
Wajah mereka masih terlihat muda. Mungkin usianya sama denganku dan Kak
Rio.
“Kak Rio…” seru beberapa orang itu sambil menghampiri Kak Rio
kemudian memeluk Rio. Tapi hanya ada satu orang yang tidak melakukan
itu, orang itu hanya tersenyum pada Kak Rio. Aku memperhatikannya sambil
menyipitkan mata. Tunggu, sepertinya orang itu tidak asing lagi
dimataku. Tapi dia siapa?! Kulihat dia menoleh kearahku kemudian ia
memasang wajah terkejut. Hei, apa kita pernah bertemu sebelumnya? Aku
berpikir keras, berusaha untuk mengingat siapa orang itu.
“Mbak Ify?” sapa orang itu padaku. Wajahnya terlihat ragu.
Aku terkejut. Darimana dia tahu namaku?! Sepertinya kami memang
pernah bertemu. Tidak mungkin dia tahu namaku kalau aku dan dia memang
tidak pernah bertemu. AKu kembali berpikir untuk mengingat orang ini,
tapi semakin aku memikirkannya semakin membuat kepalaku menjadi pusing.
Aish…
“Kalian saling kenal?!” Kak Rio bertanya padaku dan orang itu. Aku menatap orang itu, meminta penjelasan.
“Kita pernah bertemu di Surabaya waktu orangtua Mbak kecelakaan. Saya yang menghubungi Mbak saat itu.” jelas orang itu.
Pernah bertemu di Subaya?! Mama dan Papa kecelakaan?! Dia yang
menghubungiku?! Tunggu. Mungkinkah dia… A, Ag, Agni! Yeah, Agni! “Agni.
Apa kabar?!” sapaku padanya sambil tersenyum. “Nggak nyangka deh kita
bakalan ketemu lagi. Kok loe bisa di Bandung?!” lanjutku bertanya
padanya.
“Waktu itu saya ikut Bapak ke Surabaya karena Bapak ada kerjaan.
Bapak saya nggak mampu mengerjakannya sendirian jadi saya membantu Bapak
saya kesana. Waktu kecelakaan Bapak saya yang menelpon Mbak tapi yang
menjelaskan saya.” jelas orang bernama Agni itu.
Aku mengangguk-anggukkan kepalaku tanda mengerti. “Oh, gitu ya.” gumamku.
“Aku baru tahu kalau Mbak Ify ini ternyata kenal sama Rio…” kata Agni.
“Agni, Ify lebih muda dua tahun dari kamu.” kata Rio menimpali.
Agni terkekeh. “Oh, hahaha…” kemudian tertawa.
“Pada ngomongin apa sih?! Aku nggak mudeng.” sahut seorang lelaki berwajah imut.
“Ini Ify, temen gue.” kata Kak Rio pada lelaki imut itu.
Ia tersenyum lebar padaku. “Aku Deva. Mbak Ify cantik deh…” katanya.
Oh, namanya Deva. Lucu sekali lelaki ini, aku sampai gemas melihatnya.
“Aku Ozy, Mbak…” kata orang lainnya, ia membungkukkan badannya.
“Aku Oik dan yang ini Acha.” kata seorang gadis cantik sambil menunjuk teman disebelahnya yang tak kalah cantik dari gadis itu.
“Senang bertemu kalian semua.” kataku pada mereka.
***
Normal POV
Malam harinya, dalam kediaman rumah Saiful yang sedang makan malam,
Saiful kembali memberitahu suatu hal pada anak-anaknya dan juga Ify.
“Besok Sivia juga pulang ke Indonesia. Jadi Ify ada temennya disini.”
kata Saiful memulai.
“Sivia?!” Ify balik bertanya.
Cakka menoleh kearah Ify, membalas perkataan Ify barusan. “Sivia itu
sepupu gue, dia chubby, putih, cantik lah…” kata Cakka pada Ify.
“Dia nginep disini juga Om, Tante?!” tanya Ify lagi.
“Iya, tadi tante udah nelpon dia. Tante nyuruh dia nginep disini biar kamu ada temennya.” jawab Ira.
“Makasih Om, Tante…” kata Ify sambil tersenyum lebar.
Selesai makan malam, Cakka mengajak Ify untuk menonton TV bersama.
Awalnya Cakka juga mengajak Rio tapi lelaki itu menolak dengan halus
karena ia sudah mempunyai alasan untuk belajar. Cakka sampai heran,
kakaknya itu hobi sekali belajar?! Melihat buku pelajaran saja Cakka
ogah-ogahan. Tiba-tiba terdenar suara ketukan pintu. Malam-malam siapa
yang sedang bertamu kerumahnya?! Cakka bergegas membukakan pintu.
Ternyata yang datang adalah Alvin. Seorang lelaki bermata sipit dan
mempunyai wajah yang sangat tampan. Alvin ini adalah teman Rio.
“Kak Rio lagi belajar tuh, mending loe pulang deh, Kak, kagak betah kan loe dicuekin ama dia?!” kata Cakka.
“Ngusir gue nih ceritanya?!” sindir Alvin. Ia melihat Cakka nyengir
kearahnya. “Ogah ah, boring dirumah. Gue temenin loe aja deh, loe lagi
ngapain sih?!” lanjut Alvin.
“Idih, masih normal gue. Kagak mau deh gue ditemenin ama loe, Kak, lagian gue udah ada yan nemenin tuh, hehehe…” balas Cakka.
“Kata loe Rio lagi belajar.” kata Alvin sambil menaikkan sebelah alisnya tanda bingung.
“Ya yang nemenin gue itu bukan Kak Rio, tapi Ify?!” jawab Cakka.
“Ify?!” tanya Alvin. “Cewek yang biasanya berangkat sama loe itu?!
Dia siapa sih?! Pacar loe ya, Kka?!” lanjut Alvin kebali bertanya.
“Maunya sih gue bilang ‘iya’ ke elo. Tapi faktanya ‘bukan’, hehehe…” jawab Cakka.
“Terus kalo bukan ngapain dia ngapelin loe?” tanya Alvin lagi.
“Dia kan emang tinggal disini, Kak, hedeh.. Emang Kak Rio nggak ngasih tau loe?!” jawab Cakka.
“Ha? Tinggal disini? Kok bisa sih?” tanya Alvin lagi.
“Perasaan dari tadi loe nanya-nanya ue mulu deh, Kak, selese gue
jawab pertanyaan loe, loe malah tanya lagi ama gue…” balas Cakka.
“Ya nggak apa-apa dong, Kka, udah yok kenalin gue sama si Ify itu…” katta Alvin sambil menggeret tangan Cakka.
Cakka melepaskan tanggan Alvin. “Oke, asalkan loe jangan naksir sama dia, hahaha…” kata Cakka menyetujui.
Cakka mengajak Alvin ketempat Ify yang sedang asyik menonton TV.
Kemudian sesuai yang Cakka setujui tadi, Cakka memperkenalkan Alvin pada
Ify begitupun sebaliknya. Mereka bertiga akhirnya mengobrol dengan
seru. Ify merasa nyaman dengan kehadiran Alvin disana. Alvin adalah
orang yang menyenangkan. Sayang sekali, Ify sama sekali tidak tertarik
dengan Alvin. Ia senang karena Ify merasa ia mendapatkan banyak teman.
Tiba-tiba Cakka menyela obrolan Ify dan Alvin dengan memberitahu Alvin
kalau sepupunya dari Paris akan datang ke Indonesia.
“Kak, besok sepupu gue dari Paris dateng kesini lho?!” kata Cakka pada Alvin.
“Terus?!” tanya Alvin yang sama sekali tidak minat mendengar cerita Cakka.
“Sepupu gue tuh cantik banget. Gue aja pernah naksir sama dia, hehehe…” kata Cakka berbicara jujur.
“Mukanya pasti kayak orang-orang bule gitu yah?!” Alvin bertanya.
“Nggak kok, orangnya biasa aja. Ya asli Indonesia lah mukanya, cantik
deh pokoknya. Gue jamin kalo loe ketemu sama dia loe pasti bakalan
naksir…” kata Cakka.
“Halah, gue mah males sama yang namanya cewek. Apalagi naksir gitu, bikin pusing!” kata Alvin.
“Lha kok gitu? Emangnya loe nggak pernah jatuh cinta, Kak?!” kali ini giliran Ify yang bertanya.
Alvin nyengir dan menggelengkan kepalanya. “Kagak. Gue sendiri aja
kagak tau apa itu cinta?!” jawab Alvin sambil menggaruk-garukkan
kepalanya yang sama sekali tidak gatal.
“Huuu, payah loe!” sahut Cakka dan Ify barengan.
“Eh, Rio tuh!” kata Alvin sambil menunjuk Rio yang mendatangi mereka.
***
Rio POV
Aku mendengar keramaian dibawah. Suara orang sedang mengobrol dan
bercanda tawa. Aku mendengar suara orang lain disana. Seperti suara
Alvin. Mungkinkah orang itu Alvin?! Sedang apa dia kemari? Baiklah,
lebih baik aku akhiri kegiatanku yang sedang belajar ini dan menghampiri
sumber keramaian itu. Aku keluar dari kamar dan berjalan menuju ruang
tengah. Nah, benar kan?! Ternyata memang Alvin.
“Kagak. Gue sendiri aja kagak tau apa itu cinta?!” Aku mendengar Alvin mengeluarkan suara sambil menggaruk-garukkan kepalanya.
Mereka sedang membicarakan apa ya?! Kenapa aku begitu sangat
penasaran?! Cinta. Ya, mereka sedang berbicara tentang cinta. Mungkinkah
Cakka dan Ify bertanya pada Alvin apakah lelaki itu pernah pacaran atau
mungkin jatuh cinta? Ya, sepertinya mendekati kata-kata itu. Tiba-tiba
terdengar kembali suara Cakka dan Ify bersamaan. Wah, kompak sekali
mereka.
“Huuu, payah loe!”
“Eh, Rio tuh!” Alvin menujukku, ternyata ia menyadari kedatanganku.
Aku tersenyum pada mereka semua. Kemudian aku berpikir untuk memilih
duduk disebelah Ify. Gadis itu menggeser posisi duduknya, memberiku
tempat untuk duduk disebelahnya. Ah, sepertinya dia bisa membaca
pikiranku. Aku tersenyum lagi padanya.
“Seru banget kayaknya. Ngapain sih?!” tanyaku kepada siapa saja yang mau menjawab.
“Cuma ngobrol-ngobrol aja, Bro, lengkap deh orangnya kalo loe dateng.” sahut Alvin.
Aku tertawa kecil. Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang aneh. Astaga!
Perasaan itu kembali muncul, perasaan apa ini?! Katakan padaku! Jangan
hanya bisa muncul secara tiba-tiba saja! Beri aku petunjuk untuk
mengetahui perasaan ini. Hei, perasaan ini bisa membuatku gila. Perasaan
ini sangat aneh. Yap! Sangat aneh! Disisi lain aku juga senang bisa
merasakan hal seperti ini. Perasaan itu selalu muncul beberapa hari ini.
Entah, aku tidak tahu kenapa. Seperti yang kubilang tadi kalau rasanya
sangatlah aneh, kadang membuatku nyaman kadang membuatku sesak. Apa yang
sebenarnya terjadi? Kenapa aku bisa merasakan hal ini? Aneh!
“Ngomong kek, Kak, jangan diem aja.” Ify menyenggol lenganku.
Aku menoleh kearah Ify yang sedang menatapku. Kualihkan pandanganku
dari Ify kearah Rio dan Alvin. Mereka berdua juga sedang menatapku.
Ah, sial! Perasaan itu muncul semakin besar. Sebenarnya apa ini?
Aish, aku bisa gila memikirkannya. Padahal aku yang merasakannya tapi
aku sendiri tidak tahu apa yang sedang aku rasakan. Aish…
“Sorry, deh. Vin, ngapain loe malem-malem kesini?” tanyaku padanya.
“Main aja sih, boring dirumah…” jawab Alvin. Ia menatapku. “Loe udah
selese belajar? Tumben jam segini udah selese? Biasanya sampe jam dua
belas malem pun loe masih belajar.” lanjut Alvin.
Aku hanya menanggapi perkataannya dengan senyuman kecil. Perasaan itu
kembali muncul semakin besar saat aku melihat Ify kembali berbicara
bersama Cakka dan Alvin.
Katakan padaku apa yang sebenarnya terjadi?! Kenapa aku merasakan hal seperti ini?!
***
To Be Continued
0 komentar:
Posting Komentar