Alvin POV
Aku dengar sepupunya Cakka dan Rio akan datang hari ini juga. Wah,
kenapa rasanya aku sangat penasaran dengan sosok sepupu mereka yang
Cakka bilang kalau sepupunya itu sangat cantik bahkan bisa membuat orang
yang elihat sosoknya langsung terpesona. Huh, mungkin saja itu hanya
omong kosong Cakka agar setiap orang yang mendengarkan omongannya merasa
kagum pada Cakka karena memiliki sepupu yang sangat cantik.
Memangnya
secantik apa sih? Bagaimana kalau yang Cakka bilang itu tidak sesuai?
Ah, tapi tetap saja aku selalu penasaran. Bahkan Cakka sudah mengirimkan
sebuah pesan singkat padaku yang mengatakan bahwa aku harus segera
kerumahnya karena sepupunya itu sudah datang.
Tunggu, kalau kupikir-pikir kenapa Cakka seperti ingin membuatku
tertarik pada sepupunya itu? Cakka terlihat seperti ingin mendekatkanku
dengan sepupunya yang bernama Sivia itu. Apa ini hanya perasaanku saja
atau aku yang terlalu ke-GR-an? Kulirik mataku kearah ponselku ketika
benda itu kembali bergetar. Ada satu pesan masuk, ternyata dari Cakka.
Aku langsung membuka pesan darinya.
Kak, ntar malem loe kudu kerumah gue! Biasa lah nyambut kedatangan sepupu gue yang cantik :p
Aku tersenyum kecil setelah selesai membaca pesan dari Cakka lalu
tanganku mulai bergerak mengetik pada keypad ponselku untuk membalas
pesan dari Cakka. Aku membalas pesan Cakka dengan bertanya jam berapa
aku harus kesana. Tak butuh waktu lama, tidak sampai satu menit Cakka
sudah membalasnya. Cepat sekali lelaki ini membalas pesanku.
Jam tujuh ada deh. Kak! Kan nggak terlalu kemaleman sama kesorean.
Aku langsung menutup ponsel setelah membaca pesan dari Cakka, tak ada
niat sedikit pun untuk membalas pesannya. Dalam hati, kadang aku sering
bertanya-tanya kenapa selama ini aku tidak pernah tertarik dengan
seorang gadis? Tidak! Dulu aku pernah tertarik pada seorang gadis, tapi
itu dulu sewaktu aku masih kelas satu SMP dan saat itu aku masih kecil.
Aku pernah bertemu dengannya dua kali. Hanya bertemu. Aku tidak
mengenalnya tapi aku masih ingat ciri-cirinya dan setelah itu aku tidak
pernah lagi bertemu dengannya. Yang aku tahu tentang dia saat itu, dalam
dua kali aku bertemu dengannya dia selalu memakai segaram dari SMP lain
yang kebetulan sekolahnya tidak jauh dari sekolahku. Aku pernah
menunggu gadis itu didepan sekolahnya tapi aku tidak pernah bertemu
dengannya lagi.
Aku menggelengkan kepalaku, tersadar dari lamunanku yang memikirkan
tentang gadis itu. Kemudian aku kembali melamunkannya, aku tersenyum
ketika aku mengingat bagaimana kejadian saat aku bertemu dengannya.
Bahkan sampai sekarang ia masih ingat bagaimana bentuk wajahnya.
Rambutnya yang panjang dan lurus, kulitnya putih, memiliki lesung pipit
sehingga membuat wajahnya terlihat sangat manis, matanya sedikit sipit
sama seperti mataku. Seringkali gadis itu muncul dalam mimpiku. Kadang
aku juga sering bertanya dalam benakku akankah aku bisa bertemu
dengannya lagi? Kuharap.
Jam berapa sekarang? Aku melirikkan mataku kearah jam dinding. Oh,
baru jam dua siang. Hoam, kurasa mataku mulai memberat. Baiklah, mungkin
sebaiknya aku tidur siang dulu, begitu bangun aku langsung bersiap-siap
kerumah Cakka.
***
Aku sudah siap, kulihat diriku dikaca sudah terlihat cukup.. Eum,
tampan! Yap, sekarang tingal berangkat saja kerumahnya Cakka. Semoga aku
tidak telat datang. Tidak! Aku memang tidak telat datang bahkan aku
datang lebih awal dari yang Cakka bilang. Sekarang baru jam enam lewat
lima belas menit. Apa aku terlalu cepat datang? Sudahlah biarkan saja.
Aku menuju kamar Mama dan Papa, berpamitan kepada mereka. “Mah, Pah, Alvin kerumah Cakka ya?!” pamit Alvin.
“Aduh, anak Mama ganteng banget malem ini?! Ada acara apaan sih, Vin?!” tanya Mama padaku.
Aku tertawa kecil mendengar pujian dari Mama yang mengatakan bahwa
malam ini aku terlihat tampan. “Sepupunya Cakka sama Rio dateng dari
Paris, katanya malem ini mau nyambut kedatengannya gitu.” jawabku pada
Mama.
“Yaudah, pergi deh sana. Tapi masak jam segini?! Masih sore banget lho, Vin?!” kata Papa.
Aku menoleh kearah Papa. “Nggak apa-apa deh, Pah. Alvin penasaran sih
sama sepupunya Rio.” jawabku tanpa sadar. Eh? Apa kataku tadi?
Penasaran sama sepupunya Rio? Perasaan bukan itu yang mendorongku agar
aku datang lebih awal. Kenapa tiba-tiba aku berbicara seperti ini?
Aish..
“Cewek apa cowok, Vin?” tanya Papa, sepertinya Papa sedang menggodaku. Menyebalkan!
“Cewek.” jawabku singkat.
“Wah, wah, anak Mama udah gede ternyata.” goda Mama padaku.
Aku mendengus. “Udah dari dulu kali, Mah. Yaudah, Alvin berangkat.” pamitku.
Aku keluar dari rumah, menuju garasi dan mengambil motor Ninja
milikku. Kemudian langsung melajukan motorku menuju rumah Cakka dan Rio
yang cukup jauh dari rumahku dengan kecepatan standar. Sekitar lima
belas menit aku sudah sampai didepan rumah mereka —Cakka dan Rio
maksudku— Aku memarkirkan motor dibawah pohon besar pada halaman depan
rumah mereka yang luas. Selesai melepaskan helm fullface milikku aku
langsung berjalan masuk kerumahnya dan mengetuk pintu rumahnya. Beberapa
saat kemudian, Ify membukakan pintu dan menyambut kedatanganku. Aku
tertawa kecil melihat tingkahnya.
“Ada Shilla, Fy?” tanyaku pada Ify. Baru saja aku melihat seorang
gadis berambut panjang ikal memasuki kamar Rio yang terletak dilantai
dua.
Ify mengangguk. Aku lihat senyumnya yang tadi mengembang kini
menghilang. “Iya, Kak, tuh diatas kayaknya.” kata Ify sambil menunjuk
kamar Rio.
Aku mengangguk-anggukkan kepalaku. Baru saja aku mau mau membalas
perkataan Ify ternyata sudah ada seseorang yang mendahuluinya. “Kak
Alvin! Loe dateng cepet amet?! Hahaha…” aku menoleh kearah sumber suara.
Aku kenal sekali suara itu adalah suara Cakka. Nah, benar kan?! Kulihat
Cakka menghampiriku kemudian menepuk-nepukkan pundakku.
“Ayo, Kak, gue kenalin sama sepupu gue. Shilla sama Ify udah kenalan
tuh tinggal loe doang yang belom! Ya nggak, Fy?” kata Cakka sambil
manarik lenganku. Kulihat, Ify hanya tersenyum sambil mengangguk-angguk
kemudian ia meninggalkanku dan Cakka.
Aku menatap Cakka kesal. “Iye, iye, kagak usah narik-narik gue deh.” kataku sambil melepaskan tangan Cakka dari lenganku.
Cakka tertawa. “Eh, itu dia!” seru Cakka sambil menunjuk kearah seseorang. “Sivia!”
Aku menoleh kearah yang ditunjukkan oleh Cakka. Seorang gadis menoleh
kearah Cakka dan aku. Benar yang Cakka katakan. Dia cantik bahkan
sangat cantik. Lebih cantik dari yang kubayangkan. Wajahnya sangat
manis, gadis itu memiliki lesung pipit dan matanya agak sipit dan
rambutnya pendek serta memiliki kulit yang mulus dan putih. Tunggu,
seperti ada yang aneh!
“Vi, ini Kak Alvin, temennya Kak Rio.”
***
Cakka POV
Aku merasa haus dan aku memutuskan untuk kedapur tapi pandanganku
terhenti ketika aku melihat Kak Alvin sedang mengobrol bersama Ify.
Ajaib! Rasa hausku tia-tiba hilang. Aku menghampiri Kak Alvin dengan
semangat. “Kak Alvin! Loe dateng cepet amet?! Hahaha…” kataku
menghampirinya dan menepuk-nepuk pundaknya pelan.
“Ayo, Kak, gue kenalin sama sepupu gue. Shilla sama Ify udah kenalan
tuh tinggal loe doang yang belom! Ya nggak, Fy?” kataku. Ify
menganggukkan kepalanya yang menandakan bahwa ucapanku barusan benar
kemudian dia meninggalkanku dan Kak Alvin. Yah, kenapa dia pergi?
Mungkin sedang bersiap-siap. Karena tinggal aku dan Kak Alvin disana aku
langsung menarik lengan Kak Alvin untuk memperkenalkan Kak Alvin pada
Sivia.
Mungkin kalian bertanya kenapa aku ingin sekali mendekatkan Kak Alvin
dengan Sivia. Yap, jawabannya adalah karena aku tahu sepupu yang cantik
itu dulunya pernah berkata padaku kalau dia menyukai Kak Alvin, dulu
sewaktu Sivia belum pindah ke Paris. Kesempatan bagus! Mumpung Sivia
lagi berada di Indonesia aku akan berusaha mendekatkan mereka. Siapa
tahu saja perasaan Sivia pada Kak Alvin yang dulu kembali tumbuh. Sivia
dan Kak Alvin memang tidak saling kenal, tapi Sivia pernah bercerita
padaku kalau dia melihat Kak Rio bersama seorang lelaki berkulit putih
dan tampan. Siapa lagi kalau bukan Kak Alvin?! Saat itu aku tidak
terlalu yakin kalau Kak Alvinlah yang Sivia maksud sampai akhirnya aku
menunjukkan photo Kak Alvin pada Sivia dan Sivia mengangguk-angguk
membenarkan dan saat itu pula Sivia memintaku untuk mendekatkannya
dengan Kak Alvin namun sayangnya ia harus segera pindah ke Paris.
Sekarang aku akan memenuhi permintaan Sivia yang dulu, yang ingin dekat
dengan Kak Alvin. Kuharap rencanaku akan sukses. Ya, semoga saja.
“Iye, iye, kagak usah narik-narik gue deh.” aku menatap Kak Alvin
yang sedang menatapku dengan kesal. Ia melepaskan tanganku yang menarik
lengannya.
Aku tertawa. Kemudian pandanganku berhenti pada sosok yang ingin
kukenalkan dengan Kak Alvin. Yeah, siapa lagi kalau bukan Sivia Azizah.
“Eh, itu dia!” kataku sambil menunjuk kearah Sivia.
“Sivia!” aku memanggil Sivia yang hendak masuk kedalam kamarnya.
Sivia menoleh kearahku dan Kak Alvin. Beberapa saat aku melihat Kak
Alvin dan Sivia bertatapan cukup lama. Yeah, sepertinya tidak susah
mendekatkan mereka. Aku melihat kearah Sivia, raut wajahnya susah untuk
kuartikan. Kulirik kearah sampingku yang disana sedang berdiri Kak
Alvin. Kak Alvin juga sedang menatap Sivia dengan tatapan yang susah
diartikan juga. Aish, aku kan jadi tidak bisa membaca pikiran mereka
melalui tatapan itu. Tapi sepertinya mereka mulai saling terpesona satu
sama lain deh. Apalagi malam ini Sivia terlihat sangat cantik begitupun
Kak Alvin. Eits, tapi aku masih normal ya! Jangan mengira aku tidak
normal hanya karena memuji Kak Alvin tampan malam ini.
“Vi, ini Kak Alvin, temennya Kak Rio.” aku menyadarkan mereka dari
tatapan mereka yang semakin mendalam. Aku ini menganggu saja! Biarkan
sajalah, menganggu mereka ada enaknya juga.
“Oh, hai, Kak?!” sapa Sivia pada Kak Alvin.
“H, Hai?!” balas Kak Alvin.
Aku menahan tawa melihat Kak Alvin menjadi gagap begitu ketika berbicara. Kurasa rencanaku akan berhasil.
***
Normal POV
Malam itu, Cakka mempunyai rencana untuk mengajak berjalan-jalan.
Kebetulan malam ini adalah malam minggu, pasti membuat suasananya
semakin bertambah seru. Mereka semua duduk diruang tamu. Disana ada Rio,
Ify, Cakka, Alvin, Sivia dan Shilla. Mereka sedang berdiskusi
membicarakan tempat yan cocok untuk mereka kunjungi malam ini. Kemudian
Rio lebih enak jika malam minggu seperti ini mereka berjalan menuju
bukit kota, dimana dibukit itu mereka dapat melihat keindahan kota
Bandung dari atas bukit. Apalagi cuaca malam ini sangat mendukung karena
langit tidak terlihat mendung sedikitpun dan malah menampakkan
bintang-bintang yang bertaburan diatas sana dengan indah dan ditemani
oleh terannya bulan purnama.
“Yaudah kita kesana aja deh!” kata Ify yang terlihat paling semangat.
“Kak Rio, loe sama Shilla?!” tanya Cakka kepada Rio.
Rio menatap Cakka dan Ify bergantian. Tatapannya terlihat ragu.
Tiba-tiba Shilla merangkul lengannya dan Rio sendiri hanya tersenyum
tipis, sudah biasa Shilla melakukan hal itu padanya. “Ya.” jawab Rio
akhirnya tapi suaranya terdengar berat seperti seorang yang sedang
terpaksa melakukan suatu hal.
Cakka tersenyum lebar. “Berarti gue sama Ify, dong?!” kata Cakka
senang dan tatapannya berhenti pada Alvin. “Kak Alvin loe sama Sivia
ya?!” lanjut Cakka sambil mengedipkan sebelah matanya pada Alvin.
Alvin menatap jijik kearah Cakka. “Idih, genit banget sih loe, Kka?!
Untung gue kagak punya sodara kayak loe, kalo punya bisa-bisa gue ikutan
sedeng kayak loe!” kata Alvin.
Cakka tertawa. “Oke, berarti gue sama Ify, Kak Rio sama Shilla, Kak Alvin sama Sivia. Ayo berangkat sekarang aja!” kata Cakka.
Keenam orang itu keluar dari rumah Rio dan Cakka. Ketiga lelaki
semuanya —Rio, Cakka dan Alvin— mengambil motor mereka masing-masing dan
ketiga gadis —Ify, Sivia dan Shilla— langsung menaiki motor pasangan
yang sudah ditentukan (?) kemudian setelah memastikan siap mereka
langgsung berangkat ketempat tujuan.
***
Alvin – Sivia
Selama dalam perjalanan, Alvin dan Sivia saling diam. Mungkin karena
mereka masih belum kenal satu sama lain. Alvin yang sejak tadi tidak
betah karena harus diam-diaman seperti itu langsung memutuskan untuk
mengajak Sivia berbicara terlebih dahulu. Ia menatap pantulan wajah
Sivia melalui kaca spion motornya.
“Sivia?” Alvin memanggil nama Sivia.
“Iya, Kak?” balas Sivia.
“Kok loe diem aja sih? Ajakin gue ngobrol kek.” kata Alvin.
Sivia tertawa kecil. “Tadinya sih gue juga mau gitu.” jawab Sivia.
“Terus kenapa gak loe lakuin?” tanya Alvin penasaran.
“Loe aja keliatannya ogah-ogahan gitu ngobrol ama gue yaudah nggak
gue ajak ngobrol deh elo. Lagian gue juga gengsi lah ngajakin loe
ngobrol duluan ntar dikira sok kenal lagi.” jawab Sivia jujur.
“Jujur amat loe jadi cewek, hahaha…” kata Alvin sambil tertawa.
“Nggak apa-apa dong! Dari pada boong nambah dosa, ya nggak?” balas Sivia.
“Iya juga sih.” kata Alvin membenarkan apa yan sivia bicarakan barusan.
Obrolan mereka terus berlanjut. Mereka saling bertanya satu sama lain
dari kehidupan mereka sewaktu masih kecil hingga mereka beranjak
dewasa, menanyakan makanan kesukaan dan makanan yang palin tidak
disukai, warna favorite, kebiasaan yang sering dilakukan, sifat mereka
menurut orang yang mengenalnya dengan dekat dan masih banyak hal-hal
lain yang mereka bicarakan. Alvin merasa nyaman mengobrol dengan Sivia
begitupun juga dengan Sivia yang nyaman mengobrol dengan Alvin.
***
Ify – Cakka
Cakka melirik Ify melalui kaca spion motornya, Cakka melihat gadis
itu sama sekali tidak bersemangat seperti tadi. Wajahnya tidak ceria,
yan ditampakkan hanyalah wajahnya yang gelisah. Ada apa dengan gadis
itu? Apa yang terjadi padanya? Cakka menarik tangan Ify keperutnya
dengan beralasan bahwa Ify harus berpegangan. Tapi Ify menolak dan hal
itu membuat Cakka kecewa.
“Nggak mau nih pegangan ama cowok ganteng?” goda Cakka. Ia berharap agar Ify mau memenuhi permintaannya.
“Bukannya gitu, Kka, nggak enak aja kan kita nggak pacaran!” kata Ify malas.
“Emang kalo pegangan harus untuk orang yang lagi pacaran gitu?!” balas Cakka bertanya.
“Menurut gue sih gitu.” jawab Ify seadanya.
“Yaudah deh terserah loe.” kata Cakka sok ngambek.
Ify mendengus kesal. Ia ingin melihat sesuatu. Sesuatu yang
membuatnya merasa tidak rela. Tapi kalau ia melihatnya akan membuat
dirinya semakin tidak rela. Tapi ia penasaran, apakah ia harus
melihatnya?
***
Rio – Shilla
“Kak, jangan ngebut-ngebut dong!” kata Shilla dengan nada manja sambil melingkarkan tangannya diperut Rio.
Rio merasa risih dan melepaskan tangan Shilla yang melingkar ditubuhnya. “Shil, jangan gitu. Diliat yang lain!” kata Rio pelan.
Shilla menggelengkan kepalanya karena tidak mau melepaskan tangannya.
“Udah deh, Kak, nggak apa-apa. Nggak usah malu gitu lagian siapa juga
yang liat orang kita aja lagi dijalan gini?! Kalo mereka mau ya tinggal
ngelakuin yang sama aja, beres!” balas Shilla yang semakin mempererat
pegangannya pada Rio.
***
Rio POV
Mataku menatap kearah dua orang yang sedang mengendarai motor tepat
didepanku. Mereka adalah Cakka dan Ify. Entah kenapa dari tadi aku
merasa tidak suka melihat mereka bersama. Apalagi ketika aku melihat
Cakka menarik tangan Ify agar memeluk Cakka. Aku merasa panas dan
seperti ingin marah. Hei, ada apa ini? Tapi ketika Ify menarik tangannya
kembali dari Cakka perasaanku mulai sedikit lebih baik meskipun aku
masih tidak suka melihatnya bersama. Aku juga melihat mereka mengobrol
entah apa yang mereka bicarakan saat itu aku tidak dapat
mendengarkannya.
Tiba-tiba aku merasakan tangan Shilla melingkar pada tubuhku. “Kak,
jangan ngebut-ngebut dong!” kata gadis itu. Aku mendengar suaranya yang
manja.
Aku memang menyukai seorang gadis yang manja, tetapi bukan manja yang
seperti ini. Aku merasa risih dengan perlakuan Shilla saat ini. “Shil,
jangan gitu. Diliat yang lain!” kataku sambil berusaha melepaskan
tangannya yang melingkar ditubuhku. Tapi aku merasa Shilla sama sekali
tidak mau melepaskannya. Aku kesal.
“Udah deh, Kak, nggak apa-apa. Nggak usah malu gitu lagian siapa juga
yang liat orang kita aja lagi dijalan gini?! Kalo mereka mau ya tinggal
ngelakuin yang sama aja, beres” kata gadis itu terlihat tenang. Aku
merasakan Shilla semakin memperatnya. Aish…
Baiklah, tidak apa! Lain kali aku tidak akan membiarkannya bersikap
seperti ini lagi padaku. Kalian tahu? Setiap kali aku menggandeng tangan
Shilla, merangkul Shilla ataupun bersikap manis pada Shilla, semuanya
bukan karena aku yang berniat seperti itu padanya. Lalu karena apa?
Karena Shilla yang memaksaku dan karena hal lain ketika gadis itu sedih.
Aku tidak bisa melihat gadis bersedih ataupun menangis. Aku selalu tak
tega melihatnya. Seperti beberapa hari yang lalu saat Shilla aku
kenalkan dengan Ify, pada saat itu aku merangkul Shilla karena ia habis
bertengkar dengan orangtuanya. Aku tahu karena Shilla sebenarnya rapuh,
ia bukan anak kandung dari kedua orangtuanya dan selalu bertengkar
dengan orangtuanya. Ia menangis saat itu da aku mencoba menghiburnya.
Tepat ketika Ify datang, Shilla mengakhiri tengisannya.
Aku kembali fokus pada jalanan didepanku. Sekilas kusapu pandangan disekitar ternyata sebentar lagi sudah akan sampai.
***
“Cielah, asik tuh yang dijalan peluk-pelukan?!”
Aku mendengar sebuah suara menggodaku dari arah belakang. Aku menoleh
kesumber suara dan aku melihat Alvin sedang tertawa kearahku. Shilla
yang berada disebelahku hanya tertawa kecil dan menyembunyikan wajahnya
dengan kedua tangan karena sedang menahan malu.
“Diem loe!” kataku malas dan akupun langsung meninggalkan mereka semua. Kesuatu tempat dibukit itu yang sering aku kunjungi.
***
Ify POV
Aku turun dari motor Cakka dan menatap sekeliling. Wah, indah sekali.
Sangat indah. Aku benar-benar mengagumi keindahan pemandangan dari atas
sini. Aku dapat melihat dengan jelas kota Bandung dari atas sini. Luar
biasa! Malam yang cantik. Bintang-bintang bertaburan diatas sana
ditemani oleh bulan purnama, kota Bandung terlihat jelas didepan mata
dihiasi dengan cahaya lampu membuat pemandangan dibawah sana semakin
indah. Tapi anehnya tempat sebagus ini kenapa tidak ada yang
mengunjungi? Sayang sekali. Tak ada henti-hentinya aku menebarkan
senyumku.
“Cielah, asik tuh yang dijalan peluk-pelukan?!”
Aku menolehkan pandanganku kesumber suara, aku tahu suara itu adalah
suara Kak Alvin, aku sangat penasaran siapa yang diejek olehnya. Mataku
langsung menoleh kearah yang sedang dipandang oleh Kak Alvin. Rasa
bahagiaku yang baru saja menikmati indahnya pemandangan mendadak lenyap.
Pandanganku beralih pada Shilla yang terlihat malu-malu disebelah Kak
Rio sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan. Apa kalian tahu? Aku
tidak suka melihat mereka! Yap! Aku akui aku cemburu melihat mereka
berdua. Sekali lagi kutekankan, AKU CEMBURU! Jujur saja, aku baru
menyadari kalau selama ini aku menyukai Kak Rio. Tapi kadang-kadang aku
merasa ragu, rasa sukaku padanya itu karena apa. Apakah rasa suka
melalui perasaan atau rasa suka karena rasa kekaguman saja? Entah, aku
tidak bisa menjawabnya. Tapi hari ini aku sudah mengakui kalau aku
menyukai Kak Rio!
“Diem loe!” aku mendengar Kak Rio membentak Kak Alvin.
Aku kaget. Tidak. Bukan hanya aku saja, tapi semua orang disana yang
mendengarnya kaget. Apalagi ketika aku melihat wajah Shilla yang
nampaknya sangat kaget mendengar Rio berkata seperti itu. Lalu aku
melihat Kak Rio pergi meninggalkan kami semua. Aku tidak tahu Kak Rio
akan pergi kemana, aku penasaran dan ingin sekali mengikutinya tapi aku
tidak enak dengan teman-teman lain yang masih bingung karena Kak Rio
tiba-tiba seperti itu.
“Gue salah ngomong ya? Kok Rio sampe marah gitu?” tanya Kak Alvin pada siapapun yang mau menjawab.
Aku dan yang lainnya mengangkat bahu dengan kompak bertanda bahwa kami semua tidak tahu.
“Udah deh lupain aja yang barusan. Nggak usah diambil hati, Kak,
siapa tahu Kak Rio lagi badmood. Yok kita senang-senang!” kata Cakka.
Yang lain mengangguk setuju. Cakka menhampiriku dan manarik tanganku.
“Kita kesebelah sana aja, kayaknya disana lebih bagus.” lanjut Cakka.
Yang lain mengangguk-angguk setuju. Aku hanya mengikuti mereka saja
dan membiarkan Cakka menggandeng tanganku menuju tempat yang Cakka
sebut. Cukup jauh kakiku mulai terasa pegal. Dua puluh menit berjalan
akhirnya sapai ditempat yang Cakka tunjuk. Wah, benar apa yang Cakka
bilang. Tempatnya jauh lebih indah dari yang dibawah sana. Tapi tetap
saja aku masih merasa ada yang kurang.
***
Normal POV
Alvin, Sivia, Ify, Cakka dan Shilla nampak asik menikmati
pemandangan. Sesekali mereka mengobrol dan bercanda tawa kadang-kadang
Alvin dan Cakka saling menjahili ketiga gadis yang disana dan tertawa
puas begitu yang mereka jahili sukses. Tapi Ify nampak sama sekali tak
menikmatinya seperti yang lain. Kemudian Ify memutuskan untuk kembali
ketempat awal dimana motor Alvin, Cakka dan Rio terparkir.
“Mau kemana, Fy?” tanya Sivia.
“Nyari toilet.” jawab Ify beralasan.
“Gue temenin yuk nyarinya!” kata Cakka menawarkan diri.
Ify menggelengkan kepalanya. “Nggak usah, bentar doang kok!” tolak Ify.
“Ntar kalo loe nyasar gimana?” kini giliran Alvin bertanya.
“Gue ini bukan anak kecil lagi, Kak! Gue punya mulut buat nanya.” jawab Ify.
“Disini kan sepi, Fy!” kata Shilla.
“Udah deh nggak usah ngawatirin gue, gue pasti balik kesini lagi kok.” kata Ify sambil meninggalkan mereka semua.
Sebenarnya Ify bingung dimana jalannya, akhirnya ia hanya mengikuti
kakinya saja yang berjalan tanpa arah. Hampir setengah jam ia berjalan
tanpa arah. Ify panik, sepertinya ia benar-benar nyasar. Bagaimana
sekarang? Ify mengedarkan pandangan disekitarnya. Ia melihat tempat yang
bagus dan jauh lebih indah. Ditempat itu hanya ada satu pohon yang
tumbuh sangat besar dan didepannya ada sebuah bangku. Penasaran, Ify
menghampiri tempat itu. Ify merasa sangat menyukai pemandangan disini.
Perlahan, rasa paniknya karena kesasar menghilang. Saking terpesonanya
dengan pemandangan itu Ify sampai menganga dan menutup mulutnya dengan
kedua tangan. Matanya berbinar-binar.
“Keren…” kata Ify, matanya masih berbinar. Ify langsung memilih duduk dibangku itu.
Cukup lama Ify memandanginya. Masih terpesona dengan pemandangan itu
sampai ia tidak sadar ada seseorang yang sudah duduk disampingnya.
“Loe suka?” tanya orang itu.
Ify menolehkan kepalanya dengan terkejut karena tiba-tiba ada
seseorang yang mengajaknya berbicara dan orang itu sendiri sudah duduk
disebelahnya. “Kak Rio? Kok loe bisa disini? Sejak kapan?” tanya Ify
kaget.
Rio tersenyum kecil. “Sejak loe dateng gue udah disini kok.” jawab Rio.
Ify menaikkan alisnya heran. “Tadi pas gue kesini perasaan kagak ada loe deh, Kak.” kata Ify merasa tidak percaya.
“Loe nggak sadar? Gue itu dari tadi berdiri didepan pohon!” kata Rio sambil tertawa.
“Ha? Masak sih? Hahaha…” kata Ify kemudian ia tertawa.
***
Ify POV
“Loe suka?”
Aku kaget mendengar suara seseorang yang berasal dari sebelahku.
Dengan cepat langsung kutolehkan kepalaku kearah disebelahku. Mataku
terbelalak lebar mendapati Kak Rio sudah duduk disana. Astaga! “Kak Rio?
Kok loe bisa disini? Sejak kapan?” aku bertanya padanya. Perasaan
senang menyelimutiku. Aku tidak percaya kalau Kak Rio tiba-tiba sudah
beradi disebelahku. Tidak! Tapi duduk disebelahku. Ya Tuhan. Aku merasa
sangat… Sangat senang!
“Sejak loe dateng gue udah disini kok.” katanya menjawab pertanyaanku.
Apa katanya tadi? Ternyata dia sudah disini? Eh, tetapi setahuku tadi
aku sama sekali tidak melihatnya berada disini. Ah, Kak Rio
membohongiku. “Tadi pas gue kesini perasaan kagak ada loe deh, Kak.”
kataku sambil menaikkan alis, heran.
“Loe nggak sadar? Gue itu dari tadi berdiri didepan pohon!” kata kak
Rio. Lelaki itu tertawa renyah. Astaga! Tidak senyum, tidak tertawa,
lelaki itu selalu mempunyai cara tersendiri untuk membuat orang yang
melihatnya ikut tesenyum dan tertawa. Sungguh, aku semakin mengaguminya
saja.
“Ha? Masak sih? Hahaha…” aku tertawa begitu mendengar perkataannya
tadi. Benarkah apa yang dia bilang tadi? Aku tidak sadar kalau dari tadi
lelaki itu berdiri didepan pohon? Oh ya, mungkin saja karena tadi aku
terlalu terpesona. Bisa jadi kan? Aku tahu Kak Rio itu anti dalam
berbohong jadi aku percaya saja padanya.
“Loe suka?” tanya Kak Rio.
Aku menoleh kearahnya. Menaikkan alis dengan heran. “Suka? Suka apanya?” tanyaku bingung.
Aku melihat Kak Rio menatapku dengan gemas. “Sama pemandangannya.”
jawab Kak Rio. Aku langsung mengangguk-anggukkan kepalaku dengan
semangat. Bagaimana tidak? Pemandangan dari atas sini sangat
menakjubkan! Aku kembali melihat Kak Rio tersenyum. “Bagusdeh kalo
gitu.” lanjutnya pelan.
“Bagus apanya?!” tanyaku penasaran.
Kak Rio menatapku, cukup lama sampai aku tidak bisa mengalihkan
pandanganku kearah lain, mata Kak Rio benar-benar sangat indah. Tetapi
hanya beberapa saat saja, tidak ada sampai tiga menit Kak Rio
mengalihkan pandangannya dan saat itu pula aku merasa kecewa karena
tidak bisa melihat matanya yang indah itu, saat ini aku yakin rona merah
telah muncul pada kedua pipiku.
“Dulu gue pernah janji sama diri gue sendiri bakalan bawa orang yang berhasil ngambil hati gue ketempat ini.” kata Kak Rio.
Aku tertegun. “Maaf, Kak, tadi gue nggak sengaja lewat kesini…” kataku pelan sambil menundukkan kepala.
Kak Rio mengangkat daguku dan menatapku tepat dimata. “Ini tempat
bukan punya gue, jadi gue nggak punya hak untuk ngelarang loe kesini.
Lagian gue seneng kok loe suka tempat ini.” kata Kak Rio.
“Terus loe udah nemuin cewek itu?” tanyaku pelan. Aku menatap Kak Rio lekat-lekat.
Kak Rio terlihat ragu, tapi akhirnya ia menganggukkan kepalanya
pelan. Hatiku mencelos. Siapa gadis yang sangat beruntung itu? Apa aku
kurang menarik dimatanya? Aku memang terlalu banyak berharap. Mungkin
kedepannya aku tidak terlalu banyak berharap lagi. Ternyata rasanya
seperti ini ketika sesuatu yang diharapkan tidak bisa dicapai. Aku
memang menyukai Kak Rio, tapi anehnya aku baru mengenalnya tetapi sudah
menyukainya. Dulu kami memang bersahabat, tapi itu dulu ketika kami
masih kecil dan sekarang aku sudah lupa bagaimana wajahnya saat kecil.
Aku benar-benar siapa gadis itu. Tunggu, apa gadis itu… Shilla?
“Udah. Loe kenal kok.” kata Kak Rio.
Aku hanya meng-o-kan mulutnya. Ingin sekali aku bertanya ‘siapa gadis
itu?’ padanya tapi lidahku terasa berat untuk menanyakan hal itu.
Dengan menanyakan hal itu mungkin akan membuatku semakin sesak dan
sakit. Kalaupun aku bertanya aku tidak mau dianggap sebagai seorang
gadis yang ingin sok dekat danikut campur dalam masalah pribadi Kak Rio.
Tapi aku juga sangat penasaran dengan gadis itu.
“Fy?” aku mendengar Kak Rio memanggilku.
Aku menoleh kearahnya. “Iya, Kak?” jawabku.
“Loe pernah ngerasain nggak gimana rasanya orang yang lagi jatuh cinta?” tanya Kak Rio sambil menoleh padaku.
Aku tersenyum kearahnya. “Pernah dong, Kak?! Hehehe…” jawabku sambil tertawa padanya.
“Kayak gimana rasanya?” tanyanya.
Aku nampak berpikir untuk menjawab pertanyaan Kak Rio barusan. “Emm,
gue sih kalo lagi deket sama orang yang gue suka jantung gue itu pasti
sering berdebar-debar nggak karuan gitu, Kak, udah gitu gue jadi sering
salah tingkah didepan dia, terus kalo gue ngeliat dia sama cewek lain
pasti gue nerasa panas ama nggak suka gitu ngeliat mereka barengan,
hehehe…” jawabku jujur.
“Berarti bener!” seru Kak Rio.
“Bener? Bener apanya?” tanyaku bingung.
“Gue lagi jatuh cinta!” jawabnya sambil tersenyum puas.
Hatiku kembali mencelos. “Oh, sama siapa sih, Kak? Shilla?” tanyaku
tanpa sadar. Perkataan yang seharusnya aku teriakkan dalam hati malah
aku lontarkan secara terang-terangan pada Kak Rio. Aku meruntuki diriku
sendiri dalam hati. Bodoh!
“Nggak! Sama sekali nggak!” jawabnya santai.
“Terus sama siapa?” lagi-lagi perkataan yang seharusnya aku teriakkan
dalam hati kembali aku lontarka secara terang-terangan. Hei, bagaimana
kalau Kak Rio menganggapku seorang gadis yang ingin mencampuri urusan
pribadinya? Aish..
“Gue selalu ketemu dia setiap pagi, siang, sore, malem. Pokoknya
setiap waktu deh gue selalu ngeliat dia. Dia orangnya agak cengeng dan
manja tapi gemesin banget.” jawab Kak Rio semangat.
Lagi-lagi aku hanya dapat meng-o-kan mulutku. Entah kenapa aku
mendadak menjadi malas berbicara dengan Kak Rio. Mungkinkah karena aku
cemburu? Apakah aku cemburu terlalu berlebihan?
Tiba-tiba Kak Rio mengecup pipiku. Aku membelalakkan mataku karena
kaget dan langsung menatapnya dengan wajah tak percaya. “Kak, loe…?”
kataku yang bingung mau mengatakan apa padanya.
“Sorry deh, gue cuma mau bilang makasih aja.” kata Kak Rio yang sepertinya mengerti dengan maksudku.
“O-oh, un-untuk a-apa?” tanyaku tergagap. Kenapa aku menjadi gagap
begini? Aish, memalukan! Ayolah, Ify, kembali bersikap normal seperti
biasanya.
“Udah ngasih tahu gue tentang rasanya jatuh cinta, muji tempat ini
bagus dan loe nemenin gue malem ini ditempat yang paling gue suka.”
jawab Kak Rio. Kemudian Kak Rio menggenggam tanganku. Aku langsung
membisu melihat perlakuannya padaku dan tak dapat kupungkiri bahwa malam
ini aku sangat-sangatlah merasa senang dan berharap waktu berhenti
saat itu juga agar aku selalu merasakan kehangatan yang kurasakan saat
berada didekat lelaki yang kusukai. Sungguh manis. Aku harap Kak Rio
akan selalu bersikap ini padaku.
***
To Be Continued
0 komentar:
Posting Komentar