Normal POV
Sejak kejadian dimalam itu, pikiran Rio selalu dipenuhi bayang-bayang Ify. Cinta? Mungkinkah ia mencintai gadis itu? Benarkah ia merasakan hal itu? Tidak. Hal ini tidak boleh terjadi. Ia tidak mungkin mencintai seorang gadis yang sudah ia anggap seperti adiknya sendiri. Lalu, apa yang harus ia lakukan? Hatinya menolak ketika ia berniat tidak mencintai gadis itu. Jelas-jelas faktanya yang ia rasakan seperti orang yang sedang jatuh cinta. Apalagi pertanyaannya kemarin malam membuatnya benar-benar merasa yakin bahwa dirinya mencintai gadis itu.
Ify. Bagaimana perasaan gadis itu terhadapnya? Apakah gadis itu memiliki perasaan yang sama? Dalam hati Rio mengharapkannya, mengharapkan bahwa Ify juga memiliki perasaan yang sama.
“Kak Rio! Loe didalem kan?”
KREEKK..
Seseorang masuk kedalam sebuah ruangan —kamar Rio. Orang itu adalah Cakka dan lelaki berkulit putih itu langsung menghampiri kakaknya yang sedang tiduran santai diatas tempat tidur. “Kak, gue stres nih! Cerita boleh dong?”
Rio menatap Cakka dengan heran. “Stres kenapa?”
“Ify.” balas Cakka menyebut nama seseorang yang sejak tadi Rio pikirkan.
Jantung Rio berdegup kencang begitu nama itu disebutkan. Apalagi begitu melihat raut wajah Cakka yang berubah menjadi berseri-seri. Rio langsung tahu apa yang akan dibahas oleh Cakka. Entahlah, tiba-tiba rasa aneh itu merasukinya. Takut. Jangan-jangan Cakka...
“Kayaknya gue suka deh sama dia.”
Hati Rio mencelos. Dugaannya tidak salah sasaran. Dugaannya benar. Astaga.
“Dan gue mau jadiin dia cewek gue.”
Kata-kata Cakka yang ini bahkan lebih membuat hatinya semakin kacau. Yaampun, jika Cakka memang benar-benar berniat untuk menjadikan Ify kekasihnya, lalu bagaimana dengannya? Jangankan melihat Cakka dan Ify berpacaran, mendengar pengakuan Cakka saja sudah membuat perasaan hancur.
“Bantuin gue dong, Kak, gue serius nih lagi naksir sama Ify.”
Rio diam.
“Yaelah, Kak Rio, loe dengerin gue ngomong nggak sih?”
Rio mendonggakkan wajahnya menatap Cakka. “Oh, sorry, kalo masalah cewek kenapa loe nggak tanya sama Alvin aja? Dia kan paling berpengalaman, ceweknya aja ada dimana-mana.”
Cakka merenungkan perkataan Rio. “Eh iya, loe bener juga! Yaudah deh gue kerumah Kak Alvin aja, susah mah kalo curhat sama orang gak normal. Hahaha.” ledek Cakka.
Mata Rio membulat sempurna. “Maksud loe?”
“Emang bener kan? Buktinya sampe sekarang loe belum pernah pacaran, hahaha..” Cakka langsung beranjak dari tempatnya dan mengambil seribu langkah untuk menjauhi Rio.
“Emang loe pernah pacaran? Huh?”
“Pernah lah, yah meskipun cuman sekali doang yang penting pernah, hahaha..”
Rio semakin membulatkan matanya dan melempar bantal kearah Cakka. “Sialan!”
***
“Jadi loe suka sama Ify?” gumam Alvin.
Cakka menganggukkan kepalanya dengan semangat. “Ya gitu deh, bantuin gue dong, Kak, gue pengen Ify jadi cewek gue.” renggek Cakka.
“Oke, asalkan dengan satu syarat.” kata Alvin dengan senyum misteriusnya.
Cakka menaikkan sebelah alisnya. “Apaan?”
“Loe harus bantuin juga juga biar bisa deket sama Via, gimana?”
Cakka mendengus. “Loe naksir sama Via kan? Hayo, ngaku aja deh!” goda Alvin.
“Iya emang, tapi dia kan cuek banget sama gue. Loe tau sendiri kan gue paling benci dicuekin.” Alvin bercerita.
“Loe panas-panasin Via aja, Kak, pura-pura pacaran sama cewek lain didepa Via gitu.” usul Cakka.
Alvin melotot. “Ogah! Ribet ntar masalahnya, yang ada Via bakalan ngejauhin gue, bego!” Alvin menoyor kepala Cakka.
“Terus gimana?”
“Tau deh.”
Cakka menarik napas. “Rencana loe apa? Gue pengen cepet-cepet jadiian sama Ify.”
Alvin melirik Cakka sinis. “Gue punya ide.”
“Apaan?”
Alvin tersenyum misterius. “Emm, kasih tau nggak yah?” goda Alvin.
“-___-“
***
Sivia mengajak Ify ke supermarket untuk membeli bahan makanan. Setelah belanja, keduanya menuju kedai ice cream langganan Ify. Kedai tersebut benar-benar sangat ramai, untunglah masih tersisa satu meja untuk dirinya dan Sivia.
“Fy?”
“Hmm?”
“Gue lagi tertarik ama cowok nih!”
Ify memutar bola matanya. “Siapa?”
Sivia tersenyum kecil.
“Kak Alvin ya?”
Wajah Sivia memerah.
“Tuh kan, wajah loe merah gitu. Jadi bener nih? Loe suka sama Kak Alvin?” goda Ify.
“Ya gitu deh.” jawab Sivia seadanya. “Kalo loe sendiri gimana sama Kak Rio?”
“Ha? Gue?” tanya Ify pura-pura bodoh.
“Iya, loe sama Kak Rio.”
“Gue sama Kak Rio emangnya kenapa?” tanya Ify polos.
Sivia mulai gemas. “Nggak usah sok polos gitu, gue tau kok gimana perasaan loe ke Kak Rio.” goda Sivia sambil mengedipkan sebelah matanya. “Tapi kalo dilihat-lihat kayaknya Cakka juga suka deh, Fy, sama elo.”
“Cakka?”
Sivia mengangkat bahunya. “Nggak tau deh, itu sih yang gue lihat dari sikapnya Cakka ke elo.”
“Kok jadi bahas Cakka?”
“Kenapa?”
“Gue kan nggak suka sama dia.”
“Tapi loe sukanya sama Rio.” potong Sivia.
“Jangan kasih tau Kak Rio deh, Vi, gue malu.”
“Emm, kasih tau nggak yah?” goda Sivia.
“Loe ngancem gue? Oke! Gue juga bisa bilang kok sama Kak Alvin.” ancam Ify.
“Bilang aja.” balas Sivia.
“VIAAAAAAA.”
***
Sivia duduk ditepi ranjang tidurnya. Sekilas ia melirik kearah jam dinding kamarnya. Sudah pukul sebelas malam tetapi matanya masih tidak bisa terpejam. Benar-benar membosankan dan menyebalkan! Lalu pandangannya berhenti pada tas miliknya yang terletak disudut ruangan. Entah mendapat dorongan dari mana, tiba-tiba Sivia langsung berjalan mendekati tas tersebut dan membukanya.
Ia menemukan sebuah photo.
Napasnya tertahan. Matanya memanas. Otaknya kembali memutar masa lalunya. Masa-masa dimana ia mulai tertarik pada seorang lelaki. Lelaki cinta pertamanya.
Tangannya bergerak untuk mengambil sebuah photo lelaki kecil yang sangat manis. Senyum terukir diwajah lelaki tampan itu membuat dirinya sendiri menjadi ikut tersenyum seolah senyum sang lelaki tengah menghinoptisnya agar ikut tersenyum.
Alvin Jonathan Sindunata.
Itulah nama yang tertulis dibalik photo tersebut. Photo yang ia dapatkan dengan susah payah sebelum ia pergi meninggalkan negara yang ia cintai ini.
Ya, Alvin-lah orangnya. Cinta pertamanya.
“Via.”
Sebuah suara mengagetkannya. Dengan cepat ia kembali memasukkan photo yang ia temukan kedalam tas lalu ia segera membuka pintu kamarnya. Ia mulai merasa heran, kenapa jam segini belum ada yang tidur? Tumben?
“Kak Rio?”
“Boleh gue masuk?”
“Oke.” Sivia mundur selangkah untuk memberi jalan pada Rio agar bisa masuk kedalam kamarnya.
“Gue lagi stres! Boleh gue cerita?” gumam Rio.
Sivia menaikkan alisnya, bingung. “Stres kenapa?” tanya Sivia setelah menutup pintu kamar.
“Gue kakak yang bodoh untuk Cakka.” gumam Rio. Tangannya menjambak rambutnya sendiri, frustasi.
“Kak, loe kenapa?” Sivia mulai panik.
“Gue jahat kan, Vi? Iya, kan? Gue jahat!” gumam Rio.
“Kak—”
“Gue suka sama Ify. Gue suka sama cewek itu.” Rio berkata jujur.
Sivia merenungi perkataan Rio setelah beberapa saat akhirnya ia mengerti kenapa Rio menjadi seperti sekarang. “Terus?” pancing Sivia.
Rio mengerang pelan. “Cakka juga suka!” kata Rio dengan nada berat.
Sivia tersenyum penuh arti. “Tapi Ify suka sama loe kak!”
Dengan cepat, Rio menoleh kearah Sivia. Sebelah alisnya terangkat. “Loe tau darimana? Nggak mungkin kalo Ify juga suk—”
“Tadi sore Ify curhat sama gue!”
Wajah Rio berubah menjadi cerah. “Beneran?” tanyanya memastikan. Namun detik berikutnya wajahnya kembali murung. “Cakka gimana?”
BRAK!
“YANG JELAS GUE KECEWA SAMA LOE, KAK!” bentak Cakka yang tiba-tiba muncul dengan mendobrak pintu kamar Sivia.
Sivia dan Rio menoleh kearah asalnya suara. Kedua matanya melotot. “CAKKA?!”
0 komentar:
Posting Komentar