Normal POV
Gadis itu menangis tersedu-sedu di depan kamar rawat rumah sakit.
Matanya merah dan membengkak —efek dari menangis yang terlalu lama—
sudah sejak kemarin gadis ini menangis. Tiba-tiba terdengar suara
beberapa langkah kaki yang mendekat ke gadis itu. Salah seorang yang
menghampiri gadis itu sesekali meneriakan namanya namun gadis itu tak
peduli, gadis itu terus menangis.
“IFY!” untuk kesekian kalinya salah satu orang yang menghampiri gadis itu meneriakan nama gadis itu yang bernama Ify.
Ify mengangkat wajahnya ketika merasa orang yang memanggilnya sudah
dekat dengannya. Mereka adalah teman kedua orangnya. Reflek, Ify
langsung memeluk seorang wanita separuh baya yang sudah ia anggap
seperti Ibunya sendiri. Sedangkan beberapa orang lainnya hanya menatap
Ify dengan wajah iba.
“Tante,” lirih Ify. Tangisnya semakin pecah dan Ify semakin
mempererat pelukannya. “Mama sama Papa kecelakaan dan semua ini salah
Ify, hiks…” lanjutnya.
Wanita separuh baya bernama Ira itu mengelus punggung Ify pelan.
“Jangan bilang kayak gitu, Fy,” kata Ira berusaha menenangkan Ify.
“Ceritakan sama kami bagaimana kejadiannya. Mama sama Papa kamu pasti
nggak akan kenapa-kenapa, percaya sama tante.”
Ify diam. Mendengar Ira ingin tahu bagaimana kecelakaan itu bisa
terjadi, ia malah semakin nangis dan itu membuatnya semakin merasa
bersalah. Ify menghela napas panjang sebelum mengawali ceritanya. “Kalo
aja kemarin Ify nggak minta Mama sama Papa jemput Ify, pasti mereka
nggak akan kecelakaan kayak gini…” gumamnya pelan.
***
Ify POV
“Jangan bilang kayak gitu, Fy,” kudengar suara Ira yang berusaha
menenangkanku. “Ceritakan sama kami bagaimana kejadiannya. Mama sama
Papa kamu pasti nggak akan kenapa-kenapa, percaya sama tante.” suara Ira
kembali terdengar. Aku menangis semakin keras, hati ini rasanya sesak
mengingat kejadian yang dialami oleh kedua orangtuaku. Gara-gara aku
orangtuaku kecelakaan. Gara-gara aku…
Aku menghela napas panjang, cukup susah untuk menjelaskan bagaimana
peristiwa itu. Aku hanya mendapat telepon dari seorang yang tak kukenal
menggunakan Ponsel Mama. Tuhan, kumohon selamatkan kedua orangtuaku.
“Kalo aja kemarin Ify nggak minta Mama sama Papa jemput Ify, pasti
mereka nggak akan kecelakaan kayak gini…” kataku bergumam pelan.
Flashback : ON
Aku mendecakkan lidah dan menatap layar Ponselku dengan kesal.
Kubuka buku telepon pada Ponselku dan mencari salah satu nama. Papa.
Sudah hampir lima kali aku menelpon Papaku. Meminta padanya untuk segera
menjemputku yang berada sendirian di Halte Bus. Aku baru saja dari
rumah teman, satu jam yang lalu aku pulang dan menghabiskan waktuku di
Halte ini menunggu Papa datang menjemputku. Tapi Papa tak kunjung
datang, hal itu membuatku semakin kesal. Saat ini sedang hujan deras,
sangat deras. Aku tidak membawa jaket dan payung. Sudah bisa kupastikan
wajahku pasti memucat, aku juga bisa merasakan kalau tubuhku sedang
gemetaran.Papa! Ayo cepat datang…
Baiklah. Akan kucoba sekali lagi menghubungi Papa.
“Papa, dimana sih?! Ify kedinginan disini Baju Ify udah asah kuyup nih!” kesalku begitu Papa mengangkat panggilanku.
“Ini Mama, Fy.” sahut seseorang disebrang telepon.
Aku mendecakkan lidah. “Tsk, Mama dimana sih?! Ify udah nunggu
satu jam disini. Hujan lagi disini. Untung Ify kuat, coba kalo nggak?!
Kalo Ify pingsan gimana? Nggak ada yang nolongin gimana?! Terus ntar Ify
mati kedinginan!” kataku mengomel-ngomel pada Mama. Ayo cepat datang,
aku sudah benar-benar kedinginan, Ma, Pa…
“Tadi Papa jemput Mama dulu, Fy, maaf deh. Ini lagi dijalan jemput kamu…” respon Mama.
Baru saja aku mau membalas tia-tiba ada sebuah peringatan masuk
pada Ponselku. Ah, sial! Ponselku lowbath. Lagi-lagi aku mendecakkan
lidah. “Cepetan dong, Mah, Ify kedinginan disini. Ngebut kan bisa! HP
Ify lowbath, udah dulu deh. Pokoknya Ify nggak mau tahu, dalam waktu
lima menit Papa sama Mama harus sudah sampai disini. Ify tunggu!”
selesai berbicara panjang lebar, tanpa menunggu balasan dari Mama aku
langsung memutuskan sambungan telepon.
Kutatap Ponselku. Ponselku yang imut ini sudah basah karena
terkena air hujan. Yah, mungkin sebentar lagi Ponsel ini sudah tidak
bisa digunakan lagi. Yah, tidak apa. Papa sama Mama bisa mengganti
Ponselku dengan Ponsel yang baru. Enaknya mau ganti Ponsel apa ya?!
Nokia bosen, IPhone juga udah pernah, masak BB lagi sih? Hmm, masalah
Ponsel, nanti aja deh dipikirin yang penting sekarang aku harus mencari
cara untuk membungkus tubuhku dengan sesuatu yang bisa melindungiku
tubuhku atau setidaknya membuat tubuhku sedikit lebih hangat. Dinginnya
angin yang menusuk-nusuk kulitku membuat tubuhku semakin bergetar karena
kedinginan. Kutatap jam tangan ungu milikku. Sudah lima menit berlalu.
Aish, mana sih Mama sama Papa?! Kok belum dateng-dateng. Baiklah,
mungkin aku harus menunggu sedikit.
Sepuluh menit…
Lima belas menit…
Tiga puluh menit…
Aish! Mama sama Papa mana sih?! Aku udah kedinginan banget nih!
Aduh, masak aku harus menelpon lagi? Tsk, ayo Mah, Pah, cepet dateng.
Aku bener-bener sudah nggak kuat lagi disini. Dingin banget. Cepet
dateng sebelum aku pingsan. Tubuhku sudah benar-benar mulai lemas.
Empat puluh menit…
Aish, baiklah. Mungkin sebaiknya aku menelpon Mama lagi. Gila
aja! Hampir dua jam aku nunggu di Halte ini sampai basah kuyup dan
menahan dingin. Menyebalkan! Kuambil kembali Ponselku, semoga saja belum
mati. Heu, syukurlah. Ternyata memang belum mati. Baru saja aku mau
menelpon Mama tapi tiba-tiba ada panggilan masuk. Papa. Ya, dari Papa.
Tanpa berpikir panjang aku menjawab panggilan itu.
“Aduh, Papa… Papa dimana sih?! Ify nungguin Mama sama Papa dari
tadi nih sampe kehujanan gini! Ify udah basah kuyup, Mah, mau Ify
pingsan disini sendirian terus nggak ada yang nolong?! Besoknya Ify mati
kedinginan!” omelku mengulangi ucapanku yang tadi kulontarkan dengan
nada kesal.
“Maaf mbak sebelumnya. Apa anda mengenal pemilik HP ini?” tanya seseorang disebrang telepon.
Aku menjauhkan Ponsel dari telingaku dan menatap layar pada
Ponselku. Papa. Ya, nama itulah yang tertera disana. Tetapi kenapa ada
suara asing yang berbicara padaku, suara seorang bapak tetapi bukan
suara Papa. Siapa bapak-bapak ini? “Ya, saya kenal. Saya Ify, anak dari
pemilik HP ini. Maaf, kalau boleh saya tahu, Bapak ini siapa ya? Dan
kenapa HP Papa saya bisa ada pada Bapak?”
Kudengar bapak –bapak itu menghela napas panjang kemudian
menjauhkan ponsel dari telinga dan samar-samar kudengar bapak-bapak itu
berbicara pada orang-orang disekitarnya. Aku menaikkan alisku
menunjukkan rasa penasaran. Deg! Kenapa tiba-tiba aku merasakan sesuatu
yang aneh? Perasaanku tiba-tiba berubah tidak enak. Jangan-jangan ada
sesuatu yang terjadi pada Mama dan Papa? Ya Tuhan! Aish, bicara apa aku
ini? Berpikirlah positive, siapa tahu bukan karena itu, mungkin hal
lain.
“Mbak Ify?” tiba-tiba aku mendengar suara seorang gadis. Tidak
lagi aku mendengar ada suara bapak-bapak. Membuatku benar-benar bingung!
Cepatlah katakan apa yang mau kau bicarakan padaku?! Cepat! Jangan
membuatku penasaran!
“Ya?” balasku. Perasaanku yang tidak enak itu semakin menjadi-jadi. Ya Tuhan! Kenapa aku merasa seperti ini?
Gadis disebrang sana menghela napas panjang. “Saya Agni, Mbak.
Mm, saya mau ngasih tau suatu hal sama Mbak tapi nanti Mbak dengerin
yang saya omongin sampe selesai ya, Mbak, dan kalau bisa jangan
menyela.” kata gadis yang mengaku bernama Agni itu.
“Maksudnya?” tanyaku yang sama sekali belum mengerti dari ucapannya barusan. Ada apa ini sebenarnya?
“Sekitar setengah jam yang lalu mobil yang ditumpangi orangtua Mbak mengalami kecelakaan…” katanya pelan.
Mataku terbelalak lebar. Tenggorokanku tercekat. A-apa katanya tadi? Ke-kecelakaan? Mama dan Papa kecelakaan?
“Ayah Mbak udah berhasil keluar dari mobil tapi sayangnya beliau
tidak bisa menjauhi mobil itu yang sudah hampir kebakar. Lalu Ibu Mbak
masih berada didalam mobil…” lanjut gadis itu lagi.
Mobilnya kebakar? Separah itu kah sampai mobilnya kebakar? Ya Tuhan, selamatkan Mama dan Papa…
“Warga disini sudah membawa mereka ke rumah sakit terdekat.
Untung sekarang lagi hujan jadi apinya bisa dipadakan dengan cepat tanpa
harus memanggil pemadam kebakaran. Kami menemukan HP yang kebetulan
saat itu sedang Ayah Mbak bawa dan kami menghubungi panggilan terakhir
yang disana nomor Mbak…” kata gadis itu lagi.
Aku menghela napas panjang. “Cepat beritahu saya alamat rumah sakit itu.”
Flashback : OFF
“Ini semua salah Ify tante, hiks…” kataku disela-sela tangisanku yang semakin keras.
“Ify, kamu nggak salah, Nak, ini semua sudah direncanakan oleh Tuhan,
kamu tidak boleh menyalahkan diri sendiri seperti itu.” Ujar Ira
lembut.
Tiba-tiba dokter keluar bersama perawat-perawat lain. Aku langsung berdiri dan segera memasang telinga baik-baik.
***
Normal POV
“Ini semua salah Ify tante, hiks…” Ify masih belum menghentikan tangisannya dan terus-menerus menyalahkan diri sendiri.
Ira mengusap kepala Ify. “Ify, kamu nggak salah, Nak, ini semua sudah
direncanakan oleh Tuhan, kamu tidak boleh menyalahkan diri sendiri
seperti itu.” kata Ira dengan nada pelan dan lembut. Ia benar-benar
bingung harus dengan cara apa agar Ify berhenti menangis.
Tiba-tiba dokter dan para perawatnya keluar dari ruangan. Semua orang
disana menoleh pada dokter, menatap dokter itu lekat-lekat dan memasang
telinga baik-baik untuk mendengarkan penjelasan dari dokter itu. Ify
melepaskan pelukannya dari Ira kemudian menggenggam tangan Ira sangat
erat.
“Dok, bagaimana?” seorang pria mendekati dokter itu sambil bertanya. Pria itu adalah Saiful, suami Ira.
Dokter menatap orang-orang yang sedang menatapnya itu dengan tatapan
yang susah diartikan. Ia melirik kearah seorang gadis yang sejak kemarin
menanggis tanpa henti didepan ruang rawat itu. Rasanya ia tak tega
mengucapkan hal ini pada gadis itu. Ia yakin gadis itu pasti akan sangat
shock mendengarnya. Tapi ia harus mengatakannya. Mana mungkin ia
menyembunyikan hal ini dari orang-orang itu, apalagi gadis itu.
“Dok?!” suara Saiful kembali terdengar.
Sang dokter langsung mengalihkan pandangannya dari gadis itu kearah
Saiful dan Ira beserta dua pemuda lain yang ia yakini sebagai anaknya.
Sebelum berbicara ia menghela napas panjang dan kembali menatap
orang-orang itu. Kepalanya menggeleng pelan. Sangat pelan. Bahkan dengan
menggelenggkan kepala saja ia bisa mendengar Ify kembali terisak.
“Maaf. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi sepertinya Tuhan
berkata lain. Sekali lagi, kami minta maaf…”
***
Beberapa orang yang memakai pakaian serba hitam tampak meninggalkan
sebuah pemakaman. Tinggal Ify, Ira dan Saiful saja yang masih berada
disana. Ira mencoba membangunkan Ify tapi Ify menepisnya pelan.
“Ify masih mau disini dulu, tante…” kata Ify pelan tanpa menatap kearah Ira dan Saiful.
“Ya udah, nanti tante telpon Cakka atau Rio biar mereka nanti jemput kamu disini ya?” kata Ira pelan.
Ify hanya mengangguk pelan karena ia tak tahu apa lagi yang harus ia
katakan pada Ira. Ira dan Saiful adalah teman baik kedua orangtuanya.
Dulu rumah mereka bersebelahan saat Ify masih tinggal di Bandung. Tapi
saat Ify berumur sepuluh tahun, Ify dan keluarganya pindah ke Surabaya.
Ify, Rio dan Cakka dulu bersahabat. Tapi semenjak Ify pindah hubungan
persahabatan mereka merenggang. Ira dan Saiful sering main kerumah Ify
yang di Surabaya tapi sayangnya mereka tidak mengajak Rio dan Cakka. Ify
kembali mengenal Rio dan Cakka sejak kedatangan Saiful sekeluarga
menjenguk kedua orangtuanya yang mengalami kecelakaan.
“Hati-hati, Nak…” kata Saiful sambil menepuk-nepuk pundak Ify pelan. Kemudian Saiful dan Ira meninggalkan Ify disana.
Ify terdiam disana, matanya terpejam, berbagai doa ia bacakan dalam
hati untuk kedua orangtuanya. Rasanya ini tidak adil. Kenapa orangtuanya
meninggalkannya secepat ini? Kenapa dalam usia yang masih sangat muda
ia harus menjadi seorang yatim piatu? Kenapa harus terjadi padanya?
Kenapa?
Ia membuka matanya, menatap kedua nisan Papa dan Mamanya. Air matanya
kembali menetes. Tiba-tiba ia merasa ada seseorang sudah berada
disampingnya. Ia menoleh dan menatap orang itu.
“Yah, nangis lagi. Cengeng banget sih loe?! Nih, hapus air mata loe…”
***
Rio POV
Aku berdiri tak jauh dari seorang gadis yang sejak tadi kuperhatikan.
Ify. Ya, Ify. Gadis itulah yang sejak tadi kuperhatikan. Aku tahu betul
gadis itu saat ini sangat tertekan. Ditinggalkan oleh kedua orangtuanya
yang sangat ia sayang. Walau aku dan gadis itu tidak dekat tapi aku
bisa merasakan perasaan gadis itu. Apalagi dia seorang gadis, pasti ia
akan melupakan segalanya dan mementingkan tangisannya atas kepergian
orangtuanya. Kasian sekali, aku jadi tidak tega.
Aku melihat Mama dan Papa yang sepertinya berusaha mengajak Ify untuk
pulang tapi gadis itu menolak. Lalu aku melihat Mama dan Papa
meninggalkan Ify sendirian disana. Tiba-tiba aku mendapatkan sebuh pesan
masuk pada ponselku. Ternyata dari Mama, beliau memintaku agar menemani
Ify. Ah, sepertinya Mama dan Papa tidak sadar kalau aku masih berada di
pemakaman ini.
Ify terlihat memejamkan matanya, sepertinya ia sedang berdoa. Cukup
lama. Aku hanya memperhatikannya dari sini, wajahnya terlihat pucat
seperti mayat hidup. Oh, aku aru ingat sejak kecelakaan orangtuanya itu
sepertinya Ify tidak makan. Astaga!
Kulangkahkan kakiku berjalan mendekati Ify, tepat pada saat itu dia
membuka matanya. Aku tersenyum kecil, baru menyadari kalau gadis itu
ternyata sangat cantik. Tapi tiba-tiba saja aku melihat ia menangis. Ya
ampun, apa hanya menangis yang bisa ia lakukan jika sedang tertekan
seperti ini? Hey, ayo kuatkan dirimu. Jangan membuat orangtuamu sedih
dialam barunya sana karena kamu sama sekali belum merelakan mereka
pergi.
Seperti bisa membaca pikiran, begitu selesai aku berbicara dalam hati
gadis itu langsung menoleh kearahku. Ternyata aku sudah duduk
disebelahnya. Sejak kapan? Aku rasa aku baru menghampiri gadis itu
kenapa tiba-tiba sudah berada disampingnya?
Aku menyunggingkan senyum kecil untuknya. “Yah, nangis lagi. Cengeng
banget sih loe?! Nih, hapus air mata loe…” aku menyapanya sambil
memberinya sebuah sapu tangan kecil.
“Ri…Rio?” dia menatapku bingung.
Seolah bisa membaca pikirannya, aku langsung tersenyum dan
mengangguk-anggukkan kepalaku. “Loe masih sama gue? Sukur deh, gue kira
loe bakal manggil gue Cakka…” ujarku santai.
Kulihat ia tersenyum kecil dan menerima sapu tangan yang kusodorkan
padanya. Ia menghapus air matanya pelan, tapi bukannya berhenti menangis
gadis itu malah semakin menangis. Ya Tuhan! Apa yang harus aku lakukan
aar gadis itu berhenti menangis?!
“Gak usah nangis. Orang tua loe bakalan gak suka liat loe nangis
kayak gitu. Itu artinya loe nggak ngerelain orang tua loe pergi. Loe
tau? Kalo loe nggak ngerelain mereka pergi mereka nggak bakalan bisa
tenang di alam barunya. Sekarang, mendingan loe nggak usah nangis lagi.
Gue yakin loe cewek yang kuat. Loe pasti bisa hidup tanpa loe. Percaya
deh sama gue. Gue janji bakalan jagain loe…”
***
Normal POV
Seminggu telah berlalu dari kejadian itu. Ira dan Saiful membawa Ify
kerumahnya yang berada di Bandung. Menyekolahkan Ify disekolah yang sama
dengan sekolah Rio dan Cakka. Ify mulai bisa merelakan kepergian
orangtuanya. Ify juga merasa nyaman tinggal bersama Ira, Saiful, Cakka
dan Rio. Hal itu membuat Ify kembali dekat dengan Cakka dan Rio lalu
ketiganya saling mengenang masa lalu mereka. Disekolah, Ify senang
karena mempunyai teman-teman yang menyenangkan. Pada saat pertama masuk
ke sekolah saja, Ify sudah mendapatkan sahabat baru. Mereka Aren dan
Ray. Menurut Ify, kedua sahabat barunya itu sangat lucu dan
menggemaskan.
“Cakka…” Ify menepuk pundak Cakka pelan yang sedang menonton televisi.
“Sini, Fy, duduk. Liat TV bareng sama gue.” kata Cakka menawarkan
sambil menepuk-nepuk tempat disebelahnya. Bermaksud agar Ify duduk
disebelahnya.
Ify tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Nggak deh, gue cuma mau tanya aja. Kak Rio kemana?” tanya Ify.
“Tadi gue liat kayaknya dia dihalaman belakang rumah. Oh iya, ada
temennya Kak Rio juga lho. Ya siapa tau loe bisa kenalan sama dia,
orangnya ramah banget…” kata Cakka.
Ify mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti. “Oke, oke, thanks Kka…” katanya kemudian meninggalkan Cakka.
“Eits, tunggu…” tahan Cakka.
“Kenapa?” tanya Ify membalikkan badan.
“Loe nggak suka sama Kak Rio kan?” tanya Cakka tanpa menatap Ify dan masih asik dengan televisi yang sedang ia tonton.
Ify menggelengkan kepalanya pelan. “Nggak, kenapa loe tanya kayak gitu?” tanya Ify penasaran.
“Soalnya temen Kak Rio yang gue bilang tadi kalo gue liat-liat
kayaknya dia naksir abis-abisan sama Kak Rio. Udah gitu Kak Rio juga
perhatian banget sama dia. Banyak lho, Fy, cewek-cewek disekolah yang
patah ati gara-gara itu. Kakak gue itu aslinya cuek banget, loe tau
sendiri kan kalo disekolah dia itu kayak gimana? Dia nggak terlalu cuek
kalo udah saa orang yang udah dia kenal baik. Kayak gue, elo sama
temennya itu. Ya meskipun kadang-kadang dia tetep sering cuek. Hmm, tapi
kok masih ada aja ya yang naksir sama dia? Kakak gue ganteng sama
pinter sih, maklum aja kalo banyak yang naksir. Eits, tapi tetep
gantengan gue dong kemana-kemana, hehehe…” kata Cakka menjelaskan
panjang lebar dan menyempatkan diri untuk narsis didepan Ify. Ia
menolehkan kepalanya menatap Ify. “Jadi kalo suka ya loe siap-siap aja
patah ati kayak cewek-cewek lain…” lanjut Cakka sambil cengengesan.
Ify mendengus. “Yaelah, gue kirain apaan. Nggak deh, gue nggak
bakalan naksir sama kakak tersayang loe itu. Gue masih kecil, kagak tau
apa itu cinta-cintaan.” kata Ify.
Cakka tertawa. “Ya, bagus deh…”
Ify menaikkan alisnya. “Bagus apanya?”
Cakka buru-buru menggelengkan kepalanya. “Nggak kok. Nggak apa-apa.
Ya, bagus aja kalo loe nggak suka sama Kak Rio. Itu berarti loe nggak
akan jadi korban kayak cewek-cewek disekolah gue gitu. Gue nggak mau
liat loe nangis kayak waktu di Surabaya itu…” jawab Cakka.
Ify mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia melihat Cakka menatapnya
dengan tatapan yang susah diartikan. Tapi Ify tak ambil pusing. “Kka,
gue kebelakang dulu ya?” pamit Ify. Melihat Cakka menganggukkan
kepalanya Ify langsung berlari-lari kecil menuju halaman belakang rumah.
Benar apa yang Cakka katakan. Disana, Ify melihat Rio sedang bersama
tiga orang gadis cantik. Sebelah alis Ify naik menunjukkan tanda heran.
Tapi hanya satu gadis yang menurut Ify paling cantik duduk disebelah Rio
dan Rio sedang merangkul gadis itu. Sedangkan dua gadis lainnya sedang
bermain kejar-kejaran seperti anak kecil.
“Kak Rio?!” sapa Ify.
Rio dan gadis disebelahnya menoleh pada Ify.
“Ify.. Oh iya, Fy, kenalin nih temen gue namanya Shilla. Shil, ini
Ify…” kata Rio tersenyum manis, ia menatap Ify dan Shilla bergantian.
“Shilla…” kata gadis bernama Shilla itu sambil mengulurkan tangannya.
Ify membalasnya. “Ify…”
Shilla menatap Ify dan Rio bergantian. “Dia siapa loe, Kak?”
Rio menatap Shilla bingung. “Eee, Ify ini temen bonyok gue… Iya bener, temen bonyok gue…” jawab Rio.
“Kok bisa disini?” tanya Shilla.
“Dia tinggal disini, Shil.” jawab Rio lagi.
“Ha?” Shilla membelalakkan matanya.
“Bonyoknya Ify meninggal dunia seminggu yang lalu, terus bonyok gue bawa Ify kesini deh…” jelas Rio.
“Ya ampun! Sorry, Fy, gue nggak ada maksud untuk bikin loe sedih
dan…” Shilla belum sempat menyelesaikan kata-katanya Ify sudah memotong
perkataan Shilla.
“Nggak apa-apa kok, gue tau…” potong Ify.
Rio buru-buru memanggil Prissy dan Febby agar suasananya kembali normal (?). “Prissy, Febby…”
Prissy dan Febby mendekat. “Lho kok tiba-tiba ada cewek lain disini?
Kapan datengnya?” tanya Febby mendekati Rio, Shilla dan Ify. Prissy
mengangguk-anggukkan kepalanya tanda bahwa ia memiliki pertanyaan yang
sama seperti Febby.
“Ini Ify. Fy, mereka itu Febby dan Prissy. Yang sebelah kanan Prissy dan yang kiri Febby…” kata Shilla.
Ify tersenyum. “Salam kenal, Febby, Prissy. Kalian cantik…”
“Hehehe.. Udah dari dulu kok, Fy. Eh, bentar deh.Loe itu anak baru
disekolah kan?” kata Prissy menebak. “Satu kelas sama Cakka…” lanjut
Prissy.
“Loe tau gue?” tanya Ify balik.
“Gue sering liat loe. Gue, Shilla sama Febby kan kelasnya disebelah kelas loe…” jawab Prissy.
Obrolan mereka terus berlanjut. Ify mulai merasa nyaman dengan
mereka. Senang karena mendapatkan teman baru. Rio yang sedari memandangi
Ify juga merasa sangat senang karena akhirnya ia melihat Ify kembali
tersenyum, tidak menangis lagi. Rio yakin, secara perlahan-lahan Ify
mulai merelakan kepergian kedua orangtuanya.
***
Ify mengantar Shilla, Prissy dan Febby sampai didepan. Kemudian
ketiga gadis cantik itu pamit pada Ify kemudian pulang menaiki mobil
Honda Jazz milik Shilla. Selama dalam perjalanan, Febby terus mengoceh.
“Shil, gawat! Kayaknya loe bakalan dapet saingan baru nih?!” kata Febby.
“Saingan apa?!” tanya Shilla dan Prissy secara bersamaan.
“Si Ify itu. Gue nggak yakin dia nginep dirumah Kak Rio cuma
gara-gara bonyoknya meninggal terus bonyoknya Rio bawa Ify kerumahnya…”
kata Febby.
Shilla menaikkan alisnya bingung. “Maksud loe?” tanya Shilla penasaran.
“Waktu kita ngobrol-ngobrol bareng tuh gue nggak sengaja ngeliat Kak
Rio natep Ify dalem banget gitu, mungkin Kak Rio suka sama Ify…” jelas
Febby.
Pletak… Shilla menjitak kepala Febby. “Rio nggak mungkin suka sama
Ify?! Lagian tadi mereka biasa-biasa aja kok. Gue juga dari tadi
merhatiin Rio…” kata Shilla yang sama sekali tidak percaya dengan ucapan
Febby.
“Shilla, coba deh loe pake otak loe. Kak Rio itu cuek abis, dia nggak
bakalan cuek sama orang yang udah dia kenal deket. Sama kita aja
kadang-kadang dia sedikit cuek, coba loe perhatiin tadi dirumahnya
setiap kali Ify ngomong pasti Kak Rio selalu nanggepin omongannya.
Mereka satu rumah lagi. Gawat banget tuh!” kata Febby lagi.
“Loe mau bikin Shilla mendidih, Feb? Udah deh, gue yakin kalo Ify sama Kak Rio nggak punya hubungan apa-apa…” kata Prissy.
“Loe berani taruhan?! Kalo yang gue bilang bener loe harus mau jadi
babu gue?! Kalo yang gue bilang nggak bener gue mau jadi babu loe!” kata
Febby menantang.
Pletak… Lagi-lagi Shilla menjitak kepala Febby. “Udah-udah. Pake
acara taruhan segala. Gue yakin Kak Rio sama Ify nggak bakalan seperti
yang loe bilang, Feb. Lagian tadi Ify baik banget sama gue. Terus dia
nggak marah tuh waktu Kak Rio ngerangkul gue…”
“Tapi pas Ify dateng Kak Rio langsung ngelepasin rangkulannya dari
elo kan?!” kata Febby yang merasa sama sekali tidak mau mengalah.
“Stop! Kurang kerjaan banget sih loe, Feb, pake bilang kayak gitu. Kalo loe suka sama Kak Rio ya ngomong aja kale…” kata Prissy.
“Sorry deh, dari dulu gue tetep suka sama Cakka…” balas Febby.
“Udah diem!” seru Shilla kesal. Seruan Shilla spontan membuat Febby dan Prissy langsung diam.
To Be Continued
0 komentar:
Posting Komentar