Selasa, 22 Januari 2013

Not Too Late : Chapter 3

Alvin POV

Aku dengar sepupunya Cakka dan Rio akan datang hari ini juga. Wah, kenapa rasanya aku sangat penasaran dengan sosok sepupu mereka yang Cakka bilang kalau sepupunya itu sangat cantik bahkan bisa membuat orang yang elihat sosoknya langsung terpesona. Huh, mungkin saja itu hanya omong kosong Cakka agar setiap orang yang mendengarkan omongannya merasa kagum pada Cakka karena memiliki sepupu yang sangat cantik.
Memangnya secantik apa sih? Bagaimana kalau yang Cakka bilang itu tidak sesuai? Ah, tapi tetap saja aku selalu penasaran. Bahkan Cakka sudah mengirimkan sebuah pesan singkat padaku yang mengatakan bahwa aku harus segera kerumahnya karena sepupunya itu sudah datang.
Tunggu, kalau kupikir-pikir kenapa Cakka seperti ingin membuatku tertarik pada sepupunya itu? Cakka terlihat seperti ingin mendekatkanku dengan sepupunya yang bernama Sivia itu. Apa ini hanya perasaanku saja atau aku yang terlalu ke-GR-an? Kulirik mataku kearah ponselku ketika benda itu kembali bergetar. Ada satu pesan masuk, ternyata dari Cakka. Aku langsung membuka pesan darinya.

Kak, ntar malem loe kudu kerumah gue! Biasa lah nyambut kedatangan sepupu gue yang cantik :p

Aku tersenyum kecil setelah selesai membaca pesan dari Cakka lalu tanganku mulai bergerak mengetik pada keypad ponselku untuk membalas pesan dari Cakka. Aku membalas pesan Cakka dengan bertanya jam berapa aku harus kesana. Tak butuh waktu lama, tidak sampai satu menit Cakka sudah membalasnya. Cepat sekali lelaki ini membalas pesanku.

Jam tujuh ada deh. Kak! Kan nggak terlalu kemaleman sama kesorean.

Aku langsung menutup ponsel setelah membaca pesan dari Cakka, tak ada niat sedikit pun untuk membalas pesannya. Dalam hati, kadang aku sering bertanya-tanya kenapa selama ini aku tidak pernah tertarik dengan seorang gadis? Tidak! Dulu aku pernah tertarik pada seorang gadis, tapi itu dulu sewaktu aku masih kelas satu SMP dan saat itu aku masih kecil. Aku pernah bertemu dengannya dua kali. Hanya bertemu. Aku tidak mengenalnya tapi aku masih ingat ciri-cirinya dan setelah itu aku tidak pernah lagi bertemu dengannya. Yang aku tahu tentang dia saat itu, dalam dua kali aku bertemu dengannya dia selalu memakai segaram dari SMP lain yang kebetulan sekolahnya tidak jauh dari sekolahku. Aku pernah menunggu gadis itu didepan sekolahnya tapi aku tidak pernah bertemu dengannya lagi.

Aku menggelengkan kepalaku, tersadar dari lamunanku yang memikirkan tentang gadis itu. Kemudian aku kembali melamunkannya, aku tersenyum ketika aku mengingat bagaimana kejadian saat aku bertemu dengannya. Bahkan sampai sekarang ia masih ingat bagaimana bentuk wajahnya. Rambutnya yang panjang dan lurus, kulitnya putih, memiliki lesung pipit sehingga membuat wajahnya terlihat sangat manis, matanya sedikit sipit sama seperti mataku. Seringkali gadis itu muncul dalam mimpiku. Kadang aku juga sering bertanya dalam benakku akankah aku bisa bertemu dengannya lagi? Kuharap.

Jam berapa sekarang? Aku melirikkan mataku kearah jam dinding. Oh, baru jam dua siang. Hoam, kurasa mataku mulai memberat. Baiklah, mungkin sebaiknya aku tidur siang dulu, begitu bangun aku langsung bersiap-siap kerumah Cakka.

***

Aku sudah siap, kulihat diriku dikaca sudah terlihat cukup.. Eum, tampan! Yap, sekarang tingal berangkat saja kerumahnya Cakka. Semoga aku tidak telat datang. Tidak! Aku memang tidak telat datang bahkan aku datang lebih awal dari yang Cakka bilang. Sekarang baru jam enam lewat lima belas menit. Apa aku terlalu cepat datang? Sudahlah biarkan saja.

Aku menuju kamar Mama dan Papa, berpamitan kepada mereka. “Mah, Pah, Alvin kerumah Cakka ya?!” pamit Alvin.

“Aduh, anak Mama ganteng banget malem ini?! Ada acara apaan sih, Vin?!” tanya Mama padaku.

Aku tertawa kecil mendengar pujian dari Mama yang mengatakan bahwa malam ini aku terlihat tampan. “Sepupunya Cakka sama Rio dateng dari Paris, katanya malem ini mau nyambut kedatengannya gitu.” jawabku pada Mama.

“Yaudah, pergi deh sana. Tapi masak jam segini?! Masih sore banget lho, Vin?!” kata Papa.

Aku menoleh kearah Papa. “Nggak apa-apa deh, Pah. Alvin penasaran sih sama sepupunya Rio.” jawabku tanpa sadar. Eh? Apa kataku tadi? Penasaran sama sepupunya Rio? Perasaan bukan itu yang mendorongku agar aku datang lebih awal. Kenapa tiba-tiba aku berbicara seperti ini? Aish..

“Cewek apa cowok, Vin?” tanya Papa, sepertinya Papa sedang menggodaku. Menyebalkan!

“Cewek.” jawabku singkat.

“Wah, wah, anak Mama udah gede ternyata.” goda Mama padaku.

Aku mendengus. “Udah dari dulu kali, Mah. Yaudah, Alvin berangkat.” pamitku.

Aku keluar dari rumah, menuju garasi dan mengambil motor Ninja milikku. Kemudian langsung melajukan motorku menuju rumah Cakka dan Rio yang cukup jauh dari rumahku dengan kecepatan standar. Sekitar lima belas menit aku sudah sampai didepan rumah mereka —Cakka dan Rio maksudku— Aku memarkirkan motor dibawah pohon besar pada halaman depan rumah mereka yang luas. Selesai melepaskan helm fullface milikku aku langsung berjalan masuk kerumahnya dan mengetuk pintu rumahnya. Beberapa saat kemudian, Ify membukakan pintu dan menyambut kedatanganku. Aku tertawa kecil melihat tingkahnya.

“Ada Shilla, Fy?” tanyaku pada Ify. Baru saja aku melihat seorang gadis berambut panjang ikal memasuki kamar Rio yang terletak dilantai dua.

Ify mengangguk. Aku lihat senyumnya yang tadi mengembang kini menghilang. “Iya, Kak, tuh diatas kayaknya.” kata Ify sambil menunjuk kamar Rio.

Aku mengangguk-anggukkan kepalaku. Baru saja aku mau mau membalas perkataan Ify ternyata sudah ada seseorang yang mendahuluinya. “Kak Alvin! Loe dateng cepet amet?! Hahaha…” aku menoleh kearah sumber suara. Aku kenal sekali suara itu adalah suara Cakka. Nah, benar kan?! Kulihat Cakka menghampiriku kemudian menepuk-nepukkan pundakku.

“Ayo, Kak, gue kenalin sama sepupu gue. Shilla sama Ify udah kenalan tuh tinggal loe doang yang belom! Ya nggak, Fy?” kata Cakka sambil manarik lenganku. Kulihat, Ify hanya tersenyum sambil mengangguk-angguk kemudian ia meninggalkanku dan Cakka.

Aku menatap Cakka kesal. “Iye, iye, kagak usah narik-narik gue deh.” kataku sambil melepaskan tangan Cakka dari lenganku.

Cakka tertawa. “Eh, itu dia!” seru Cakka sambil menunjuk kearah seseorang. “Sivia!”

Aku menoleh kearah yang ditunjukkan oleh Cakka. Seorang gadis menoleh kearah Cakka dan aku. Benar yang Cakka katakan. Dia cantik bahkan sangat cantik. Lebih cantik dari yang kubayangkan. Wajahnya sangat manis, gadis itu memiliki lesung pipit dan matanya agak sipit dan rambutnya pendek serta memiliki kulit yang mulus dan putih. Tunggu, seperti ada yang aneh!

“Vi, ini Kak Alvin, temennya Kak Rio.”

***

Cakka POV

Aku merasa haus dan aku memutuskan untuk kedapur tapi pandanganku terhenti ketika aku melihat Kak Alvin sedang mengobrol bersama Ify. Ajaib! Rasa hausku tia-tiba hilang. Aku menghampiri Kak Alvin dengan semangat. “Kak Alvin! Loe dateng cepet amet?! Hahaha…” kataku menghampirinya dan menepuk-nepuk pundaknya pelan.

“Ayo, Kak, gue kenalin sama sepupu gue. Shilla sama Ify udah kenalan tuh tinggal loe doang yang belom! Ya nggak, Fy?” kataku. Ify menganggukkan kepalanya yang menandakan bahwa ucapanku barusan benar kemudian dia meninggalkanku dan Kak Alvin. Yah, kenapa dia pergi? Mungkin sedang bersiap-siap. Karena tinggal aku dan Kak Alvin disana aku langsung menarik lengan Kak Alvin untuk memperkenalkan Kak Alvin pada Sivia.

Mungkin kalian bertanya kenapa aku ingin sekali mendekatkan Kak Alvin dengan Sivia. Yap, jawabannya adalah karena aku tahu sepupu yang cantik itu dulunya pernah berkata padaku kalau dia menyukai Kak Alvin, dulu sewaktu Sivia belum pindah ke Paris. Kesempatan bagus! Mumpung Sivia lagi berada di Indonesia aku akan berusaha mendekatkan mereka. Siapa tahu saja perasaan Sivia pada Kak Alvin yang dulu kembali tumbuh. Sivia dan Kak Alvin memang tidak saling kenal, tapi Sivia pernah bercerita padaku kalau dia melihat Kak Rio bersama seorang lelaki berkulit putih dan tampan. Siapa lagi kalau bukan Kak Alvin?! Saat itu aku tidak terlalu yakin kalau Kak Alvinlah yang Sivia maksud sampai akhirnya aku menunjukkan photo Kak Alvin pada Sivia dan Sivia mengangguk-angguk membenarkan dan saat itu pula Sivia memintaku untuk mendekatkannya dengan Kak Alvin namun sayangnya ia harus segera pindah ke Paris. Sekarang aku akan memenuhi permintaan Sivia yang dulu, yang ingin dekat dengan Kak Alvin. Kuharap rencanaku akan sukses. Ya, semoga saja.

“Iye, iye, kagak usah narik-narik gue deh.” aku menatap Kak Alvin yang sedang menatapku dengan kesal. Ia melepaskan tanganku yang menarik lengannya.

Aku tertawa. Kemudian pandanganku berhenti pada sosok yang ingin kukenalkan dengan Kak Alvin. Yeah, siapa lagi kalau bukan Sivia Azizah. “Eh, itu dia!” kataku sambil menunjuk kearah Sivia.

“Sivia!” aku memanggil Sivia yang hendak masuk kedalam kamarnya. Sivia menoleh kearahku dan Kak Alvin. Beberapa saat aku melihat Kak Alvin dan Sivia bertatapan cukup lama. Yeah, sepertinya tidak susah mendekatkan mereka. Aku melihat kearah Sivia, raut wajahnya susah untuk kuartikan. Kulirik kearah sampingku yang disana sedang berdiri Kak Alvin. Kak Alvin juga sedang menatap Sivia dengan tatapan yang susah diartikan juga. Aish, aku kan jadi tidak bisa membaca pikiran mereka melalui tatapan itu. Tapi sepertinya mereka mulai saling terpesona satu sama lain deh. Apalagi malam ini Sivia terlihat sangat cantik begitupun Kak Alvin. Eits, tapi aku masih normal ya! Jangan mengira aku tidak normal hanya karena memuji Kak Alvin tampan malam ini.

“Vi, ini Kak Alvin, temennya Kak Rio.” aku menyadarkan mereka dari tatapan mereka yang semakin mendalam. Aku ini menganggu saja! Biarkan sajalah, menganggu mereka ada enaknya juga.

“Oh, hai, Kak?!” sapa Sivia pada Kak Alvin.

“H, Hai?!” balas Kak Alvin.

Aku menahan tawa melihat Kak Alvin menjadi gagap begitu ketika berbicara. Kurasa rencanaku akan berhasil.

***

Normal POV

Malam itu, Cakka mempunyai rencana untuk mengajak berjalan-jalan. Kebetulan malam ini adalah malam minggu, pasti membuat suasananya semakin bertambah seru. Mereka semua duduk diruang tamu. Disana ada Rio, Ify, Cakka, Alvin, Sivia dan Shilla. Mereka sedang berdiskusi membicarakan tempat yan cocok untuk mereka kunjungi malam ini. Kemudian Rio lebih enak jika malam minggu seperti ini mereka berjalan menuju bukit kota, dimana dibukit itu mereka dapat melihat keindahan kota Bandung dari atas bukit. Apalagi cuaca malam ini sangat mendukung karena langit tidak terlihat mendung sedikitpun dan malah menampakkan bintang-bintang yang bertaburan diatas sana dengan indah dan ditemani oleh terannya bulan purnama.

“Yaudah kita kesana aja deh!” kata Ify yang terlihat paling semangat.

“Kak Rio, loe sama Shilla?!” tanya Cakka kepada Rio.

Rio menatap Cakka dan Ify bergantian. Tatapannya terlihat ragu. Tiba-tiba Shilla merangkul lengannya dan Rio sendiri hanya tersenyum tipis, sudah biasa Shilla melakukan hal itu padanya. “Ya.” jawab Rio akhirnya tapi suaranya terdengar berat seperti seorang yang sedang terpaksa melakukan suatu hal.

Cakka tersenyum lebar. “Berarti gue sama Ify, dong?!” kata Cakka senang dan tatapannya berhenti pada Alvin. “Kak Alvin loe sama Sivia ya?!” lanjut Cakka sambil mengedipkan sebelah matanya pada  Alvin.

Alvin menatap jijik kearah Cakka. “Idih, genit banget sih loe, Kka?! Untung gue kagak punya sodara kayak loe, kalo punya bisa-bisa gue ikutan sedeng kayak loe!” kata Alvin.

Cakka tertawa. “Oke, berarti gue sama Ify, Kak Rio sama Shilla, Kak Alvin sama Sivia. Ayo berangkat sekarang aja!” kata Cakka.

Keenam orang itu keluar dari rumah Rio dan Cakka. Ketiga lelaki semuanya —Rio, Cakka dan Alvin— mengambil motor mereka masing-masing dan ketiga gadis —Ify, Sivia dan Shilla— langsung menaiki motor pasangan yang sudah ditentukan (?) kemudian  setelah memastikan siap mereka langgsung berangkat ketempat tujuan.

***

Alvin – Sivia

Selama dalam perjalanan, Alvin dan Sivia saling diam. Mungkin karena mereka masih belum kenal satu sama lain. Alvin yang sejak tadi tidak betah karena harus diam-diaman seperti itu langsung memutuskan untuk mengajak Sivia berbicara terlebih dahulu. Ia menatap pantulan wajah Sivia melalui kaca spion motornya.

“Sivia?” Alvin memanggil nama Sivia.

“Iya, Kak?” balas Sivia.

“Kok loe diem aja sih? Ajakin gue ngobrol kek.” kata Alvin.

Sivia tertawa kecil. “Tadinya sih gue juga mau gitu.” jawab Sivia.

“Terus kenapa gak loe lakuin?” tanya Alvin penasaran.

“Loe aja keliatannya ogah-ogahan gitu ngobrol ama gue yaudah nggak gue ajak ngobrol deh elo. Lagian gue juga gengsi lah ngajakin loe ngobrol duluan ntar dikira sok kenal lagi.” jawab Sivia jujur.

“Jujur amat loe jadi cewek, hahaha…” kata Alvin sambil tertawa.

“Nggak apa-apa dong! Dari pada boong nambah dosa, ya nggak?” balas Sivia.

“Iya juga sih.” kata Alvin membenarkan apa yan sivia bicarakan barusan.

Obrolan mereka terus berlanjut. Mereka saling bertanya satu sama lain dari kehidupan mereka sewaktu masih kecil hingga mereka beranjak dewasa, menanyakan makanan kesukaan dan makanan yang palin tidak disukai, warna favorite, kebiasaan yang sering dilakukan, sifat mereka menurut orang yang mengenalnya dengan dekat dan masih banyak hal-hal lain yang mereka bicarakan. Alvin merasa nyaman mengobrol dengan Sivia begitupun juga dengan Sivia yang nyaman mengobrol dengan Alvin.

***

Ify – Cakka

Cakka melirik Ify melalui kaca spion motornya, Cakka melihat gadis itu sama sekali tidak bersemangat seperti tadi. Wajahnya tidak ceria, yan ditampakkan hanyalah wajahnya yang gelisah. Ada apa dengan gadis itu? Apa yang terjadi padanya? Cakka menarik tangan Ify keperutnya dengan beralasan bahwa Ify harus berpegangan. Tapi Ify menolak dan hal itu membuat Cakka kecewa.

“Nggak mau nih pegangan ama cowok ganteng?” goda Cakka. Ia berharap agar Ify mau memenuhi permintaannya.

“Bukannya gitu, Kka, nggak enak aja kan kita nggak pacaran!” kata Ify malas.

“Emang kalo pegangan harus untuk orang yang lagi pacaran gitu?!” balas Cakka bertanya.

“Menurut gue sih gitu.” jawab Ify seadanya.

“Yaudah deh terserah loe.” kata Cakka sok ngambek.

Ify mendengus kesal. Ia ingin melihat sesuatu. Sesuatu yang membuatnya merasa tidak  rela. Tapi kalau ia melihatnya akan membuat dirinya semakin tidak rela. Tapi ia penasaran, apakah ia harus melihatnya?

***

Rio – Shilla

“Kak, jangan ngebut-ngebut dong!” kata Shilla dengan nada manja sambil melingkarkan tangannya diperut Rio.

Rio merasa risih dan melepaskan tangan Shilla yang melingkar ditubuhnya. “Shil, jangan gitu. Diliat yang lain!” kata Rio pelan.

Shilla menggelengkan kepalanya karena tidak mau melepaskan tangannya. “Udah deh, Kak, nggak apa-apa. Nggak usah malu gitu lagian siapa juga yang liat orang kita aja lagi dijalan gini?! Kalo mereka mau ya tinggal ngelakuin yang sama aja, beres!” balas Shilla yang semakin mempererat pegangannya pada Rio.

***

Rio POV

Mataku menatap kearah dua orang yang sedang mengendarai motor tepat didepanku. Mereka adalah Cakka dan Ify. Entah kenapa dari tadi aku merasa tidak suka melihat mereka bersama. Apalagi ketika aku melihat Cakka menarik tangan Ify agar memeluk Cakka. Aku merasa panas dan seperti ingin marah. Hei, ada apa ini? Tapi ketika Ify menarik tangannya kembali dari Cakka perasaanku mulai sedikit lebih baik meskipun aku masih tidak suka melihatnya bersama. Aku juga melihat mereka mengobrol entah apa yang mereka bicarakan saat itu aku tidak dapat mendengarkannya.

Tiba-tiba aku merasakan tangan Shilla melingkar pada tubuhku. “Kak, jangan ngebut-ngebut dong!” kata gadis itu. Aku mendengar suaranya yang manja.

Aku memang menyukai seorang gadis yang manja, tetapi bukan manja yang seperti ini. Aku merasa risih dengan perlakuan Shilla saat ini. “Shil, jangan gitu. Diliat yang lain!” kataku sambil berusaha melepaskan tangannya yang melingkar ditubuhku. Tapi aku merasa Shilla sama sekali tidak mau melepaskannya. Aku kesal.

“Udah deh, Kak, nggak apa-apa. Nggak usah malu gitu lagian siapa juga yang liat orang kita aja lagi dijalan gini?! Kalo mereka mau ya tinggal ngelakuin yang sama aja, beres” kata gadis itu terlihat tenang. Aku merasakan Shilla semakin memperatnya. Aish…

Baiklah, tidak apa! Lain kali aku tidak akan membiarkannya bersikap seperti ini lagi padaku. Kalian tahu? Setiap kali aku menggandeng tangan Shilla, merangkul Shilla ataupun bersikap manis pada Shilla, semuanya bukan karena aku yang berniat seperti itu padanya. Lalu karena apa? Karena Shilla yang memaksaku dan karena hal lain ketika gadis itu sedih. Aku tidak bisa melihat gadis bersedih ataupun menangis. Aku selalu tak tega melihatnya. Seperti beberapa hari yang lalu saat Shilla aku kenalkan dengan Ify, pada saat itu aku merangkul Shilla karena ia habis bertengkar dengan orangtuanya. Aku tahu karena Shilla sebenarnya rapuh, ia bukan anak kandung dari kedua orangtuanya dan selalu bertengkar dengan orangtuanya. Ia menangis saat itu da aku mencoba menghiburnya. Tepat ketika Ify datang, Shilla mengakhiri tengisannya.

Aku kembali fokus pada jalanan didepanku. Sekilas kusapu pandangan disekitar ternyata sebentar lagi sudah akan sampai.

***

“Cielah, asik tuh yang dijalan peluk-pelukan?!”

Aku mendengar sebuah suara menggodaku dari arah belakang. Aku menoleh kesumber suara dan aku melihat Alvin sedang tertawa kearahku. Shilla yang berada disebelahku hanya tertawa kecil dan menyembunyikan wajahnya dengan kedua tangan karena sedang menahan malu.

“Diem loe!” kataku malas dan akupun langsung meninggalkan mereka semua. Kesuatu tempat dibukit itu yang sering aku kunjungi.

***

Ify POV

Aku turun dari motor Cakka dan menatap sekeliling. Wah, indah sekali. Sangat indah. Aku benar-benar mengagumi keindahan pemandangan dari atas sini. Aku dapat melihat dengan jelas kota Bandung dari atas sini. Luar biasa! Malam yang cantik. Bintang-bintang bertaburan diatas sana ditemani oleh bulan purnama, kota Bandung terlihat jelas didepan mata dihiasi dengan cahaya lampu membuat pemandangan dibawah sana semakin indah. Tapi anehnya tempat sebagus ini kenapa tidak ada yang mengunjungi? Sayang sekali. Tak ada henti-hentinya aku menebarkan senyumku.

“Cielah, asik tuh yang dijalan peluk-pelukan?!”

Aku menolehkan pandanganku kesumber suara, aku tahu suara itu adalah suara Kak Alvin, aku sangat penasaran siapa yang diejek olehnya. Mataku langsung menoleh kearah yang sedang dipandang oleh Kak Alvin. Rasa bahagiaku yang baru saja menikmati indahnya pemandangan mendadak lenyap. Pandanganku beralih pada Shilla yang terlihat malu-malu disebelah Kak Rio sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan. Apa kalian tahu? Aku tidak suka melihat mereka! Yap! Aku akui aku cemburu melihat mereka berdua. Sekali lagi kutekankan, AKU CEMBURU! Jujur saja, aku baru menyadari kalau selama ini aku menyukai Kak Rio. Tapi kadang-kadang aku merasa ragu, rasa sukaku padanya itu karena apa. Apakah rasa suka melalui perasaan atau rasa suka karena rasa kekaguman saja? Entah, aku tidak bisa menjawabnya. Tapi hari ini aku sudah mengakui kalau aku menyukai Kak Rio!

“Diem loe!” aku mendengar Kak Rio membentak Kak Alvin.

Aku kaget. Tidak. Bukan hanya aku saja, tapi semua orang disana yang mendengarnya kaget. Apalagi ketika aku melihat wajah Shilla yang nampaknya sangat kaget mendengar Rio berkata seperti itu. Lalu aku melihat Kak Rio pergi meninggalkan kami semua. Aku tidak tahu Kak Rio akan pergi kemana, aku penasaran dan ingin sekali mengikutinya tapi aku tidak enak dengan teman-teman lain yang masih bingung karena Kak Rio tiba-tiba seperti itu.

“Gue salah ngomong ya? Kok Rio sampe marah gitu?” tanya Kak Alvin pada siapapun yang mau menjawab.

Aku dan yang lainnya mengangkat bahu dengan kompak bertanda bahwa kami semua tidak tahu.

“Udah deh lupain aja yang barusan. Nggak usah diambil hati, Kak, siapa tahu Kak Rio lagi badmood. Yok kita senang-senang!” kata Cakka. Yang lain mengangguk setuju. Cakka menhampiriku dan manarik tanganku. “Kita kesebelah sana aja, kayaknya disana lebih bagus.” lanjut Cakka.

Yang lain mengangguk-angguk setuju. Aku hanya mengikuti mereka saja dan membiarkan Cakka menggandeng tanganku menuju tempat yang Cakka sebut. Cukup jauh kakiku mulai terasa pegal. Dua puluh menit berjalan akhirnya sapai ditempat yang Cakka tunjuk. Wah, benar apa yang Cakka bilang. Tempatnya jauh lebih indah dari yang dibawah sana. Tapi tetap saja aku masih merasa ada yang kurang.

***

Normal POV

Alvin, Sivia, Ify, Cakka dan Shilla nampak asik menikmati pemandangan. Sesekali mereka mengobrol dan bercanda tawa kadang-kadang Alvin dan Cakka saling menjahili ketiga gadis yang disana dan tertawa puas begitu yang mereka jahili sukses. Tapi Ify nampak sama sekali tak menikmatinya seperti yang lain. Kemudian Ify memutuskan untuk kembali ketempat awal dimana motor Alvin, Cakka dan Rio terparkir.

“Mau kemana, Fy?” tanya Sivia.

“Nyari toilet.” jawab Ify beralasan.

“Gue temenin yuk nyarinya!” kata Cakka menawarkan diri.

Ify menggelengkan kepalanya. “Nggak usah, bentar doang kok!” tolak Ify.

“Ntar kalo loe nyasar gimana?” kini giliran Alvin bertanya.

“Gue ini bukan anak kecil lagi, Kak! Gue punya mulut buat nanya.” jawab Ify.

“Disini kan sepi, Fy!” kata Shilla.

“Udah deh nggak usah ngawatirin gue, gue pasti balik kesini lagi kok.” kata Ify sambil meninggalkan mereka semua.

Sebenarnya Ify bingung dimana jalannya, akhirnya ia hanya mengikuti kakinya saja yang berjalan tanpa arah. Hampir setengah jam ia berjalan tanpa arah. Ify panik, sepertinya ia benar-benar nyasar. Bagaimana sekarang? Ify mengedarkan pandangan disekitarnya. Ia melihat tempat yang bagus dan jauh lebih indah. Ditempat itu hanya ada satu pohon yang tumbuh sangat besar dan didepannya ada sebuah bangku. Penasaran, Ify menghampiri tempat itu. Ify merasa sangat menyukai pemandangan disini. Perlahan, rasa paniknya karena kesasar menghilang. Saking terpesonanya dengan pemandangan itu Ify sampai menganga dan menutup mulutnya dengan kedua tangan. Matanya berbinar-binar.

“Keren…” kata Ify, matanya masih berbinar. Ify langsung memilih duduk dibangku itu.

Cukup lama Ify memandanginya. Masih terpesona dengan pemandangan itu sampai ia tidak sadar ada seseorang yang sudah duduk disampingnya.

“Loe suka?” tanya orang itu.

Ify menolehkan kepalanya dengan terkejut karena tiba-tiba ada seseorang yang mengajaknya berbicara dan orang itu sendiri sudah duduk disebelahnya. “Kak Rio? Kok loe bisa disini? Sejak kapan?” tanya Ify kaget.

Rio tersenyum kecil. “Sejak loe dateng gue udah disini kok.” jawab Rio.

Ify menaikkan alisnya heran. “Tadi pas gue kesini perasaan kagak ada loe deh, Kak.” kata Ify merasa tidak percaya.

“Loe nggak sadar? Gue itu dari tadi berdiri didepan pohon!” kata Rio sambil tertawa.

“Ha? Masak sih? Hahaha…” kata Ify kemudian ia tertawa.

***

Ify POV

“Loe suka?”

Aku kaget mendengar suara seseorang yang berasal dari sebelahku. Dengan cepat langsung kutolehkan kepalaku kearah disebelahku. Mataku terbelalak lebar mendapati Kak Rio sudah duduk disana. Astaga! “Kak Rio? Kok loe bisa disini? Sejak kapan?” aku bertanya padanya. Perasaan senang menyelimutiku. Aku tidak percaya kalau Kak Rio tiba-tiba sudah beradi disebelahku. Tidak! Tapi duduk disebelahku. Ya Tuhan. Aku merasa sangat… Sangat senang!

“Sejak loe dateng gue udah disini kok.” katanya menjawab pertanyaanku.

Apa katanya tadi? Ternyata dia sudah disini? Eh, tetapi setahuku tadi aku sama sekali tidak melihatnya berada disini. Ah, Kak Rio membohongiku. “Tadi pas gue kesini perasaan kagak ada loe deh, Kak.” kataku sambil menaikkan alis, heran.

“Loe nggak sadar? Gue itu dari tadi berdiri didepan pohon!” kata kak Rio. Lelaki itu tertawa renyah. Astaga! Tidak senyum, tidak tertawa, lelaki itu selalu mempunyai cara tersendiri untuk membuat orang yang melihatnya ikut tesenyum dan tertawa. Sungguh, aku semakin mengaguminya saja.

“Ha? Masak sih? Hahaha…” aku tertawa begitu mendengar perkataannya tadi. Benarkah apa yang dia bilang tadi? Aku tidak sadar kalau dari tadi lelaki itu berdiri didepan pohon? Oh ya, mungkin saja karena tadi aku terlalu terpesona. Bisa jadi kan? Aku tahu Kak Rio itu anti dalam berbohong jadi aku percaya saja padanya.

“Loe suka?” tanya Kak Rio.

Aku menoleh kearahnya. Menaikkan alis dengan heran. “Suka? Suka apanya?” tanyaku bingung.

Aku melihat Kak Rio menatapku dengan gemas. “Sama pemandangannya.” jawab Kak Rio. Aku langsung mengangguk-anggukkan kepalaku dengan semangat. Bagaimana tidak? Pemandangan dari atas sini sangat menakjubkan! Aku kembali melihat Kak Rio tersenyum. “Bagusdeh kalo gitu.” lanjutnya pelan.

“Bagus apanya?!” tanyaku penasaran.

Kak Rio menatapku, cukup lama sampai aku tidak bisa mengalihkan pandanganku kearah lain, mata Kak Rio benar-benar sangat indah. Tetapi hanya beberapa saat saja, tidak ada sampai tiga menit Kak Rio mengalihkan pandangannya dan saat itu pula aku merasa kecewa karena tidak bisa melihat matanya yang indah itu, saat ini aku yakin rona merah telah muncul pada kedua pipiku.

“Dulu gue pernah janji sama diri gue sendiri bakalan bawa orang yang berhasil ngambil hati gue ketempat ini.” kata Kak Rio.

Aku tertegun. “Maaf, Kak, tadi gue nggak sengaja lewat kesini…” kataku pelan sambil menundukkan kepala.

Kak Rio mengangkat daguku dan menatapku tepat dimata. “Ini tempat bukan punya gue, jadi gue nggak punya hak untuk ngelarang loe kesini. Lagian gue seneng kok loe suka tempat ini.” kata Kak Rio.

“Terus loe udah nemuin cewek itu?” tanyaku pelan. Aku menatap Kak Rio lekat-lekat.

Kak Rio terlihat ragu, tapi akhirnya ia menganggukkan kepalanya pelan. Hatiku mencelos. Siapa gadis yang sangat beruntung itu? Apa aku kurang menarik dimatanya? Aku memang terlalu banyak berharap. Mungkin kedepannya aku tidak terlalu banyak berharap lagi. Ternyata rasanya seperti ini ketika sesuatu yang diharapkan tidak bisa dicapai. Aku memang menyukai Kak Rio, tapi anehnya aku baru mengenalnya tetapi sudah menyukainya. Dulu kami memang bersahabat, tapi itu dulu ketika kami masih kecil dan sekarang aku sudah lupa bagaimana wajahnya saat kecil. Aku benar-benar siapa gadis itu. Tunggu, apa gadis itu… Shilla?

“Udah. Loe kenal kok.” kata Kak Rio.

Aku hanya meng-o-kan mulutnya. Ingin sekali aku bertanya ‘siapa gadis itu?’ padanya tapi lidahku terasa berat untuk menanyakan hal itu. Dengan menanyakan hal itu mungkin akan membuatku semakin sesak dan sakit. Kalaupun aku bertanya aku tidak mau dianggap sebagai seorang gadis yang ingin sok dekat danikut campur dalam masalah pribadi Kak Rio. Tapi aku juga sangat penasaran dengan gadis itu.

“Fy?” aku mendengar Kak Rio memanggilku.

Aku menoleh kearahnya. “Iya, Kak?” jawabku.

“Loe pernah ngerasain nggak gimana rasanya orang yang lagi jatuh cinta?” tanya Kak Rio sambil menoleh padaku.

Aku tersenyum kearahnya. “Pernah dong, Kak?! Hehehe…” jawabku sambil tertawa padanya.

“Kayak gimana rasanya?” tanyanya.

Aku nampak berpikir untuk menjawab pertanyaan Kak Rio barusan. “Emm, gue sih kalo lagi deket sama orang yang gue suka jantung gue itu pasti sering berdebar-debar nggak karuan gitu, Kak, udah gitu gue jadi sering salah tingkah didepan dia, terus kalo gue ngeliat dia sama cewek lain pasti gue nerasa panas ama nggak suka gitu ngeliat mereka barengan, hehehe…” jawabku jujur.

“Berarti bener!” seru Kak Rio.

“Bener? Bener apanya?” tanyaku bingung.

“Gue lagi jatuh cinta!” jawabnya sambil tersenyum puas.

Hatiku kembali mencelos. “Oh, sama siapa sih, Kak? Shilla?” tanyaku tanpa sadar. Perkataan yang seharusnya aku teriakkan dalam hati malah aku lontarkan secara terang-terangan pada Kak Rio. Aku meruntuki diriku sendiri dalam hati. Bodoh!

“Nggak! Sama sekali nggak!” jawabnya santai.

“Terus sama siapa?” lagi-lagi perkataan yang seharusnya aku teriakkan dalam hati kembali aku lontarka secara terang-terangan. Hei, bagaimana kalau Kak Rio menganggapku seorang gadis yang ingin mencampuri urusan pribadinya? Aish..

“Gue selalu ketemu dia setiap pagi, siang, sore, malem. Pokoknya setiap waktu deh gue selalu ngeliat dia. Dia orangnya agak cengeng dan manja tapi gemesin banget.” jawab Kak Rio semangat.

Lagi-lagi aku hanya dapat meng-o-kan mulutku. Entah kenapa aku mendadak menjadi malas berbicara dengan Kak Rio. Mungkinkah karena aku cemburu? Apakah aku cemburu terlalu berlebihan?

Tiba-tiba Kak Rio mengecup pipiku. Aku membelalakkan mataku karena kaget dan langsung menatapnya dengan wajah tak percaya. “Kak, loe…?” kataku yang bingung mau mengatakan apa padanya.

“Sorry deh, gue cuma mau bilang makasih aja.” kata Kak Rio yang sepertinya mengerti dengan maksudku.

“O-oh, un-untuk a-apa?” tanyaku tergagap. Kenapa aku menjadi gagap begini? Aish, memalukan! Ayolah, Ify, kembali bersikap normal seperti biasanya.

“Udah ngasih tahu gue tentang rasanya jatuh cinta, muji tempat ini bagus dan loe nemenin gue malem ini ditempat yang paling gue suka.” jawab Kak Rio. Kemudian Kak Rio menggenggam tanganku. Aku langsung membisu melihat perlakuannya padaku dan tak dapat kupungkiri bahwa malam ini aku sangat-sangatlah merasa  senang dan berharap waktu berhenti saat itu juga agar aku selalu merasakan kehangatan yang kurasakan saat berada didekat lelaki yang kusukai. Sungguh manis. Aku harap Kak Rio akan selalu bersikap ini padaku.

***

To Be Continued

0 komentar:

Posting Komentar

 
~ 신혜린 ~ Blogger Template by Ipietoon Blogger Template