Title : Unfinished! This Story Will Begin!
Author : Nurzaita (@AiYmm257_) | Genre : Romance, Angst, Drama
Length : Chaptered | Rate : PG-15
Main Cast : Mario Stevano Aditya Haling | Alvin Jonathan Sindunata | Alyssa Saufika Umari | Sivia Azizah
—oOo—
“CHAPTER 1”
Normal POV
Lelaki
bertubuh tinggi itu menatap kesal seorang gadis yang sejak tadi
menangis tanpa henti. Ditatapnya dengan tajam gadis itu tepat pada
matanya lalu detik berikutnya ia sudah berjongkok dihadapan si gadis
yang sedang terduduk dilantai sambil menarik dagu si gadis dengan kasar.
“Heh, bisa diem nggak loe? Sakit telinga gue denger loe nangis terus
dari tadi!” katanya dengan nada tinggi lalu mendorong dagu sang gadis
dengan keras. Lelaki itu bernama Alvin Jonathan Sindunata. Anak dari
seorang pengusaha kaya-raya yang memiliki banyak perusahaan diluar
Indonesia. Pusat perusahaannya berada di New York sehingga membuat
orangtua lelaki bermata sipit ini jarang sekali menjenguknya yang
tinggal di Indonesia. Lelaki ini anak piatu, Ibunya meninggal seminggu
yang lalu. Di Indonesia ia tinggal bersama Ibunya dan saudara kembarnya
—adik perempuan— tetapi kini karena ia telah kehilangan orang yang
sangat ia sayangi, membuatnya harus tinggal sendiri bersama sang adik
dan tentunya membuat Alvin serta adiknya merasa sangat kesepian. Apalagi
adiknya yang lebih suka menginap di rumah temannya membuat Alvin
semakin merasa kesepian. “Kamar loe disebelah kamar gue! Beresin semua
barang-barang loe setelah itu buat makan malam!”
Gadis
yang sedang bersama Alvin bernama Sivia. Nama lengkapnya adalah Sivia
Azizah. Tidak beda jauh dari nasib Alvin, ibunya juga meninggal tiga
hari yang lalu. Ayahnya sedang berada di Surabaya karena ditugaskan
bekerja disana. Awalnya Sivia diajak oleh Ayahnya ke Surabaya namun
Sivia menolak dan ingin menetap di Jakarta. Ia tidak ingin kehilangan
sahabat-sahabatnya yang sangat ia sayangi. Terlebih lagi karena
seseoranglah yang membuatnya ingin tetap berada di Jakarta.
“Babu! Loe denger nggak sih apa gue bilang? Hah?” bentak Alvin diiringi dengan tendangan keras pada kaki Sivia.
Sivia
mengerang pelan dan memegangi kakinya yang baru saja ditendang. Kedua
tangannya meremas kakinya dengan kuat. Sakit. Hanya itu yang ia rasakan.
Bukan. Bukan karena sakit pada kakinya, tetapi pada perasaannya,
hatinya. Ya, hatinya bahkan jauh lebih sakit daripada sakit yang ia
rasakan pada kakinya.
Alvin mulai geram, ia kembali
berjongkok dan menjambak rambut panjang Sivia dengan kasar. “JAWAB GUE!”
bentaknya dengan nada yang semakin tinggi.
“Iya, Vin—”
PLAK!
“TUAN!” potong Alvin menyela perkataan Sivia. Tangannya yang besar itupun melayang dengan mulus menuju pipi Sivia.
“Auw.”
gadis itu merintih kesakitan. Setelah mendorong dagunya, menendang
kakinya dan menjabak rambutnya, kini lelaki itu menamparnya juga. Lalu
apa lagi yang akan ia dapatkan setelah ini? Ia merasa, hidupnya akan
hancur berantakan. Bersama lelaki itu, bagaikan tinggal didalam neraka.
Ya Tuhan.
“Bagus! Oya, jangan sekali-sekali loe
ngomong pake loe-gue sama gue, ngerti?” gumam Alvin tersenyum puas.
“Sana masuk! Beresin barang-barang loe dan jangan lupa buat makan
malam.” perintah Alvin. Lelaki bermata sipit itu berdiri lalu berjalan
keluar rumah. Namun langkahnya terhenti ketika mendengar suara Sivia
menahan gerakannya.
“Tuan mau kemana?”
“Bukan urusan loe!” balas Alvin menghiraukan Sivia dan berjalan keluar rumah.
—oOo—
Dikediaman
Keluarga Haling, tampak keluarga yang harmonis itu sedang berkumpul
bersama diruang keluarga menonton tayangan pada acara Televisi yang
sedang disiarkan. Sesekali mereka bercanda lalu tertawa bersama. Siapa
yang tidak menginginkan keluarga yang seperti itu? Semua orang pasti
menginginkannya. Ya, beruntunglah karena Keluarga Haling sampai saat ini
tidak memiliki masalah serius.
Tiba-tiba seorang
wanita separuh baya mulai beranjak dari duduknya. Wanita itu adalah
Nyonya Haling atau sebut saja namanya dengan Amanda. Wanita itu berkata
akan menyiapkan makan malam dan terpaksa harus meninggalkan suami
beserta kedua anak laki-lakinya. “Mama mau nyiapin makan malam dulu,
ya?”
Rio —Mario Stevano Aditya Haling— si bungsu
mengacungkan jempolnya pada sang Ibunda. “Masak yang enak, Ma.” guraunya
sambil memamerkan cengirannya yang terlihat aneh.
“Halah,
masak enak ataupun nggak enak emangnya loe pernah ngabisin makanan loe?
Sok banget loe jadi orang.” balas lelaki satunya dengan nada bergurau.
Sebut saja namanya Gabriel —Gabriel Stevent Aditya Haling— yang
merupakan anak pertama dari pasanan Tuan dan Nyonya Haling. Umurnya
hanya selisih satu tahun dari sang adik.
Rio mencibir. “Biarin dong, yang penting gue lebih berisi daripada elo.”
Gabriel menoyor kepala Rio pelan. “Halah, sok-sokan banget loe jadi orang. Cungkring gitu dibilang berisi.” ledek sang kakak.
“Loe juga cungkring tau!” balas Rio tidak terima.
Tuan
Haling menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kedua anaknya yang mulai
beranjak dewasa tetapi sikapnya masih seperti anak-anak. “Kalian ini
udah gede masih aja suka ribut.” gumam Tuan Haling berkomentar. “Papa
mau keruan kerja dulu.”
Gabriel dan Rio menoleh
kearah Tuan Haling, dengan kompak kakak-beradik itu tersenyum lebar
sambil mengacungkan jempolnya. “Oke, Pa!”
Setelah
Tuan Haling meninggalkan Rio dan Gabriel, kakak-beradik itu saling diam.
Suasana dalam ruangan itu mendadak menjadi canggung, hanya ada suara
dari Televisi yang sedang menampilkan sebuah acara serta bunyi
pergesekan yang ditimbulkan oleh Nyonya Haling yang sedang memasak
didapur. Entah kenapa tiba-tiba kakak-beradik ini menjadi pendiam.
Rio
yang memang tidak menyukai suasana seperti ini memutuskan untuk
mengajak Gabriel berbicara terlebih dahulu. “Kak, gue mau tanya sesuatu
sama loe. Boleh kan?” tanya Rio pelan dan sedikit ragu. Sangat pelan
bahkan nyaris tidak terdengar dan lebih cocok disebut bisikan.
Gabriel
memutar bola matanya dan menatap Rio sekilas. “Boleh, tanya apaan?”
balas Gabriel balik bertanya. Dalam hati ia mulai menebak-nebak
pertanyaan apa yang akan Rio tanyakan padanya. Tiba-tiba saja otaknya
langsung memutar sebuah nama. Nama seseorang.
“Loe yakin kan sama omongan loe kemaren?” tanya Rio.
Gabriel tersenyum. Ia berpura-pura tidak tahu. “Omongan gue? Yang mana?”
Rio menghela napas. Jari-jarinya memainkan ujung kaosnya. “Loe bakalan ngerelain dia buat gue kan?”
“Dia? Dia siapa?”
Rio mendengus pelan. “Ya Ify lah, siapa lagi?” balas Rio sinis.
“Masih
aja bahas tentang itu. Gue harus ngomong berapa kali ke elo biar loe
percaya sama gue dan nggak nanyain soal itu lagi ke gue? Heh?” balas
Gabriel malas.
Rio terkekeh pelan. “Kan gue cuman mastiin doang, emangnya salah?” gurau Rio.
Gabriel tertawa renyah.
“Besok
gue bakalan nyatain perasaan gue ke Ify. Loe nggak bakalan nyesel kan,
Kak?” tanya Rio ragu. Namun detik berikutnya, raut wajah Rio mendadak
berubah menjadi serius. “Dan sesuai janji loe. Setelah Ify jadi milik
gue, jangan pernah sekali-kali elo coba untuk ngerebut Ify dari gue.”
Gabriel
tersenyum simpul. “Tenang aja, gue nggak mungkin ngingkarin janji gue
sendiri.” balasnya sambil menepuk-nepuk pundak Rio cukup keras.
“Semangat buat besok! Jangan lupa PJ.” lanjutnya sambil mengedipkan
sebelah mata.
—oOo—
Sivia duduk
disofa ruang tamu rumah Alvin yang luas, besar dan mewah. Ruangan klasik
bergaya Eropa membuat siapa saja yang melihat akan terkagum-kagum.
Mungkin rumah milik Alvin ini tidak cocok disebut dengan ‘rumah’ namun
lebih cocok disebut dengan ‘istana’, sayangnya penghuni rumah mewah ini
hanyalah Alvin seorang, tidak, tetapi mulai hari ini Sivia juga menjadi
penghuni rumah itu. Dalam hati Sivia mencoba mengira-ngira seberapa kaya
Alvin itu, yang jelas jika dibandingkan dengan dirinya sangat berbeda
jauh mungkin satu banding seratus.
Sivia kembali
melirik kearah jam dinding yang terpajang di salah satu sisi ruangan
itu. Entah sudah keberapa kalinya ia terus melirik kearah jam dinding.
Dirinya mulai merasa takut. Ya, takut. Takut jika makanan yang ia buat
dingin dan Alvin tidak menyukainya. Sudah hampir tiga jam ia menunggu
Alvin pulang dan ini sudah tengah malam. Sebenarnya, Alvin sedang berada
dimana?
Mungkin karena terlalu lelah menunggu
kehadiran Alvin, Sivia mulai memejamkan matanya, mulai menjelajahi dunia
mimpinya dan bertualang didalam sana.
—oOo—
Dia memang hanya dia
Ku selalu memikirkannya
Tak pernah ada habisnya
Benar dia, benar hanya dia
Ku s'lalu menginginkannya
Belaian dari tangannya
Mungkin hanya dia
Harta yang paling terindah
Di perjalanan hidupku
Sejak derap denyut nadiku
Mungkin hanya dia
Indahnya sangat berbeda
Ku haus merindukannya
Ku ingin kau tahu isi hatiku
Kaulah yang terakhir dalam hidupku
Tak ada yang lain hanya kamu
Tak pernah ada
Takkan pernah ada
Ku ingin kau selalu di pikiranku
Kau yang selalu larut dalam darahku
Tak ada yang lain
Hanya kamu
Tak pernah ada
Takkan pernah ada
(Geisha – Takkan Pernah Ada)
Prok... Prok... Prok...
“Wuih,
gila, Fy, suara loe makin keren deh terus permainan loe makin oke aja.
Ajarin gue dong main piano.” seorang gadis berpenampilan tomboy tengah
menatap sahabatnya yang bernama Ify dengan raut wajah yang penuh
kekaguman. Yap, sudah bisa nebak sendiri kan? Namanya adalah Agni Tri
Nubuwati atau sebut saja dengan panggilan Agni.
Temannya
yang satunya mengangguk-anggukkan kepalanya, tanda setuju. “Iya, Fy,
bener apa yang Agni bilang. Ajarin gue juga dong, diantara kalian semua
gue doang yang nggak bisa main apa-apa.” keluh temannya yang bermata
sipit dan berbehel. Namanya Aren Nadya Sindunata. Panggil saja dengan
sebutan Aren. Dari namanya sudah bisa menebak sendiri kan? Yap, Arenlah
adik perempuan Alvin, ah tidak, maksudnya saudara kembar Alvin.
Ify terkekeh. “Kata siapa? Buktinya loe bisa main gitar.” kata Ify membalas omongan Aren.
Aren memutar bola matanya. “Tapi gue nggak se-jago Agni sama pacarnya itu.” Aren mendengus.
Mendengar perkataan Aren, Agni langsung mendaratkan sebuah jitakan pada kepala Aren. “Enak aja. Gue nggak punya pacar, bego.”
Aren meringis sambil mengusap kepalanya. “Ah, masak? Terus beberapa hari yang lalu kok elo—”
“Itu murni kecelakaan.” potong Agni menyela ucapan Aren yang sangat menyebalkan baginya.
Ify terkekeh. “Udahlah akuin aja, Ag, gue bakalan dukung elo, kok!” goda Ify.
“Iya, Ag, gue juga bakalan ngedukung elo, kok.” timpal Aren menggoda Agni.
Agni
mengerucutkan bibirnya. “Denger ya, gue anti naksir sama orang apalagi
sama cowok, ngerti loe pada? Heh?” jawab Agni dengan nada kesal. “Tapi
ngomong-ngomong tumben loe, Fy, ngajakin gue sama Aren kesini cuma buat
dengerin loe nyanyi sambil main piano?” lanjut Agni mengalihkan
pembicaraan.
“Iya, Fy, tumben banget loe? Terus loe nyanyinya dalem banget deh. Buat si Rio ya? Hayo, ngaku.”
Ify
tersenyum manis lalu mendekati kedua sahabatnya yang sedang duduk di
sofa belakang tempat Ify bermain piano. Setelah mengambil duduk tepat
ditengah-tengah antara Agni dan Aren, Ify mulai membuka suara. “Emm,
gimana ya jelasinnya?”
“Idih.” cibir Agni gemas. “Kagak usah sok imut.”
Ify kembali terkekeh. “Sebenernya sih tuh lagu emang buat Rio. Yah, loe berdua tau sendiri kan” jelas Ify.
Aren
menjitak kepala Ify gemas. “Gue sama Agni udah mati-matian nyoba buat
deketin elo sama Rio tapi sampe sekarang loe sama dia nggak ada
perkembangan apa-apa. Loe jadi cewek jangan terlalu cuek gitu napa.
Bukannya deket sama Rio loe malah deket sama kakaknya. Yang loe suka itu
sebenernya Rio atau Kak Gabriel?” omel Aren panjang lebar.
“Tau
nih anak kagak ngehargain usaha orang lain aja. Dibantuin deket sama
Rio malah deketnya sama Kak Gabriel.” cibir Agni menimpali.
Ify tersenyum kecil.
“Malah diem.” kata Aren menyenggol lengan Ify menggunakan sikutnya dengan gerakan pelan.
“Sebenernya Kak Gabriel pernah nembak gue.” aku Ify. Matanya menatap lurus kedepan dengan pandangan menerawang.
Kedua mata Agni dan Aren kompak terbelalak. “APA?!”
“Terus loe terima Kak Gabriel?” tanya Agni.
“Kalo loe terima Kak Gabriel, terus Rio gimana? Katanya loe suka sama dia.” timpal Aren.
Ify menaikkan bahunya. “Kak Gabriel gue tolak kok.” jawab Ify. “Dan Kak Gabriel juga tau kalo gue suka sama adiknya dia.”
Lagi-lagi mata Agni dan Aren kompak terbelalak. Mereka berdua benar-benar merasa dikerjutkan oleh perkataan Ify barusan. “HA?”
“Reaksi
Kak Gabriel gimana?” Tanya Aren penasaran. “Dia benci nggak sama loe
atau Rio pas dia tau loe lebih suka sama Rio disbanding dia?”
“Kak Gabriel berantem sama Rio dong? Udah main hajar-hajaran (?) belom? Gue pengen nonton nih, hehe.” kata Agni.
“Sinting
loe, Ag! Diem deh, seneng banget sih loe liat orang berantem.” kata
Aren sambil menjitak kepala Agni pelan. Andai saja tidak ada Ify yang
duduk ditengah-tengah antara Agni dan Aren, mungkin Aren sudah menjitak
kepala Agni keras.
“Dari tadi perasaan main jitak-jitakan mulu deh. Sakit tau!” sahut Agni tidak terima.
Ify tersenyum simpul. “Kak Gabriel bilang katanya sih mau bantuin gue biar deket sama Rio.”
“APA?!” ketiga kalinya Agni dan Aren dibuat terkejut oleh Ify.
“Tuh
kan, nggak cuma gue sama Aren aja kan yang mati-matian bantuin elo
deket sama Rio. Cowok yang naksir loe aja sampe bantuin elo. Elah, loe
gimana sih, Fy? Loe itu ngerti nggak sih cinta-cintaan itu?” kata Agni
semakin gemas.
“Iya bener.” timpal Aren. “Tapi
ngomong-ngomong, Kak Gabriel baik banget ya? Mau deketin cewek yang dia
suka sama cowok lain. Apalagi cowok itu adeknya sendiri. Coba gue punya
cowok kayak dia. Pasti hidup gue bener-bener waw gitu.” lanjut Aren.
“Pacaran aja sono sama Kak Gabriel.” desis Agni.
Aren memutar bola matanya. “Ogah. Gue kagak suka sama dia.” balas Aren.
Ify menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kalian berdua ini rebut terus, pusing gue.”
“Salah loe sendiri bikin gue sama Agni pusing juga.” kata Aren sambil memainkan ujung rambutnya yang sebahu.
“Salah loe berdua kan yang mancing gue buat cerita. Yaudah gue cerita.” balas Ify.
“Terus apa rencana loe?” Tanya Agni penasaran.
Ify
diam. Otaknya masih berputar memikirkan sesuatu. Raut wajahnya berubah
menjadi lesu. “Gue malu. Kayaknya Rio tau deh gue suka sama dia.” gumam
Ify.
—oOo—
Ramai. Semua orang
disekitarnya sibuk bergoyang meliuk-liukkan tubuh mereka masing-masing
membentuk gerakan-gerakan sempurna dengan erotis diiringi dengan suara
music disco.Dari ramainya pengunjung disana, terdapat Alvin sibuk
bergoyang bersama gadis-gadis lain —dengan pakaian terbuka— yang
mengerubunginya. Sesekali tangan Alvin bergerak nakal. Semuanya ia
lakukan setengah sadar, lelaki bermata sipit itu sudah menghabiskan
tujuh botol alkohol. Jangan ditanya lagi, yang pasti malam itu Alvin
benar-benar mabuk.
“Alvin!” sebuah suara memanggil
nama Alvin dari pintu masuk. Lelaki yang memanggil Alvin barusan
langsung mendekati Alvin dan menariknya kasar keluar dari ruangan
terkutuk itu. Ia benar-benar tidak habis pikir kenapa tiba-tiba Alvin
mendadak menjadi lelaki nakal seperti itu.
“Loe
ngapain dateng kesini? Hah? Loe nggak punya kerjaan lain selain mabuk?
Jangan kayak gini, Vin! Semua orang pasti nggak akan suka ngeliat loe
ancur kayak gini.” bentak temannya itu.
Alvin yang
setengah sadar langsung mengerjap-ngerjapkan matanya. Mencoba untuk
mengenali sosok yang berada didepannya ini. “Diem deh loe, Kka, lagian
kenapa loe malah marahin gue? Mendingan kita balik kedalem terus kita
nikmatin aja semuanya. Asik kok.” jawab Alvin sambil tersenyum aneh khas
orang mabuk.
Sang teman yang disebut ‘Kka’ itu langsung menoyor kepala Alvin. “Bego loe! Ayo gue anter pulang.” marah Cakka, teman Alvin.
“Kenapa
pulang? Gue masih belom puas. Loe nggak liat? Cewek didalem seksi-seksi
tau, Kka!” tolak Alvin. Sebentar-sebentar tubuhnya ambruk dan dengan
sigap Cakka menahan tubuh Alvin.
Cakka tidak
mengubris perkataan Alvin, ia malah menyeret Alvin menjauh dari tempat
itu menuju mobilnya lalu mengantarkan sahabatnya itu pulang kerumah. Ya,
ia tahu betul apa yang membuat sahabatnya ini berubah seperti itu.
Gara-gara kematian sang Ibunda Alvin menjadi berubah. Bukan berubah
menjadi baik tapi justru sebaliknya, berubah menjadi semakin buruk.
Sangat buruk. Semenjak kematian sang Ibunda, Alvin mulai berani
mabuk-mabukan, balapan liar, merokok dan hal-hal negatif lainnya.
Melihat perubahan Alvin membuat Cakka merasaprihatin. Ia tidak tega
melihat sahabatnya menjadi kacau seperti itu.
Dengan
penuh konsentrasi Cakka menyetir mobil milik Alvin menuju rumah Alvin.
Untunglah tadi ia datang bersama Ray, sehingga ia bisa meminta bantuan
Ray untuk membawa mobilnya kerumah. Kondisi Alvin yang sedang mabuk
parah tidak mungkin bisa diandalkan ketika sedang menyetir mobil.
Bisa-bisa yang ada malah terjadi masalah baru.
Sekitar
setengah jam akhirnya mobil yang Cakka kendarai telah sampai di rumah
Alvin. Ia mematikan mesin dan menoleh kearah Alvin yang sudah terlelap.
Ditariknya napas dalam dan menghembuskannya perlahan melalui mulut
sehingga menimbulkan asap-asap kecil. Ya, malam ini memang sangat
dingin. Sial sekali Cakka lupa membawa jaketnya. “Vin, bangun! Udah
sampek.” kata Cakka sambil menepuk pundak Alvin. Bodoh. Benar-benar
bodoh. Seharusnya ia tidak membangunkan Alvin saat itu juga. Tsk!
Syukur
karena Alvin nampaknya tidak mendengar apa yang ia ucapkan. Cakka
langsung turun dari mobil dan berputar mengelilingi mobil lalu membuka
pintu mobil sebelah kemudi dan mengangkat tubuh Alvin yang lumayan
berat. Sebelah tangan Alvin ia lingkarkan pada lehernya dan kedua
tangannya sudah payah menahan tangan dan tubuh Alvin yang sudah siap
ambruk kapan saja. Pelan-pelan Cakka membawa Alvin masuk kedalam rumah.
Hal pertama yang membuat dirinya merasa ganjil adalah, tumben sekali
lampu kamar Alvin dan disebelahnya yang berada dilantai dua masih
menyala, selama berteman dengan Alvin, Cakka tahu betul Alvin selalu
mematikan lampu kamarnya ketika ingin pergi. Hal kedua adalah, ia
menemukan sandal perempuan di teras rumah. Sebelah alisnya naik, apa
lagi yang Alvin lakukan hari ini?
Cakka membuka pintu
rumah Alvin yang tidak terkunci. Lagi-lagi ia merasa heran, tidak
biasanya Alvin lupa mengunci pintu rumah. Aish, hal ini benar-benar
membuat dirinya menjadi bingung.
“SIVIA?!”
Mata
Cakka langsung membulat sempurna begitu matanya menangkap sosok seorang
gadis yang tengah tertidur di sofa ruang tamu. Melihat hal tersebut,
membuat pegangan Cakka yang berusaha menahan tubuh Alvin sedikit
melonggar. Ia terlalu terkejut. Berbagai pertanyaan muncul dalam
otaknya. Kenapa Sivia tertidur di rumah Alvin? Bagaimana bisa gadis itu
berada di rumah Alvin? Apa Alvin sedang memiliki rencana lain untuk
membuat Sivia menjadi semakin menderita? Mungkinkah Sivia dipaksa untuk
tinggal bersama Alvin? Bagaimana nasib Sivia setelah ini?
“Ca—cakka?”
gumam Sivia ketika gadis itu sudah terbangun. Suara Cakka benar-benar
menganggunya sehingga membuat Sivia mau tidak mau harus membuka matanya
dan melihat sosok yang telah menganggu tidurnya. Namun setelah itu
pandangannya berhenti pada Alvin yang sedang bersama Cakka. Matanya
terbelalak melihat penampilan Alvin yang benar-benar kacau. Bahkan bau
alcohol bisa ia cium melalui indera penciumannya. Alvin mabuk kah? “Kka,
Alvin kenapa? Dia— mabuk?”
“Bantuin gue dulu gotong
Alvin ke kamarnya, baru setelah itu gue ceritain ke elo dan gue punya
beberapa pertanyaan buat loe.” balas Cakka.
Sivia mengangguk dan dengan sigap menghampiri Cakka lalu membantu Cakka membawa Alvin menuju kamarnya.
“Jadi
loe bisa cerita sama gue?” tanya Cakka penasaran. Saat ini keduanya
sedang duduk di sofa ruang tamu rumah Alvin. Setelah berhasil membawa
Alvin menuju kamarnya, Cakka mengajak Sivia menuju ruang tamu.Sivia menghela napas pendek. “Loe ceritain dulu kenapa Alvin bisa sampe mabuk kayak gitu?” jawab Sivia balik bertanya.
Cakka tersenyum tipis. “Sorry, tapi gue nggak bisa ngasih tau loe. Alvin udah ngancem gue.” jawab Cakka menyesal.
Sivia menundukkan wajahnya.
“Via?” panggil Cakka.
“…”
“Sorry.”
“…”
“Jadi kenapa loe bisa ada disini?”
“…”
“Alvin maksa elo biar loe tinggal dirumahnya?”
“…”
“Alvin ngancem loe sama bokap loe?”
“…”
“Via, jawab gue!” kata Cakka kesal.
“Kak, gue—”
—oOo—
Keesokan harinya…
Dikediaman
rumah Keluarga Haling, tepatnya di kamar Rio, tampak lelaki hitam manis
ini telah siap berangkat sekolah. Ia menatap dirinya dari pantulan
cermin yang berada didepannya. Lelaki ini meniup kedua tangannya lalu
diusap-usapkan kedua tangannya dirambut (?) setelah beberapa saat
memandang dirinya di cermin besar itu, Rio berjalan keluar kamar dan
mendatangi kamar yang berada disebelahnya.
“Kak! Gue
masuk ya?!” teriak Rio. Tanpa meminta jawaban dari sang pemilik kamar,
Rio langsung nyelonong masuk kedalam kamar Gabriel.
“Udah siap loe, Kak?” tanya Rio basa-basi.
“Hmm.” balas Gabriel singkat.
Rio
memutar bola matanya menatap Gabriel dengan bingung. Ia melihat Gabriel
sedang memasang dasi sekolahnya. “Wah, Kak, loe rapi banget ya kalo
pake dasi.” puji Rio sambil tertawa garing.
“…”
Rio
menggaruk-garuk belakang telinganya yang tidak gatal. Lalu matanya
menatap sekeliling kamar Gabriel. “Wuih, kamar loe pagi-pagi gini udah
rapi. Beda banget sama gue. Hebat loe, Kak.”
Gabriel melirik Rio sekilas. “Loe mau ngapain? Heh? Mau minta tolong apaan?” tanya Gabriel malas.
Rio nyengir. “Hehehe, tau aja loe kak.” kata Rio sambil tertawa garing.
Gabriel diam saja, menunggu Rio melanjutkan perkataannya.
“Kak, gue minta nomornya Ify dong?! Loe punya kan?” akhirnya lelaki hitam manis ini meminta apa yang sedang diinginkan.
Gabriel
merogoh saku celananya untuk mengambil sebuah ponsel, setelah itu ia
menarik benda mungil itu keluar dari dalam kantong dan melemparkannya
kearah Rio. Dengan sigap Rio langsung menangkap ponsel Gabriel. Gabriel
dapat melihat jelas raut wajah Rio yang terlihat kebingungan. “Cari aja
di kontak HP gue, namanya Ify.” kata Gabriel.
Rio
mengangguk-angguk mengerti dan mulai mengutak-atik ponsel Gabriel dan
ponsel miliknya sendiri. Setelah beberapa saat ia menaruh ponsel Gabriel
diatas meja belajar. “Thanks, Kak. Gue duluan deh.” kata Rio sambil
mengedipkan sebelah matanya.
Gabriel merinding
melihat Rio yang mengedipkan matanya seperti itu. Aneh. “Najis.”
gumamnya sambil tertawa renyah. “Loe nggak sarapan dulu?”
“Nggak deh, gue nggak laper. Lagian gue mau ngajakin Ify berangkat bareng kalo gue saapan dulu ntar telat dong.” balas Rio.
Gabriel tertawa. “Oke, oke, sukses buat loe!” Gabriel mengacungkan jempolnya kearah Rio.
—oOo—
Kini
Rio sedang berada di jalan dekat rumah Ify. Hanya satu belokan saja
dirinya sudah sampai di rumah Ify. Rio duduk diatas motornya dengan
tangan yang sibuk berkutat dengan ponsel. Sejak tadi ia bingung ingin
mengirim pesan pada Ify dengan isi yang bagaimana. Masalah percintaan
kali ini, Rio benar-benar termasuk dalam kategori payah. Berbeda sekali
dengan dulu ketika ia masih bersama dengan mantan kekasihnya, ia bahkan
tidak pernah bertingkah bodoh seperti sekarang. Jauh sekali bukan
bedanya? Melihat Ify saja membuat Rio merasa benar-benar seperti lelaki
bodoh. Apalagi mencoba mendekati gadis itu? Aish, payah!
Enaknya sms kayak gimana ya? Masak kayak gini. gumam Rio dalam hati lalu dengan cepat tangannya mulai mengetik.
Pagi Ify cantik, lagi ngapain?
Rio memandang tulisan itu tanpa ekspresi. Lalu dengan cepat ia menggelengkan kepalanya. Ogah ah, genit banget kalo gue kayak gitu, err… gumam Rio.
Otaknya kembali berpikir. Aha! Ada lagi.
Pagi sayang. Gue Mario anak XI-IPA1. Berangkat bareng yuk?
Rio melototkan matanya membaca tulisan itu. Dengan cepat ia langsung menghapusnya. Bego loe, Yo, ngapain juga pake sayang-sayangan segala. Errr… Rio
berkata dalam hati. Ia melepaskan helmnya lalu ia mengacak-acak
rambutnya dengan kesal. “Aduh, mulainya yang enak kayak gimana ya?
Pusing gue.”
Hai. Lagi ngapain?
Rio
menggelengkan kepalanya. “Kalo sms kayak gitu kesannya gue SKSD
banget.” gumamnya. Otaknya terus berputar memikirkan kata-kata yang pas
untuk Ify. Apa ya?
Ify, berangkat bareng yuk? Mau nggak?
“To
the point banget. Ogah ah, ada basa-basinya kek biar lama smsan sama
dia.” gumamnya. Karena kesal sejak tadi tidak menemukan kata yang pas,
Rio menendang kerikil yang berada disekitar kakinya. “Argh, sial!”
umpatnya.
Ah, satu lagi!
Pagi. Gue Mario anak XI-IPA1. Berangkat bareng yuk?
Rio
kembali menghapus tulisan pada ponselnya lalu meremas ponselnya karena
kesal. Aish, kenapa pagi ini otaknya sama sekali tidak bisa diandalkan?
Ayolah, jangan membuat Rio semakin kesal. Beberapa saat Rio hanya
terdiam memandang ponselnya tanpa eskpresi hingga akhirnya. Aha! Gue tau! serunya dalam hati. Tangannya mulai bergerak kembali mengetik pada ponselnya.
Pagi, Ify. Gue Mario anak XI-IPA1. Ganggu nggak nih gue sms loe pagi-pagi?
Rio memandang tulisannya lagi pada layar ponsel. Senyum lebar langsung merekah begitu membacanya. Nggak buruk-buruk amat. Ya kan? katanya dalam hati. Baiklah, setelah memantapkan hatinya, ia langsung menekan tombol send pada ponselnya.
Rio
menatap ponselnya dengan perasaan cemas. Kira-kira bagaimana ya reaksi
Ify begitu mendapat pesan darinya? Apa gadis itu berniat membalas
pesannya? Atau malah mengabaikannya? Bagaimana kalau gadis itu tidak
suka disms pagi-pagi? Baru saja berbagai pertanyaan muncul dalam pikiran
Rio ketika mendapati ponselnya bergetar. Dengan wajah penuh harap Rio
melirik ponselnya dan...
Itu pesan dari Ify! Itu tandanya Ify membalas pesannya!
Rio
langsung terlonjak senang hingga turun dari motor yang ia naiki.
Untunglah pagi itu masih sepi sehingga tidak ada orang yang melihatnya
dan mengecapnya sebagai laki-laki gila. Setelah sadar, Rio buru-buru
membuka pesan dari Ify. Hatinya pagi itu merasa berbunga-bunga. Oh,
hanya karena cinta. Cinta benar-benar membuat dirinya melayang.
Pagi juga. Nggak ganggu kok. Ada apa?
Rio
senyum-senyum sendiri membaca balasan dari Ify. Tangannya mulai
bergerak pada ponselnya untuk membalas pesan Ify. Anehnya kali ini Rio
tidak perlu berlama-lama memikirkan bagaimana cara memilih kata yang pas
untuk dikirimkan pada Ify. Dasar Rio!
Nggak apa-apa kok, Fy. Lagi ngapain?
Setelah
mengirim tombol send, Rio kembali senyum-senyum sendiri. Tak berapa
lama ponselnya kembali bergetar. Langsung saja ia membukanya.
Lagi siap-siap. Loe sendiri?
Rio tersenyum kecil membaca pesan Ify. Hei, lihatlah! Ify bertanya dirinya sedang apa?
Mau berangkat sekolah. Oya, loe berangkat sama siapa? Berangkat bareng yuk? Gue jemput ya?
Tak sampai satu menit ponselnya kembali bergetar.
Serius nih? Nggak ngerepotin?
Rio kembali mengetik pada ponselnya. Senyum lebar masihh menghias wajahnya yang tampan.
Nggak kok. Gimana? Mau nggak?
Senyum
Rio menghilang setelah ia selesai mengirimkan pesannya pada Ify.
Jantungnya berdebar-debar menunggu pesan dari Ify. Kira-kira Ify nerima
atau nolak ya? Wah, gadis itu benar-benar membuatnya kebingungan. Semoga
saja Ify nerima. Ya, semoga saja.
Dan tidak berapa lama kemudian ponselnya kembali bergetar. Sebelum membukanya, Rio menarik napas.
Oke deh, gue tunggu. Loe tau rumah gue kan?
Mata
Rio langsung berbinar-binar. Untuk kedua kalinya Rio berlonjak
kesenangan sampai turun dari motornya, namun kali ini ia terlihat lebih
heboh. “Yeah! Ify mau berangkat sama gue! Yes! Gue berhasil.” soraknya
sambil melayang-layangkan kedua tangannya diudara.
Sip. Gue jemput deh.
Setelah
membalas pesan Ify, Rio langsung menaiki motornya dan menjalankannya
menuju rumah Ify. Rio menghela napas lega dan kembali tersenyum lebar.
“Fiuhh, akhirnya.” gumamnya.
—oOo—
“KAK IFY! COWOK LOE UDAH JEMPUT TUH!”
Ify
mendengus sebal begitu sebuah teriakan yang membuatnya merasa jengkel
kembali terdengar. Yap, itu suara adiknya yang cempreng. Oh, bisakah
untuk sehari saja tidak berteriak seperti itu? Menyebalkan sekali. Ingin
membuat telinganya tuli apa? Benar-benar. Namun tiba-tiba kening Ify
berkerut samar, apa tadi yang adiknya katakan? Cowoknya udah jemput? Ha?
Cowok? Tunggu, bukankah dia jomblo? Kok— Astaga! Jangan-jangan itu Rio?
Ify
buru-buru membuka tirai jendela dan memutar bola matanya pada sosok
lelaki hitam manis yang sedang duduk diatas motornya. Ify menelan ludah.
“Jadi yang tadi sms beneran si Rio? Ya Tuhan! Gue kira si Aren atau
Agni yang ngerjain gue.” gumam Ify sambil menepuk jidatnya.
“KAK IFY! BURUAN SARAPAN! MAMA UDAH BILANG SAMA COWOK LOE KALO LOE HARUS SARAPAN DULU!”
Ify
langsung menutup tirai jendelanya dan menyambar tas sekolahnya lalu
buru-buru turun kelantai dasar. Ia menghampiri Ibu dan Ayahnya untuk
berpamitan. “Mah, Pah, Ify berangkat dulu ya? Temen Ify udah nungguin.”
Pamit Ify sambil menyambar gelas berisi susu.
“Sarapan dulu, Fy. Lagian Mama udah bilang kok sama pacar kamu itu nungguin kamu sarapan dulu.” Kata Mama Ify.
Ify
menggelengkan kepalanya. Ia mencium tangan Ibu dan Ayahnya bergantian
serta menoyor kepala adiknya pelan. “Nggak usah, Mah, Ify nggak laper.
Udah ya? Ify mau berangkat.” Pamit Ify meninggalkan ruang makan dan
berlari-lari kecil keluar rumah.
“Udah lama, Yo?” sapa Ify memanggil Rio dan mendekati lelaki berkulit agak gelap itu.
Rio
menolehkan kepalanya pada Ify dan senyumnya semakin melebar. “Enggak
kok, baru aja sampe.” Jawab Rio canggung. “Ngomong-ngomong kok elo
sarapan cepet banget?” lanjut Rio.
“Gue nggak sarapan. Masih kenyang.” Jawab Ify.
“Sarapan aja dulu, Fy, gue nggak enak sama nyokap loe kalo loe nggak sarapan. Ntar dikiranya gara-gara gue loe—”
“Udah ah ayo berangkat.” Potong Ify menyela omongan Rio dan langsung naik pada motor Rio.
Rio menghela napas dan menyerahkan helm pada Ify. “Nih jangan lupa pake.” Kata Rio.
Ify menerima helm yang disodorkan Rio lalu memakainya. “Oke, thanks.”
Rio
diam saja. Jantungnya masih berdebar-debar tidak jelas. Hatinya
bersorak-sorak kesenangan. Akhirnya ia bisa berangkat bareng sama gadis
yang ia sukai. Senangnya. Andai ia bisa mengehentikan waktu, ia pasti
akan menghentikannya saat itu juga. Perasaannya benar-benar merasa damai
bersama dengan gadis itu. Ify, loe buat gue makin gila. Gumam Rio dalam hati.
—oOo—
Lelaki
bermata sipit itu menyuapkan sesendok nasi goring buatan ‘pembantu
baru’-nya. Belum sepenuhnya sendok itu masuk kedalam mulutnya, lelaki
bermata sipit yang memiliki nama Alvin itu mengeluarkannya kembali dan
menyemburkan isi yang berada didalam mulutnya. Matanya menatap tajam
pada seorang gadis yang berdiri ketakutan sambil menundukkan wajahnya.
Alvin
menggebrak meja makan dengan keras membuat Sivia tersentak kaget. “Heh,
babu! Loe mau ngeracunin gue? Hah? Loe bisa masak nggak sih? Masakan
loe asin tau!” bentak Alvin.
“Maaf, Vin.” Kata Sivia masih dengan kepala menunduk.
Alvin
mulai geram dengan sikap Sivia. Ia mengambil gelas berisi air putih dan
menyiramkannya pada Sivia yang memakai seragam yang sama dengan seragam
yang ia kenakan.
Mata Sivia melebar begitu Alvin menyiramnya. Tangannya mengepal menahan marah. “ALVIN!” serunya dengan nada tinggi.
PRANG!
Alvin
membanting gelas yang ia pegang ke lantai. Matanya memancarkan sinar
kemarahan. “GUE BILANG JANGAN PANGGIL NAMA GUE! PANGGIL GUE TUAN! LOE
ITU BABU GUE SEKARANG!” bentak Alvin.
Mata Sivia mulai memanas.
Alvin
menghampiri Sivia dan menjambak rambut gadis itu kasar. “AWAS LOE KALO
BERANI BENTAK GUE DAN NGGAK MANGGIL GUE TUAN!” bentak Alvin dengan nada
mengancam. “NASIB BOKAP LOE ADA DITANGAN LOE DAN KALO LOE BERANI
NGELAWAN GUE SAMA AJA LOE BIKIN BOKAP LOE MENDERITA! NGERTI LOE?!”
lanjut Alvin dan melepaskan tangannya dari rambut Sivia.
Sivia meringis dan memegangi kepalanya.
Alvin berjalan santai keluar rumah tanpa memperdulikan Sivia. “Bersihin pecahannya baru loe boleh berangkat sekolah.”
Mata Sivia membulat. “Apa? Tapi, Tuan, ini sudah jam setengah tujuh.” kata Sivia memelas.
“JANGAN MEMBANTAH!”
“Baik, Tuan.” jawab Sivia pasrah.
“DAN LOE BERANGKAT SEKOLAH HARUS JALAN KAKI!”
Mata Sivia kembali membulat. “Tuan, sekolahnya jauh dari sini.”
“GUE NGGAK PEDULI! POKOKNYA HARUS JALAN KAKI! MOBIL LOE SAMA MOTOR LOE UDAH GUE BUANG!”
“Tuan—”
“CEPET BERESIN!”
Air mata Sivia mulai jatuh. “Ba-baik, Tuan.”
BRAK!
Alvin membanting pintu rumah dengan keras. Tidak beberapa lama suara
mobil Alvin mulai terdengar dan meninggalkan Sivia sendiri dirumahnya
yang mewah. Sedangkan Sivia membersihkan gelas yang Alvin banting dengan
cepat lalu bersiap-siap berangkat kesekolah. Ia melirik jam tangannya.
Air matanya semakin deras membasahi kedua pipinya yang mulus. Ia hanya
memiliki waktu dua puluh menit untuk sampai ke sekolah.
Setelah
menghapus air matanya, Sivia langsung mengunci pintu rumah dan segera
berlari sekencang-kencangnya dipinggiran jalan agar ia sampai disekolah
tepat waktu.
“Alvin bego! Alvin jahat! Alvin gila!” gerutunya ditengah-tengah larinya yang cepat.
Tepat
setelah Sivia berkata seperti itu, jalannya dihalangi oleh seseorang.
Membuatnya menghentikan larinya dan menatap kesal pada sebuah mobil yang
kini telah berada dihadapannya dan menghalangi jalannya menuju sekolah.
Dengan hati sabar Sivia menahan diri agar tidak berteriak karena kesal.
“Sialan!”
umpatnya kesal. Sekali lagi matanya melirik kearah jam tangannya. Lima
belas menit lagi dan sekolahnya masih jauh. Tsk!
Seseorang keluar dari dalam mobil dan mata Sivia langsung membulat sempurna. Bahkan mulutnya sampai ternganga lebar.
—oOo—
To Be Continued
0 komentar:
Posting Komentar